FIRASAT
Saya sedang berbincang dengan istri saya selesai berbuka puasa malam itu. Saya katakan kepada istri saya, bahwa seorang senior saya dan sesama pendiri SBM ITB sedang terbaring di rumah sakit karena stroke ringan, kabarnya waktu itu mengatakan demikian. Tiba-tiba putri sulung saya keluar dari kamarnya dan nimbrung, “Papah-Mamah sedang membicarakan siapa? tanyanya. Teman Papah Ibu Nur?”
“Ya, kok kamu mencuri dengar pembicaraan orang tua?”
“Enggak Pah, soalnya kemarin malam saya bermimpi, saya dan Papah ke rumah Ibu Nur, beliau meninggal dunia…” kata anak saya polos.
“Astaghfirullah,……” sejujurnya saya kaget dan ingin sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan putri saya itu sambil terus berharap Ibu Nur akan segera sembuh dan bersama-sama kami lagi menuntaskan agenda reformasi yang masih banyak terbengkalai.
Apa yang dikatakan putri sulung saya itu hanya saya sampaikan kepada seorang kolega, Pak Dwi Larso, saat menguji Projek Akhir seorang mahasiswa MBA bimbingannya. Beliau menanggapi sambil lalu karena percaya bahwa dokter yang menanganinya sangat piawai dan sudah terbukti reputasinya selama ini. Dokter bedah syaraf alumni FK Undip yang menangani Bu Nur adalah kakak kelas Pak Dwi Larso di SMA Loyola dulu, dan kebetulan teman sekelas kakak kandung saya saat kuliah. Jadi saya pun tidak terlalu mengambil hati apa yang disampaikan putri sulung saya itu.
Tepat 9 hari sejak Ibu Nur mengalami koma, karena saat akan dioperasi mengalami kejang sesaat setelah dianestesi, beliau meninggal dunia. Meninggalkan kami, para juniornya yang seperti anak ayam kehilangan induk. Organisasi kehilangan equilibrium. Kehilangan keseimbangan, kehilangan seorang ibu yang dapat menjadi jembatan dan pengerem di saat adu argumentasi kehilangan kendali. kehilangan penyambung lidah para junior ke orang paling senior dalam organisasi. Saya lunglai dan begitu kosong.
Saya ingat apa yang dikatakan putri sulung saya itu. Firasat. Ya sudah dua kali firasat putri sulung saya itu betul-betul kemudian terjadi. Anak-anak, yang jujur, yang sholeh dan sholelah, tampaknya diberkahi kemampuan untuk merasakan apa yang orang tua tak dapat rasakan. Anak lelaki saya pun seringkali memberikan ‘pertanda’ jika akan terjadi segala sesuatu: misalnya saat kami sedang di Inggris, begitu rewelnya dia minta pulang dari sebuah tempat tepat jam 4 sore. Tak biasanya dia begitu rewel. Saat mobil saya start, ternyata mogok. Saya harus berlari sekian ratus meter ke bengkel, yang alhamdulillah hampir tutup saat saya sampai di pintunya dan minta tolong untuk membetulkan mobil itu. Jika saya terlambat sedikit saja, maka tukang bengkel itu sudah tak ada, dan mobil mungkin harus saya tinggal, di tepi hutan kecil, yang 90% mobil itu mungkin tak pernah akan ditemukan lagi karena di daerah itu catatan kriminal pencurian mobil memang sangat tinggi.
Anak-anak, seringkali lebih dapat ‘merasa’ dan ‘menangkap’ petunjuk-Nya dibandingkan dengan ‘orang tua’ yang sudah kadung banyak berbuat dosa dan terkontaminasi dengan berbagai agenda politis. Wallahu Alam