Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret, 2013

Prof. Kijima & Prof. Deguchi dari Tokyo Institute of Technology, datang ke Bandung 27 Maret 2013, untuk merayakan keberhasilan peraihan Professorship Prof. Utomo, anak didiknya dari Jepang. Sebuah ketulusan dari saudara tua melihat keberhasilan saudara mudanya. Dan Prof. Dermawan…..ikut terimbas sebagai housemate dari Prof. Utomo.

Foto_Syukuran_professorship_270313

Read Full Post »

Dear all,

Romantisme kehidupan kampus tak lekang oleh waktu, dipotret dalam novel edisi terbaru 3G: Gading-gading Ganesha, yang diedit ulang sehingga lebih lincah bertutur kata. Diterbitkan oleh Gramedia, dengan bagian lengkap (tanpa potongan dari penerbit) yang akan menemui anda sekalian tanggal 8 April 2013 dengan tata wajah baru.. Selamat bernostalgia, memotret kembali romantisme perjuangan masa lalu dan extrapolasi masa kini dan masa depan…

Wibi
……………………………………….

Sebagian dari isi Bab 12:…………………………………………

Flash film berlanjut dengan snapshot terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai Presiden Iran yang mencengangkan. Dalam kesehariannya, sang presiden dari negara penghasil minyak lima besar di dunia itu dengan ikhlas bersedia tinggal di rumah sangat sederhana yang terletak di gang sempit. Menghibahkan karpet-karpet mewah Persia istana kepresidenan ke masjid-masjid. Hanya menyantap sandwich yang terbuat dari roti murahan yang menjadi bekal dari rumah—buatan istri tercinta—untuk makan siang. Memilih tidur di karpet, bukan di kasur empuk hotel dalam setiap kunjungannya. Yang dengan jujur dan berani menyatakan bahwa memang tampangnya seperti pelayan, karena tugasnya memang melayani. Yang menikahkan putranya di rumahnya yang sederhana dengan sajian buah apel dan air putih saja. Tak ada perancang busana sekelas Cristian Dior atau Anne Avantie, tak ada mobil pengantin Mercedes atau limosin. Tak ada sumbangan dan upeti berupa kunci mobil atau kunci rumah yang siap ditempati sang mempelai seusai pesta, dan tak harus repot melaporkan sumbangan yang diterimanya kepada KPK, karena memang tidak menerima apa-apa kecuali kunjungan dan doa.

Kapankah kita memiliki pemimpin seperti ini? Mengapa engkau masih selalu menumpuk harta untuk diri sendiri, kapankah mulai berpikir dan bertindak untuk mandiri?

Film terus berlanjut dengan menampilkan penggalan surat perpisahan dari Che Guevara kepada presiden Kuba, Fidel Castro, yang melakukan perubahan revolusioner dan tidak pernah mau tunduk kepada keangkuhan dan ketamakan Amerika Serikat. Tak peduli Amerika Serikat hanya terletak selayang pandang di depan mata, sehingga sekali dirudal antarbenua bahkan antarpulau sekalipun, Kuba akan segera luluh lantak, takkan lagi ada dalam peta dan sejarah bangsa-bangsa.
Surat Che Guevara ditayangkan di layar lebar diringi pembacaan yang menggema ke segenap penjuru ruangan. Che memberikan spirit untuk menjadi pemimpin yang berani dan berintegritas. Tak luntur dan tak terbeli kecintaannya terhadap negara, bangsa, dan rakyatnya. Tak tunduk dan tak mudah didikte oleh uang dan kekuatan senjata.
Arsip Che Guevara Archives
Surat Perpisahan Che Kepada Fidel Castro

“Year of Agriculture”
Havana, April 1, 1965

At this moment I remember many things—when I met you in Maria Antonia’s house, when you proposed I come along, all the tensions involved in the preparations. One day they came by and asked who should be notified in case of death, and the real possibility of it struck us all. Later we knew it was true, that in a revolution one wins or dies (if it is a real one). Many comrades fell along the way to victory.
Today everything has a less dramatic tone, because we are more mature, but the event repeats itself. I feel that I have fulfilled the part of my duty that tied me to the Cuban Revolution on its territory, and I say farewell to you, to the comrades, to your people, who now are mine.

