Pemilu Walikota Bandung
Hari ini untuk pertama kalinya saya dan warga Bandung memilih walikota, yang berupa nyoblos ‘orang’ setelah sekian puluh tahun pemilu selalu nyoblos ‘kucing dalam karung’ karena hanya memilih satu dari tiga partai yang tersedia yang notabene adalah partai yang setali tiga uang. Karena apapun partai yang dicoblos, walikotanya ya sama itu-itu saja karena sudah diplot dalam ‘musyawarah untuk mufakat’.
Lalu apa yang menarik?
Yang menarik adalah bahwa sampai dua hari menjelang pencoblosan saya tidak mendapatkan kartu suara. Setelah menulis di milist dosen ITB, ada senior yang tetangga rumah akhirnya menolong ‘menghimbau’ RT, RW dan Satpam agar saya diberi hak saya, setelah juga terampas haknya di pilihan gubernur Jabar yang lalu.
Tapi sampai tadi pagi nyoblos, istri saya tetap tidak dapat kartu suara walau sudah kami tunjukkan KTP, Kartu Keluarga yang sah dan sudah kami peroleh dua tahun lebih lamanya. Padahal istri saya ya cuma satu itu saja. Pihak panitia tidak merespons dengan:’Ya sudah dengan bukti KTP dan KK asli, silahkan istri saya nyoblos…” tapi responsenya khas Indonesia:”Kami hanya bertugas mengijinkan orang yang punya kartu suara saja untuk nyoblos.” Lha ini memang sudah menjadi khas birokrasi dan inefektiveness semua proses di Indonesia. Buat apa bikin kartu lagi untukpilihan tingkat Walikota, DPRD, Gubernur, DPR, Presiden. Bukan hanya double biaya dan prosesnya tapi jadi berlipat kali. Belum lagi nanti akan berekses pada pmbentukan KPUD, KPU dan bara providernya….yang bisa-bisa…malah mengantarkan banyak orang lagi masuk penjara karena kasus tender-tender, korupsi, kolusi dan seterusnya. Itu barangkali yang mendasari pemugaran dan membuat penjara Sukamiskin sekarang jadi begitu indah, bagus, luas dan megah. Kontras sekali dengan bangunan SMP Negeri 17 yang terletak persis di depannya. Lha penjara kok lebih bagus daripada Sekolah. Tempat maling kakap dan koruptor kelas wahid apa memang mesti lebih bagus daripada tempat mendidik generasi muda bangsa selanjutnya ini?
Oh ya, kenapa saya ngotot mau milih setelah sekian lama jadi golput?
Karena ada isu di perumahan sebelah, bahwa yang nggak pakai haknya, hak itu ‘dibeli’ oleh oknum ke tingkat RT/ RW dengan imbalan sekian puluh ribu per suara. Jadi saya mengambil adagium: jika kita berkontribusi pada terjadinya kejahatan, maka kita sendiri sebenarnya termasuk melakukan kejahatan itu walau dalam derajad yang berbeda. Jadi kalau nanti ternyata yang menang adalah yang nggak saya pilih, dan Bandung jadi tambah jelek, saya bisa ngeles kepada orang-orang dan para malaikat bahwa saya tidak ikut memilihnya saat itu. Jadi nggak ikut bertanggung jawab dunia-akhirat.
Tinggalkan Balasan