Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Bohong’

Makan siang, 22 Mei 2012, di kantin SBM ITB sejenak  kami meluruskan badan, mengisi kembali energi dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa teman. Di antara kami terdapat dua kandidat doktor dari New Zealand yang menunggu sidang di bulan Agustus dan November. Salah satu kandidat mendalami tentang leadership. Hal yang menarik dari riset terbarunya adalah temuannya bahwa leadership ini hanyalah sebatas mitos. Training-training leadership yang dilakukan para provider dan laris manis dibungkus dengan aneka gaya, role play dan praktik lapangan, pada dasarnya hanyalah sebuah hiburan lepas senja. Tak akan ada hasilnya, karena pada dasarnya pembentukan leadership tidak bisa dilakukan dengan metode instant semacam training seperti itu. Leadership adalah faktor gen dan diasah dengan tepat sejak masa kecil, terus menerus. Jadi seorang yang bawaannya bukan seorang leader, tidak akan mungkin dengan mengikuti training sebulan akan menjelma menjadi seorang leader yang tangguh. Itu hanyalah sebuah mitos. Oleh karena itu perancangan study anak-anak sejak dini dan pengkayaan pengalaman berorganisasi dan ekspresi pendapat yang merdeka sesuai dengan kadar usianya akan lebih menentukan ke arah mana seorang anak kan menuju. Jadi masih percayakah anda dengan produk-produk training instant yang mostly diadopt tanpa adaptasi dari metode Barat? itu hanyalah akal-akalan para ‘pakar’ dari barat untuk menyedot uang, seperti halnya service industry yang marak dengan iming-iming ‘produk’, hanya karena negara yang bersangkutan telah kehabisan sumber daya alam dan produknya kalah bersaing.

Read Full Post »

MBA-ITB Business Review Edisi Maret 2007

Candle Light:

Liar…Liar….

Beberapa waktu lalu di salah satu stasiun TV Inggris  ditayangkan acara bertajuk Science Lies. Salah satu spot tayangannya yang paling menarik adalah keterangan mantan Presiden dan salah satu hero Amerika Serikat, Bill Clinton tentang skandalnya dengan Monica Lewinsky. Dalam rekaman acara tersebut, Bill Clinton dengan jelas dan tegas menyatakan : “ I did not have any sexual relationship with Miss. Monica Lewinsky !” Pada saat mengucapkan kalimat tersebut, jarum penunjuk kebohongan di Lie Detector menari-nari. Dan kita semua sudah tahu bahwa Bill Clinton telah berbohong kepada publik. Perihal kebohongan ini memang menjadi perdebatan yang panjang karena menyangkut sudut pandang dan titik pijak yang dapat berbeda bagi setiap individu. Satu pihak menganggap pihak lain berbohong, namun justru pihak lain memandang sebaliknya. Namun ada satu pijakan yang digunakan oleh publik di negara maju bahwa pemimpin tidak selayaknya berbohong.

Jika kita mencoba introspeksi terhadap bencana yang bertubi-tubi dan mendera silih berganti bangsa Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, sejak bencana alam di berbagai daerah, pembunuhan di berbagai tempat, krisis ekonomi, penduduk yang amuk dan sebagainya maka salah satu akar tunjang penyebabnya adalah terjadinya krisis kejujuran yang secara sistematis terjadi dalam waktu yang lama dan menyebar dalam berbagai tingkatan masyarakat dan lembaga. Singkat kata, kita telah lama hidup dalam kebohongan. Kebohongan terhadap sejarah bangsa kita sendiri, kebohongan dalam pemilihan pemimpin dan wakil-wakil rakyat, kebohongan dalam proses-proses tender projek, kebohongan dalam konstruksi pembangunan, kebohongan dalam penyebaran informasi, kebohongan dalam berbagai proses seleksi, kebohongan dalam mendapatkan berbagai macam lisensi, bahkan sampai surat mengemudi dan banyak kebohongan lain yang suka atau tidak suka kita memiliki saham di dalamnya walau berbeda persentasinya untuk tiap individu.

Thomas Riskas dalam Executive Excellence edisi Juli 1998 menyatakan bahwa kita hidup dalam kebohongan, jika pertama kita bertindak melawan hati nurani. Kedua, kita berpura-pura menjadi orang lain dan menolak untuk mengakui keterbatasan kapasitas kita. Kita menyalahkan orang lain dan menuntut bahwa kitalah yang benar. Ketiga, kita percaya bahwa cara pandang kita terhadap pihak lain adalah begitulah adanya mereka itu (We believe that the way we see others is the way they really are). Keempat, kita membenci pihak lain yang telah melukai kita dan berasumsi bahwa kita adalah korban yang tidak berdosa. Kelima, kita menolak untuk mengakui bagaimana kita menjadi bagian dari timbulnya permasalahan itu sehingga memprovokasi pihak lain untuk melecehkan atau menyerang kita. Insting kita untuk menebus kekeliruan itu terttutup oleh insting untuk menyelamatkan muka kita sendiri.