Other nations of the world summon my modest efforts of assistance. I can do that which is denied you due to your responsibility at head of Cuba, and the time has come for us to part.
You should know that I do so with a mixture of joy and sorrow. I leave here the purest of my hopes as a builder and the dearest of those I hold dear. And I leave a people who received me as a son. That wounds a part of my spirit. I carry to new battlefronts the faith that you taught me, the revolutionary spirit of my people, the feeling of fulfilling the most sacred of duties: to fight against imperialism wherever one may be. This is a source of strength, and more than heals the deepest of wounds.
. …
I have always been identified with the foreign policy of our revolution, and I continue to be. Wherever I am, I will feel the responsibility of being a Cuban revolutionary, and I shall behave as such. I am not sorry that I leave nothing material to my wife and children; I am happy it is that way. I ask nothing for them, as the state will provide them with enough to live on and receive an education.

Ever onward to victory!
Homeland or Death!
I embrace you with all my revolutionary fervour.

Che

Para hadirin di Aula Barat terdiam dan tercekam. Terangkat emosi dan spiritnya untuk suatu saat bisa menjadi seperti seorang Che.
Flash film berlanjut pada momen terpilihnya Barack Hussein Obama, yang pernah tinggal di Indonesia, menempuh SD-nya pada tahun 1967-1971, dan satu tempat tidur dengan salah seorang dosen ITB dalam masa-masa liburannya di Yogyakarta. Film yang menayangkan Obama menyampaikan pidato kemenangan di Chicago.

Hello, Chicago!
If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer.
….
It’s the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Hispanic, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled, Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states.

It’s been a long time coming, but tonight, because of what we did on this date in this election at this defining moment, change has come to America.

And I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last 16 years, the rock of our family, the love of my life, the nation’s next first lady Michelle Obama.

But above all, I will never forget who this victory truly belongs to. It belongs to you. It belongs to you.
I was never the likeliest candidate for this office.
We didn’t start with much money or many endorsements.
Our campaign was not hatched in the halls of Washington. It began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston.
It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give 5 and 10 and 20 to the cause.
It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation’s apathy, who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep.
It drew strength from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on doors of perfect strangers, and from the millions of Americans who volunteered and organised and proved that more than two centuries later a government of the people, by the people, and for the people has not perished from the Earth.
This is your victory.
You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead. For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime—two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century.
The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term. But, America, I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there.
I promise you, we as a people will get there.
….
This victory alone is not the change we seek. It is only the chance for us to make that change. And that cannot happen if we go back to the way things were.
It can’t happen without you, without a new spirit of service, a new spirit of sacrifice.
So let us summon a new spirit of patriotism, of responsibility, where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves but each other.

As Lincoln said to a nation far more divided than ours, we are not enemies but friends. Though passion may have strained, it must not break our bonds of affection.

This is our time, to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reklaim the American dream and reaffirm that fundamental truth, that, out of many, we are one; that while we breathe, we hope. And where we are met with cynicism and doubts and those who tell us that we can’t, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people: Yes, we can!
Thank you. God bless you. And may God bless the United States of America.

Film berganti dengan tayangan hitam-putih yang agak kabur. Suasana tahun 1966, saat mahasiswa ITB ikut mendemo senior dan panutannya sendiri, Presiden Soekarno. Kultus individu yang kebablasan, demokrasi yang terlecehkan, antrean rakyat mengular untuk sekadar mendapatkan beras dan minyak tanah. Rakyat yang hanya mampu makan bulgur, nasi jagung, dan nasi aking. Penangkapan para pekerja seni dan penyetopan segala macam berita serta informasi dari luar negeri. Mahasiswa ITB menentang segala bentuk tirani, walau itu dilakukan oleh alumninya sendiri.
Sejarah berulang. Film berlanjut dengan suasana tahun 1978, saat kampus ITB diduduki militer. Tentara bersenjata masuk kampus, truk-truk militer menangkapi para aktivis, tentara mengejar mahasiswa, menggebuki saat menangkap, dan menyeretnya. Perlawanan fisik yang tak seimbang. Rumah rektor ITB, almarhum Prof. Iskandar Alisyahbana, ditembaki gentengnya oleh tentara tanpa surat perintah. Dari tahun 1978, film tentang berbagai demonstrasi yang pernah digalang, digagas, dan dipelopori mahasiswa ITB dibeberkan. Kasus Badega, Kaca Piring, penolakan kedatangan Mendagri Rudini, dan berbagai demonstrasi lain yang pada hakekatnya menunjukkan keberpihakan mahasiswa ITB terhadap penindasan rakyat.
Spot film loncat lagi ke masa 1997, yang berisi snapshot terjadinya krisis moneter yang terus berkepanjangan sampai saat ini.

