Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Harvard’

How to Create a World Class Company

SINOPSIS

Krisis ekonomi melanda Amerika Serikat serta Eropa dan dikhawatirkan menjalar ke Asia. Berbagai perusahaan berpacu mencari cara yang efektif untuk menata ulang daya saing mereka. Namun sistem manajemen kinerja yang dikembangkan saat ini, yang mayoritas didasarkan pada sistem pengukuran finansial, belum dapat mengakomodasi tuntutan persaingan tersebut.

Berbagai perusahaan mengadopsi kerangka sistem manajemen kinerja yang dikenalkan oleh para ahli secara luas dua puluh tahun terakhir, seperti SMART (Cross & Lynch, 1989), Performance Measurement Questionnaire (Dixon et al, 1990), Performance for World Class Manufacturing (Maskell, 1991), Quantum Performance Measurement Model (Hronec, 1993), Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1996), Performance Prism (Neely & Adams, 1999), ISO series dan Baldrige Criteria (Departemen Perdagangan Amerika Serikat, 1987). Namun, bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, sistem manajemen kinerja yang dikembangkan di dunia barat itu kurang pas dengan tuntutan lingkungan usaha di sini—yang memiliki aturan pemerintah, sumber daya, dan keterampilan serta pengetahuan pekerja yang berbeda.

How to Create A World Class Company berfokus pada proses perancangan Sistem Manajemen Kinerja yang kontekstual terhadap kebutuhan tiap perusahaan, sehingga perusahaan tidak sekadar mengadopsi suatu kerangka kerja tanpa melihat kebutuhan riil, kondisi usaha, serta lingkungan persaingan yang dihadapi saat ini. Buku ini dilengkapi metodologi untuk merancang sendiri Sistem Manajemen Kinerja yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan serta dilengkapi contoh perancangan di perusahaan Indonesia dan detail indikator pada tiap perspektifnya.

DETAIL

Judul How to Create a World Class Company
Seri
ISBN/EAN 9789792291438 / 9789792291438
Author Dermawan Wibisono
Publisher Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish 3 Januari 2013

 

Read Full Post »

MIT vs Harvard

Di depan MIT, Cambridge

Di depan MIT, Cambridge

 

Di dalam ruang kelas MIT, Cambridge

Di dalam ruang kelas MIT, Cambridge

John Harvard,Pendiri University of Harvard,Cambridge, USA

John Harvard,Pendiri University of Harvard,Cambridge, USA

KOmpleks Kampus Harvard University

KOmpleks Kampus Harvard University

Read Full Post »

Over Confidence

Saya tidak tahu persis apa yang membuat Amerika Serikat (AS) berhasil menjadikan warga negaranya begitu percaya diri dan kadang bahkan terkesan  arogan. Jika keberhasilan membuat kepala mendongak itu hanya berlaku bagi warga negaranya sendiri, saya tak akan terlalu ambil peduli. Tetapi keberhasilan itu ditularkan kepada siapa saja yang sempat bermukim, sekolah atau bahkan sekedar mencicipi makanan ala Amerika. Tak kurang dari pegawai di kedubesnya sampai ke level securitynya.

Jika anda akan mencari visa di Kedubes Amerika Serikat,dekat stasun Kereta Api Gambir itu,  sudah pasti anda akan disuruh antri di bawah jembatan layang, lima ratus meter dari gerbang kedubes, padahal trotoar panjang di sisi gedung itu sepi dan nanti juga akan anda lewati sebelum masuk pintu gerbang yang digembok setiap lima orang antrian masuk, dan dibuka lagi saat lima orang berikutnya giliran masuk pula. Saya kasihan melihat security, yang orang Indonesia asli itu, yang terpaksa pasang tampang sangar, padahal kerjanya cuma buka tutup pintu gerbang bercat hitam dengan gulungan kawat berduri di atasnya. Kaya pintu kuil Shaolin. Hitam menyeramkan.

Banyak orang Indonesia yang antri itu menggerutu dengan perlakuan security itu yang bahkan mengundang keheranan seorang ibu-ibu tua dari Filipinayang antri di belakang saya. Mengapa mereka harus kasar dan ketus? kalau terhadap kami yang orang asing tidak masalah, bukankah ini negara anda sendiri. Isin aku, isin tenan….sama orang Filipina itu yang paham benar beda antara tegas dan angkuh.

Orang-orang yang antri itu begitu nelangsa di rumah sendiri, padahal mereka membayar 1,5 juta per orang baik nanti dapat visa atau tidak. Lha orang mau ngasih duit kok ya disengol dan disengaki to ya. Ini di mana letak customer satisfaction yang banyak dibahas di buku teks keluaran Amerika itu. Kalau anda nggak terima dengan perlakuan kurang bersahabat itu, anda boleh juga beradu argumen: “Mas, ngapain kita antri di bawah jembatan, dekat tumpukan sampah, diguyur hujan, kalau toh nanti juga jalan di trotoar sebelah kedubes itu, kenapa nggak di sana saja antrinya. Kayak kedubes Paris yang di London itu lho Mas, yang antriannya begitu panjang  kayak ular sepanjang trotoar yang berbelak-belok..?’

Ditanggung 100% anda akan kalah beradu argumen dengan securitynya itu, karena mereka bawa pistol dan dengan garang mengusir seolah berkata: “jangan dekat-dekat kedubes, wong kamu kudisan gitu kok..!” Dan security itu orang Indonesia asli, yang dari namanya kebanyakan Jawa, yang padahal genetika aslinya mestinya tidak pantas berperilaku begitu kepada sesamanya, sesama orang Indonesia.