Kita hidup dalam kungkungan kebohongan tersebut adalah akibat sistem nilai yang kita anut, yaitu bahwa kinerja kita selalu harus dikaitkan dengan kesejahteraan diri dan kelompok kita. Bahwa menjadi benar adalah sama dengan menjadi baik (being right equals being good) dan bahwa menjadi pemenang adalah satu-satunya tujuan, serta keberhasilan haruslah berarti menjadi nomer satu.  Di tambah dengan ego kita yang terus selalu meningkat dan penolakan kita terhadap kebohongan yang telah kita lakukan serta ketakutan kita akan hilangnya kekuasaan, ketidaksetaraan dan kesengsaraan, maka secara alami manusia cenderung memiliki bakat untuk tidak jujur dan bersifat reaktif.

Jika kebohongan tersebut dilakukan secara terus menerus dan seseorang memang memiliki bakat yang tinggi untuk konsisten dalam arti negatif tersebut, maka sebuah Lie Detector pun tidak akan mampu mengungkapkan kebenaran yang seharusnya. Sharon Stone yang konon memiliki IQ > 145, melakonkan dengan baik sekali dalam film Basic Instinct yang menghebohkan di awal tahun 90-an. Dalam film itu ditunjukkan bagaimana sebuah Lie Detector pun dapat dia akali dengan mudah. Tidak ada perubahan kecepatan denyut jantung, tatapan mata, helaan nafas. Semuanya tampak begitu normal. Padahal yang dituduhkan adalah rangkaian pembunuhan sadistis yang dilakukannya.

Kebohongan mungkin merupakan perkara sepele jika itu hanya menyangkut hubungan antar individu. Namun jika telah menyangkut pemimpin, maka akan menjadi perkara yang tidak sederhana karena bagi seorang pemimpin, setiap tarikan nafasnya memiliki konsekuensi terhadap publik yang dipimpinnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh para pemimpin ?

Pertama, sebagai pemimpin kita harus mengerti bahwa kesuksesan dan bahkan efektivitas hanyalah sebagai alat pemuas ego bukan jiwa. Jiwa dipuaskan melalui perhatian terhadap kebutuhan akan rasa keberartian, memulihkan hubungan yang retak, rekonsiliasi, kebenaran dan hubungan kekerabatan. Pada saat kita kehilangan visi dari seluruh bangunan ini kita menata untuk diri kita sendiri sebuah langkah untuk patah hati, kecewa, berjalan mundur dan bahkan mungkin tragedi.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa kerja jiwa tidaklah membutuhkan projek perbaikan  yang berhubungan dengan kebiasaan, rumus-rumus atau teknik-teknik  untuk menjadi mumpuni atau dengan daftar periksa  yang berisi sesuatu yang harus diselesaikan. Yang dibutuhkan adalah pandangan hidup yang merefleksikan dan melibatkan penyembuhan konfrontasi. Hal ini menyangkut pelibatan seluruh jiwa raga, memutuskan siklus reaktif dan membuat perdamaian dengan seluruh bagian dari kepribadian kita. 

Setelah memiliki kesadaran terhadap kedua aspek di atas, maka perlu ditempuh enam tahap penyembuhan  yang terdiri dari, pertama mengenali kebanggaan diri, pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan menyadari untuk apa kesalahan itu kita lakukan. Kedua, mengakui akan kenyataan bahwa kita telah salah bertindak. Pengakuan merupakan hal yang esensial untuk proses penyembuhan. Ketiga, minta maaf dengan tulus terhadap kesalahan yang telah kita lakukan. Keempat, mengubah, jika memungkinkan, tindakan kita yang keliru. Permintaan maaf dapat membantu memperbaiki kerusakan yang telah kita timbulkan. Tetapi itu saja tidaklah cukup. Pekerjaan tambahan diperlukan untuk memperbaiki pelanggaran dan menimbulkan kembali kepercayaan. Kelima, komitmen terhadap kehidupan dengan integritas yang lebih luas. Integritas berarti berusaha dengan sepenuh hati untuk mengenali hal yang baik dari yang buruk dan berlomba mencari solusi yang benar dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensinya. Keenam, memaafkan pihak-pihak yang telah menyerang. Memaafkan tidak berarti membolehkan tindakan yang tidak benar atau membebaskan dari konsekuensi yang harus ditanggung.

Jika ke-enam langkah tersebut sudah dapat dijiwai dan ditempuh oleh para pemimpin baik dari bagian masa lalu maupun yang saat ini sedang duduk nikmat dalam euforia, setidak-tidaknya krisis kejujuran tidak terus menggelinding seperti bola salju.

Jadi yang diperlukan adalah duduk bersama, dengan kepala dingin, membuka dada lebar-lebar dan bersikap gentleman. Jangan ada dusta di antara kita…………….

 

Dermawan Wibisono

Read Full Post »