Indonesia mengalami krisis moneter mulai akhir Juli 1997 sampai pertengahan 1999. Saat krisis moneter baru berjalan dua bulan dan nilai rupiah menyentuh Rp. 3.000/US$, bank-bank asing masih percaya kepada perbankan nasional. Namun ketika Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF pada awal November 1997 yang dilanjutkan dengan tindakan BI melikuidasi 16 bank, runtuhlah kepercayaan bank-bank asing terhadap perbankan nasional sekalipun itu BUMN. Terjadi chaos di dunia perbankan nasional. Perusahaan-perusahaan besar dan menengah serta masyarakat golongan atas, secara sadar maupun ikut-ikutan, selama lebih dari setahun menguras rupiahnya dari bank dan memborong dolar untuk diparkir di bank-bank luar negeri. Capital flight ini mengakibatkan kelangkaan dolar di dalam negeri. Dengan dolar yang menipis, bank-bank devisa nasional tidak dapat memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Mereka terpaksa menunggak pembayaraan L/C (Letter of Credit) impor nasabah dan pinjaman pasar uang dalam dolar. Bank memiliki rupiah dalam jumlah besar akibat suku bunga deposito yang terlalu tinggi (tujuh puluh persen per tahun pada akhir November 1997) tapi ruang gerak mereka untuk membeli dolar terbatas akibat ulah spekulan (fund manager) di Singapura dan Hongkong. Rupiah semakin loyo dan sampai menyentuh Rp. 17.000/ US$ walau hanya berlangsung satu hari pada Januari 2008. Country rating (stabilitas negara) Indonesia turun dari kategori BBB+ (awal Juli 1997) menjadi CCC. Perbankan nasional mengalami “pendarahan” karena digerotori negative spread (hasil bunga yang diterima dari peminjam lebih kecil daripada bunga yang dibayarkan ke deposito). Inilah bukti lemahnya struktur perbankan yang dibangun di atas bunga yang merupakan riba.
Di bulan Ramadhan akhir tahun 1997, beberapa alumni ITB berkumpul di Wisma Sawunggaling, Bandung, dan keluar dengan analisis bahwa secara politis, ekonomi, dan sosial, rapat berpendapat bahwa Presiden Soeharto harus segera diturunkan dari jabatannya. Bila tidak, diperkirakan kondisi nasional akan semakin parah. Bertitik tolak dari pertemuan tersebut, para alumni ITB mulai mengembangkan kelompok. Kelompok-kelompok tersebut melakukan pendekatan termasuk kepada kelompok militer.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dilakukan demo besar-besaran di kampus Universitas Trisakti menuju ke gedung DPR/MPR. Para demonstran ditahan petugas seratus meter dari gerbang dan tidak diperkenankan maju lagi karena akan mengganggu lalu lintas. Permintaan untuk lewat jalan tol juga tidak dikabulkan petugas sehingga mereka melakukan aksi duduk. Tak berapa lama terdengar senapan dikokang. Polisi menyerbu kampus dan letusan terus bergema di angkasa. Polisi menembaki mahasiswa dari luar ke dalam kampus. Letusan senapan terdengar tak henti-hentinya bagai petasan di hari lebaran. Saat hari menjelang gelap terdengar sirene ambulans masuk ke kampus. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak.
Jakarta memanas dan menjadi lautan api. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Tanggal 19 dan 20 Mei 1998 mahasiswa melakukan demo besar-besaran kembali. Presiden Soeharto turun pada tanggal 21 Mei 1998. Sejarah kelam telah tenggelam, sejarah baru akan menyingsing.

Dulu kita pernah peduli. Sekarang, ke mana perginya hati nurani?
Sepatu yang dulu dipakai oleh orang yang kita protes dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu kini telah berpindah ke kaki kita. Seyogianyalah kita pakai untuk menegakkan keadilan di manapun kita berada.