Lepas dari security, anda akan masuk ke loket kasir, yang tidak kalah ketus dalam memberi tahu dan memperlakukan orang. Semua digebyah uyah, disamaratakan, dianggap kita semua ini orang pelosok yang tidak berpendidikan, apalagi pernah ke luar negeri. Mereka akan ngasih tahu dengan berteriak-teriak, seolah kuping yang dikasih tahu itu kesumpelan cutton but yang lupa dilepas di pagi hari. “Diisi sejak anda smp, smp nya di mana, sma, sma di mana, namanya apa, jalan apa, kota apa…!” walaaah mau ke LN aja kok ditanya SMP dan SMA nya di mana segala. Apa korelasinya. Lha orang Indonesia itu kalau masih SMP ya kecil-kecil dan nggak punya nyali. Masih kurus kering, itheng thuntheng, kurang gizi kae lho. Beda dengan orang Bule atau Arab yang sudah gagah, sudah berkarakter atau sudah berprinsip: kalau mau jadi teroris ya teroris beneran, kalau mau ngaco ya sembada. Berani bertanggung jawab. Lha anak SMP di Indonesia, sekali dipithing dan dijenggit ujung rambutnya saja sudah teriak-teriak ngadu ke orang tuanya kok. Jadi ya nggak perlu nanya SMP segala. Apalagi kolomnya sempit, kalau sudah diisi S1, S2, S3, Post Doc, pendidikan tambahan, training….wah wis kebak, nyumpel nggak cukup….Untungnya orang Indonesia kebanyakan ya low profile. Wis diterima saja.

Nah ya sudah, itu orang Indonesia yang bekerja di kedubes AS. Lha apalagi yang alumni AS. Wah ya pasti akan lebih nggembelo. Pede abis. Dibanding lulusan Jepang, Australia, atau Inggris sekalipun, lulusan AS ini kebanyakan lho ya, tahu semangkok ya ngomongnya kayak tahu sebakul. Tahu sesendok ya kayak tahu sak dandang. Munjung kae. Tapi bagusnya mereka ini bisa membuat rekan-rekannya optimis, memandang dunia begitu terang, dalam genggaman. Walaupun kenyataannya ya embuh, wong donya bukan punya kita. Punya gusti Allah, ya terserah Gusti Allah saja takdirnya. Nggak perlu sok-sokan akan menentukan arah perputaran dunia. Dan Amerika bangkrut sekarang.

Nah saya sekarang ada di Boston tempat claim universitas terbaik di dunia berada, ada Harvard, ada MIT, ada Babson, ada Boston. Ya banyak.  Kebetulan Harvard mengadakan temu mahasiswa sedunia yang dihadiri 3.000 anak S1 dari seluruh universitas di dunia untuk simulasi sidang umum PBB. Hajatan ini sudah ada sejak 1955 dan sekarang menuai sukses dengan banyaknya peserta itu. Padahal komite pelaksananya ya anak-anak kecil dari Harvard itu yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Pinter jualan ini memang orang Amerika. Mereka seolah-olah bersidang membicarakan masalah kemiskinan, lingkungan, peburuhan dan segala macam isu yang dialami terutama oleh negara-negara miskin. ‘Bagusnya’ adalah mereka membahas kemiskinan dan kesengsaraan itu dengan dress code formal, jas, dasi, long john, sweater, dan acara akan diakhiri dengan dansa dan minum bir, bagi yang mau. Kontradiksi to?…yo gak apa-apa, lha namanya dagang kok. Dari hajatan semacam ini, anak-anak kecil Harvard itu sudah mendatangkan berapa banyak devisa termasuk menghidupi hotel, toko souvenir dan pedagang fish & chips di sana. Belum lagi bahwa mereka yang hadir ini, merupakan calon-calon diplomat dan pemimpin masa depan negara masing-masing yang secara potensi mumpuni, sehingga dalam mapnya pun serta merta ada penawaran sekolah lanjut ke Harvard. Tentu harus lulus test dan mbayar mahal. Sekali lagi, saluuuut atas kepiawaian dagang dan menjerat bakat-bakat terbaik.

Oleh-olehnya apa dari  Boston?

Boyok pegel, karena harus mengarungi 30 jam perjalanan dan lesson learned, bahwa kemasan seringkali menjadi lebih penting dari produknya, dan kapan ya kita mampu untuk tidak selalu menjadi konsumen saja, tetapi jadi pelakunya. Bagi mahasiswa yang kesana? ya pasti ada.Paling tidak untuk bisa sekedar mengatakan’ ah ternyata kalau kepinteran ya nggak jauh-jauh amat, hanya masalah bahasa dan kepercayaan diri saja sebenarnya’…itu thok, perlu biaya mahal. Dan satu lagi: bagaimana bersikap dewasa, concern pada sesama dan yang utama……tertawa pada timing yang tepat. Selain tentu masalah skill dan knowledge yang harus cepat diupdate, dengan cepat memahami masalah, mendown load hasil riset terkini yang berkaitan dan menyampaikannya sebagai resolusi yang diterima audience, yang walau pura-pura, kalau orang bule serius juga. Maunya semua duduk di depan dan mendahului bicara.

 

 

Read Full Post »