2) Air Mata yang Kering
Selepas SMA aku sudah jarang menangis, padahal seingatku aku termasuk anak yang cengeng di SD dulu. Saat perpisahaan di masa SMA yang sangat mengharu biru penuh dengan derai airmata selepas lagu ‘Sayonara’-nya Grace Simon itu dinyanyikan, aku juga tidak menangis. Karena waktu itu aku yakin perpisahan ini hanyalah masalah jarak geografis bukan tentang hati dan psikologis. “…….Hatiku Hanya untuk Hatimu…”, begitu kan syair lagu itu dinyanyikan sambil bergandengan tangan di bawah temaram lampu gantung gaya mataraman. Tatapan mata guru-guru dan orang tua tuan rumah jadi saksinya.
Terakhir kali aku menangis, seingatku adalah di tahun 2003 saat ibundaku meninggal dunia. Aku belum melakukan sesuatu yang berarti buat kebahagiaan beliau. Sehingga aku merasa seperti seorang yang ketinggalam kereta saat itu. Kereta yang berangkat menuju keabadian sehinga tak mungkin kembali lagi dan tak mungkin aku kejar dengan kereta berikutnya.
Beberapa kali kuikuti pelatihan dengan model peningkatan Emotional dan Spritual Quotient. Saat-saat pelatihan itu, kulihat semuanya menangis, bahkan ada yang meraung-raung. Mahasiswa baruku, para kolega dosen, karyawan, semuanya bercucuran air mata. Tapi aku tidak.
Aku khawatir betul jika ternyata hatiku memang telah membatu Oleh karena itu sesaat sebelum pesawat Saudi Air tinggal landas, terbersit dalam hatiku tuk memohon: Ya Allah, benarkah hatiku telah beku dan membatu? Benarkah aku tak memiliki air mata lagi? Ya Allah, kata psikolog, buruk akibatnya jika seseorang sudah tidak dapat menangis lagi. Amat buruk bagi kesehatan jiwanya. Saat itu aku bermohon untuk dapat menangis, setidaknya dua kali: saat melihat Ka’bah dan saat berpisah meninggalkan Ka’bah nantinya.
Namun ternyata do’a yang kupanjatkan dalam hati itu dikabulkan lebih cepat dari yang kuduga. Saat pramugari mengumumkan bahwa jamaah dipersilahkan mengucapkan niat, karena pesawat sedang melewati miqat dan seisi pesawat dengan gemuruh mengumandangkan talbiyah…. .La Baik……baru dua kata itu aku ucapkan, aku menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang belum pernah aku alami sebelumnya, tak bisa dihentikan. Tak bisa dibendung air mata ini deras mengalir. Tangis penyesalan bahwa telah banyak dosa dan kesalahan aku lakukan. Terbayang semua kekeliruan itu satu persatu. Semuanya tergambar jelas di mata, bagai runtutan film yang diputar perlahan. Aku bertobat, minta ampun kepadaNya dengan hati yang rapuh. Serasa runtuh dunia ini menimpa. Karena boleh saja kita bertobat kepada-Nya, tapi adakah yang pernah kita sakiti telah memaafkan kita dengan tulus ikhlas? Sudahkah mereka dengan legawa menerima permohonan ma’af yang telah seribukali kita ucapkan, jika kita belum pernah mendengar kata ‘maaf’ itu keluar dari bibirnya?
Ya Allah, banyak benar aku telah mengecewakan hati dan harapan. Jika begini berat beban yang harus aku tanggung ya Allah, hapuslah rasa sayang dan harapan di hati dan pikiran mereka ini terhadapku. Aku tak mampu memenuhinya. No Me Ames…..
Aku mengarungi perjalanan udara dan mendarat di Jeddah dalam diam dan kepasrahan. Airport Jeddah dengan Canopi yang bisa dibuka dan ditutup secara otomatis itu, tak menarik perhatianku. Tiga jam menunggu bis penjemput untuk ke Mekah aku lalui dengan hati dan pikiran yang aku tidak bisa memaknainya. Adakah Allah mengampuni dan memaafkan dosaku, jika yang pernah aku sakiti pun belum melakukannya kepadaku? Saat itu kurasakan ketakutan yang amat sangat. Apa yang bisa aku lakukan untuk membalut luka semuanya itu? Aku kembali menangis, menangis dan menangis…. ..Tanpa air mata. Air mataku telah kering.
(Bersambung)
Tinggalkan Balasan