Sebuah teks kalimat berwarna merah darah terpampang di layar.
Film selesai.
Lampu-lampu di Aula Barat menyala terang. Seorang laki-laki maju ke depan panggung, ”Saudara-saudara, telah kita saksikan betapa penderitaan telah mendera bangsa ini sekian lama, bahkan sebagian di antara saudara-saudara kita belum pernah satu kali pun merasakan bahwa bangsa ini telah merdeka selama 64 tahun, sepanjang usia sebuah generasi. Kita telah menjadi bagian dari proses perjuangan, proses membentuk kemakmuran, dan mungkin sebagian proses kehancuran itu sendiri. Masih belum puaskah dengan segala nikmat yang telah kita kecap? Kapan kita akan berhenti mementingkan diri sementara sisa hidup kita tinggal sebentar lagi. Bahkan kita pun tak tahu apakah esok pagi kita masih dapat melihat matahari. Marilah kita membuat master plan untuk mencapai Indonesia Jaya. Inilah kesempatan yang mungkin takkan pernah datang dua kali dalam hidup kita!” Fuad berorasi penuh wibawa.
“Saudara-saudara sealmamater, saatnya kita merapatkan barisan, membuat perubahan, membaktikan diri kepada kemaslahatan. Tak harus semuanya dari ITB, oleh ITB, untuk ITB! Tetapi kita gandeng semua almamater, semua civitas dari semua universitas tempat kaum muda Indonesia berada: UI, UGM, IPB, Undip, Unhas, Uncen, Unpad, maupun universitas swasta yang ada. Bahkan semua putra-putri terbaik Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu di mancanegara. Amerika, Inggris, Jepang, Australia, Kanada, Malaysia. Tak ada yang lebih berarti dalam hidup ini kecuali memberi! Mari kita bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja tuntas, dan bekerja ikhlas!” Slamet menimpali dari sisi ruang yang lain.
“Kita buat real masterplan, terlalu banyak potensi yang tersia-sia. Terlalu panjang titik jaringan yang tak tersambung. Terlalu banyak waktu yang telah terbuang. Kita bangkit kembali, sekarang atau tidak pernah sama sekali!” Poltak membakar audience yang tersengat, sadar untuk menjadi berarti.
“Inilah saatnya membuat jadwal rinci, rancangan aktivitas dan alokasi personel yang segera akan kita realisasikan!” Gun Gun membagi-bagikan agenda ke seluruh peserta, sambil menginformasikan web yang bisa diakses semua peserta untuk betul-betul membuat action plan yang telah dirancang sedemikian detail dari pemikiran banyak orang dalam mailing list yang dimoderatorinya, yang sudah disarikan sekian lama.
Hadirin tak beranjak dari tempat duduk, masih termangu. Terbakar rasa nasionalismenya dan mengucapkan niat dalam hati untuk berkontribusi secara nyata bagi perbaikan negeri untuk anak cucu mereka sendiri, agar mereka tak hidup terlunta-lunta, agar tak terus menjadi bangsa korup yang paria di mata dunia.
Benny memimpin bandnya, alunan musik bergema di ruangan yang berarsitektur sangat anggun dan agung. Lengkungan kayu penyangga langit-langit ruangan bagai tangan-tangan kokoh kaum muda yang siap menerima tangung jawab, tongkat estafet kepemimpinan.
Tekad di dada terpatri kuat, melekat, tak lekang lagi hanya oleh godaan sesaat. Kini saatnya memberi,
Hadirin berdiri, bernyanyi bersama, bergandengan tangan, saling mengikat untuk membentuk langkah nyata. Bukan saatnya lagi berwacana.
Lagu Kebyar-kebyar dari almarhum Gombloh membahana, membakar jiwa dan sipirit para hadirin untuk segera menuntaskan agenda.Tak sabar menunggu fajar menyingsing.

Indonesia… 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia… 
Debar jantungku, getar nadiku 
Berbaur dalam angan-anganmu 

Kebyar-kebyar, pelangi jingga 

Biarpun bumi bergoncang 
Kau tetap indonesiaku 
Andaikan matahari terbit dari barat 
Kaupun tetap indonesiaku 
Tak sebilah pedang yang tajam 
Dapat palingkan daku darimu 
Kusingsingkan lengan 
Rawe-rawe rantas 
Malang-malang tuntas 
Denganmu… 

Indonesia… 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia… 
Debar jantungku, getar nadiku 
Berbaur dalam angan-anganmu 

Kebyar-kebyar, pelangi jingga 

Indonesia… 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia… 
Nada laguku, simfoniperteguh 
Selaras dengan simfoni

Sejarah besar kembali dimulai, kebangkitan kembali Indonesia untuk yang kesekian kali setelah zaman Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam, Kebangkitan Nasional 1908, Kemerdekaan 1945, dan kini 2009, siap mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo, baldatun toyyibatun warofun ghofur!
Gading-gading Ganesha menyodet kembali magma yang terpendam, memuntahkan lahar dengan gelora tak tertahankan untuk memberikan manfaat yang lebih nyata bagi setiap jengkal yang dilewati alirannya. Setiap insan yang hadir dalam ruangan keluar dengan kepala tegak dan niat yang tak lagi mudah dibengkokkan: menjadi rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat bagi sekalian semesta alam.

ΩΩΩΩΩ

Esok paginya, saat para alumni yang semalam menghadiri acara reuni memulai agenda rutinnya, memencet keyboard komputer masing-masing di kampus, di perusahaan, di departemen, atau di rumah, mereka disambut puisi yang ditulis oleh Baby Ahnan, ITB angkatan ‘77.

Selamat pagi Indonesia
Selamat pagi Indonesia
Kami termasuk 80% rakyatmu
Yang rajin bangun pagi
Yang tidak pernah gentar
Bangun lebih dahulu dari matahari

Selamat pagi Indonesia
Di bumimu kami berdiri
Dengan mengepal segenggam ‘kesungguhan’
Yang kami dekap erat
Tepat di jantung kamu berdetak
Menapaki hari demi hari

Selamat pagi Indonesia
Di bumimu keringat kami jatuh
Kami bekerja keras pantang mengeluh
Tak perlu diajari lagi!
Karena kerja keras adalah napas kami

Selamat pagi Indonesia
Merah-putihmu berkibar di hati
Kerja bagi kami adalah harga diri
Kerja bagi kami
Adalah mengerahkan kekuatan kami sendiri
Karena kami tidak sudi korupsi!

Selamat pagi Indonesia
Kerja adalah kebanggaan kami
Demi sebuah eksistensi

Selamat pagi Indonesia

Puisi itu berbalas dengan analisis yang dikirim oleh Hengky, alumni ITB yang menjadi direktur utama perusahaan milik negara yang mengelola proses pembangunan pabrik yang berani bersaing dengan perusahaan ternama dari luar negeri.

Setelah 25 tahun bekerja, baru saya sadari bahwa keterpurukan bangsa Indonesia disebabkan oleh insinyur-insinyur Indonesia yang kurang berkarya dan memberikan solusi kepada bangsanya. Kesalahan tidak terletak pada para ekonom, politikus, jajaran TNI, Polri, penegak hukum, ataupun jajaran lainnya. Namun kesalahan sepenuhnya terletak pada pundak para insinyur Indonesia. Tidak akan ada insinyur Amerika yang akan memikirkan kemajuan bangsa Indonesia. Tidak akan ada insinyur Jepang yang akan memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Yang harus memikirkan kemajuan negara Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya hanya insinyur Indonesia.
………………………………………………………..
(berlanjut)

Dear all,

Romantisme kehidupan kampus tak lekang oleh waktu, dipotret dalam novel edisi terbaru 3G: Gading-gading Ganesha, yang diedit ulang sehingga lebih lincah bertutur kata. Diterbitkan oleh Gramedia, dengan bagian lengkap (tanpa potongan dari penerbit) yang akan menemui anda sekalian tanggal 8 April 2013 dengan tata wajah baru.. Selamat bernostalgia, memotret kembali romantisme perjuangan masa lalu dan extrapolasi masa kini dan masa depan...

Wibi
..............................................

Sebagian dari isi Bab 12:................................................

Flash film berlanjut dengan snapshot terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai Presiden Iran yang mencengangkan. Dalam kesehariannya, sang presiden dari negara penghasil minyak lima besar di dunia itu dengan ikhlas bersedia tinggal di rumah sangat sederhana yang terletak di gang sempit. Menghibahkan karpet-karpet mewah Persia istana kepresidenan ke masjid-masjid. Hanya menyantap sandwich yang terbuat dari roti murahan yang menjadi bekal dari rumah---buatan istri tercinta---untuk makan siang. Memilih tidur di karpet, bukan di kasur empuk hotel dalam setiap kunjungannya. Yang dengan jujur dan berani menyatakan bahwa memang tampangnya seperti pelayan, karena tugasnya memang melayani. Yang menikahkan putranya di rumahnya yang sederhana dengan sajian buah apel dan air putih saja. Tak ada perancang busana sekelas Cristian Dior atau Anne Avantie, tak ada mobil pengantin Mercedes atau limosin. Tak ada sumbangan dan upeti berupa kunci mobil atau kunci rumah yang siap ditempati sang mempelai seusai pesta, dan tak harus repot melaporkan sumbangan yang diterimanya kepada KPK, karena memang tidak menerima apa-apa kecuali kunjungan dan doa.

Kapankah kita memiliki pemimpin seperti ini? Mengapa engkau masih selalu menumpuk harta untuk diri sendiri, kapankah mulai berpikir dan bertindak untuk mandiri?

Film terus berlanjut dengan menampilkan penggalan surat perpisahan dari Che Guevara kepada presiden Kuba, Fidel Castro, yang melakukan perubahan revolusioner dan tidak pernah mau tunduk kepada keangkuhan dan ketamakan Amerika Serikat. Tak peduli Amerika Serikat hanya terletak selayang pandang di depan mata, sehingga sekali dirudal antarbenua bahkan antarpulau sekalipun, Kuba akan segera luluh lantak, takkan lagi ada dalam peta dan sejarah bangsa-bangsa.
Surat Che Guevara ditayangkan di layar lebar diringi pembacaan yang menggema ke segenap penjuru ruangan. Che memberikan spirit untuk menjadi pemimpin yang berani dan berintegritas. Tak luntur dan tak terbeli kecintaannya terhadap negara, bangsa, dan rakyatnya. Tak tunduk dan tak mudah didikte oleh uang dan kekuatan senjata.
Arsip Che Guevara Archives
Surat Perpisahan Che Kepada Fidel Castro

"Year of Agriculture"
Havana, April 1, 1965

At this moment I remember many things---when I met you in Maria Antonia's house, when you proposed I come along, all the tensions involved in the preparations. One day they came by and asked who should be notified in case of death, and the real possibility of it struck us all. Later we knew it was true, that in a revolution one wins or dies (if it is a real one). Many comrades fell along the way to victory.
            Today everything has a less dramatic tone, because we are more mature, but the event repeats itself. I feel that I have fulfilled the part of my duty that tied me to the Cuban Revolution on its territory, and I say farewell to you, to the comrades, to your people, who now are mine.
            …
Other nations of the world summon my modest efforts of assistance. I can do that which is denied you due to your responsibility at head of Cuba, and the time has come for us to part.
You should know that I do so with a mixture of joy and sorrow. I leave here the purest of my hopes as a builder and the dearest of those I hold dear. And I leave a people who received me as a son. That wounds a part of my spirit. I carry to new battlefronts the faith that you taught me, the revolutionary spirit of my people, the feeling of fulfilling the most sacred of duties: to fight against imperialism wherever one may be. This is a source of strength, and more than heals the deepest of wounds.
.                       ...
            I have always been identified with the foreign policy of our revolution, and I continue to be. Wherever I am, I will feel the responsibility of being a Cuban revolutionary, and I shall behave as such. I am not sorry that I leave nothing material to my wife and children; I am happy it is that way. I ask nothing for them, as the state will provide them with enough to live on and receive an education.
...
Ever onward to victory!
Homeland or Death!
I embrace you with all my revolutionary fervour.

Che

      Para hadirin di Aula Barat terdiam dan tercekam. Terangkat emosi dan spiritnya untuk suatu saat bisa menjadi seperti seorang Che.
Flash film berlanjut pada momen terpilihnya Barack Hussein Obama, yang pernah tinggal di Indonesia, menempuh SD-nya pada tahun 1967-1971, dan satu tempat tidur dengan salah seorang dosen ITB dalam masa-masa liburannya di Yogyakarta. Film yang menayangkan Obama menyampaikan pidato kemenangan di Chicago.

      Hello, Chicago!
If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer.
....
It’s the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Hispanic, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled, Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states.
...
It’s been a long time coming, but tonight, because of what we did on this date in this election at this defining moment, change has come to America.
...
And I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last 16 years, the rock of our family, the love of my life, the nation’s next first lady Michelle Obama.
...
But above all, I will never forget who this victory truly belongs to. It belongs to you. It belongs to you.
I was never the likeliest candidate for this office.
We didn’t start with much money or many endorsements.
Our campaign was not hatched in the halls of Washington. It began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston.
It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give 5 and 10 and 20 to the cause.
It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation’s apathy, who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep.
It drew strength from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on doors of perfect strangers, and from the millions of Americans who volunteered and organised and proved that more than two centuries later a government of the people, by the people, and for the people has not perished from the Earth.
This is your victory.
You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead. For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime---two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century.
The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term. But, America, I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there.
I promise you, we as a people will get there.
....
This victory alone is not the change we seek. It is only the chance for us to make that change. And that cannot happen if we go back to the way things were.
It can’t happen without you, without a new spirit of service, a new spirit of sacrifice.
So let us summon a new spirit of patriotism, of responsibility, where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves but each other.
...
As Lincoln said to a nation far more divided than ours, we are not enemies but friends. Though passion may have strained, it must not break our bonds of affection.
...
This is our time, to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reklaim the American dream and reaffirm that fundamental truth, that, out of many, we are one; that while we breathe, we hope. And where we are met with cynicism and doubts and those who tell us that we can’t, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people: Yes, we can!
Thank you. God bless you. And may God bless the United States of America.

            Film berganti dengan tayangan hitam-putih yang agak kabur. Suasana tahun 1966, saat mahasiswa ITB ikut mendemo senior dan panutannya sendiri, Presiden Soekarno. Kultus individu yang kebablasan, demokrasi yang terlecehkan, antrean rakyat mengular untuk sekadar mendapatkan beras dan minyak tanah. Rakyat yang hanya mampu makan bulgur, nasi jagung, dan nasi aking. Penangkapan para pekerja seni dan penyetopan segala macam berita serta informasi dari luar negeri. Mahasiswa ITB menentang segala bentuk tirani, walau itu dilakukan oleh alumninya sendiri.
Sejarah berulang. Film berlanjut dengan suasana tahun 1978, saat kampus ITB diduduki militer. Tentara bersenjata masuk kampus, truk-truk militer menangkapi para aktivis, tentara mengejar mahasiswa, menggebuki saat menangkap, dan menyeretnya. Perlawanan fisik yang tak seimbang. Rumah rektor ITB, almarhum Prof. Iskandar Alisyahbana, ditembaki gentengnya oleh tentara tanpa surat perintah. Dari tahun 1978, film tentang berbagai demonstrasi yang pernah digalang, digagas, dan dipelopori mahasiswa ITB dibeberkan. Kasus Badega, Kaca Piring, penolakan kedatangan Mendagri Rudini, dan berbagai demonstrasi lain yang pada hakekatnya menunjukkan keberpihakan mahasiswa ITB terhadap penindasan rakyat.
Spot film loncat lagi ke masa 1997, yang berisi snapshot terjadinya krisis moneter yang terus berkepanjangan sampai saat ini.

Indonesia mengalami krisis moneter mulai akhir Juli 1997 sampai pertengahan 1999. Saat krisis moneter baru berjalan dua bulan dan nilai rupiah menyentuh Rp. 3.000/US$, bank-bank asing masih percaya kepada perbankan nasional. Namun ketika Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF pada awal November 1997 yang dilanjutkan dengan tindakan BI melikuidasi 16 bank, runtuhlah kepercayaan bank-bank asing terhadap perbankan nasional sekalipun itu BUMN. Terjadi chaos di dunia perbankan nasional. Perusahaan-perusahaan besar dan menengah serta masyarakat golongan atas, secara sadar maupun ikut-ikutan, selama lebih dari setahun menguras rupiahnya dari bank dan memborong dolar untuk diparkir di bank-bank luar negeri. Capital flight ini mengakibatkan kelangkaan dolar di dalam negeri. Dengan dolar yang menipis, bank-bank devisa nasional tidak dapat memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Mereka terpaksa menunggak pembayaraan L/C (Letter of Credit) impor nasabah dan pinjaman pasar uang dalam dolar. Bank memiliki rupiah dalam jumlah besar akibat suku bunga deposito yang terlalu tinggi (tujuh puluh persen per tahun pada akhir November 1997) tapi ruang gerak mereka untuk membeli dolar terbatas akibat ulah spekulan (fund manager) di Singapura dan Hongkong. Rupiah semakin loyo dan sampai menyentuh Rp. 17.000/ US$ walau hanya berlangsung satu hari pada Januari 2008. Country rating (stabilitas negara) Indonesia turun dari kategori BBB+ (awal Juli 1997) menjadi CCC. Perbankan nasional mengalami “pendarahan” karena digerotori negative spread (hasil bunga yang diterima dari peminjam lebih kecil daripada bunga yang dibayarkan ke deposito). Inilah bukti lemahnya struktur perbankan yang dibangun di atas bunga yang merupakan riba.
Di bulan Ramadhan akhir tahun 1997, beberapa alumni ITB berkumpul di Wisma Sawunggaling, Bandung, dan keluar dengan analisis bahwa secara politis, ekonomi, dan sosial, rapat berpendapat bahwa Presiden Soeharto harus segera diturunkan dari jabatannya. Bila tidak, diperkirakan kondisi nasional akan semakin parah. Bertitik tolak dari pertemuan tersebut, para alumni ITB mulai mengembangkan kelompok. Kelompok-kelompok tersebut melakukan pendekatan termasuk kepada kelompok militer.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dilakukan demo besar-besaran di kampus Universitas Trisakti menuju ke gedung DPR/MPR. Para demonstran ditahan petugas seratus meter dari gerbang dan tidak diperkenankan maju lagi karena akan mengganggu lalu lintas. Permintaan untuk lewat jalan tol juga tidak dikabulkan petugas sehingga mereka melakukan aksi duduk. Tak berapa lama terdengar senapan dikokang.  Polisi menyerbu kampus dan letusan terus bergema di angkasa. Polisi menembaki mahasiswa dari luar ke dalam kampus. Letusan senapan terdengar tak henti-hentinya bagai petasan di hari lebaran. Saat hari menjelang gelap terdengar sirene ambulans masuk ke kampus. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak.
Jakarta memanas dan menjadi lautan api. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Tanggal 19 dan 20 Mei 1998 mahasiswa melakukan demo besar-besaran kembali. Presiden Soeharto turun pada tanggal 21 Mei 1998. Sejarah kelam telah tenggelam, sejarah baru akan menyingsing.
…

Dulu kita pernah peduli. Sekarang, ke mana perginya hati nurani?
Sepatu yang dulu dipakai oleh orang yang kita protes dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu kini telah berpindah ke kaki kita. Seyogianyalah kita pakai untuk menegakkan keadilan di manapun kita berada.

Sebuah teks kalimat berwarna merah darah terpampang di layar.
Film selesai.
Lampu-lampu di Aula Barat menyala terang. Seorang laki-laki maju ke depan panggung, ”Saudara-saudara, telah kita saksikan betapa penderitaan telah mendera bangsa ini sekian lama, bahkan sebagian di antara saudara-saudara kita belum pernah satu kali pun merasakan bahwa bangsa ini telah merdeka selama 64 tahun, sepanjang usia sebuah generasi. Kita telah menjadi bagian dari proses perjuangan, proses membentuk kemakmuran, dan mungkin sebagian proses kehancuran itu sendiri. Masih belum puaskah dengan segala nikmat yang telah kita kecap? Kapan kita akan berhenti mementingkan diri sementara sisa hidup kita tinggal sebentar lagi. Bahkan kita pun tak tahu apakah esok pagi kita masih dapat melihat matahari. Marilah kita membuat master plan untuk mencapai Indonesia Jaya. Inilah kesempatan yang mungkin takkan pernah datang dua kali dalam hidup kita!” Fuad berorasi penuh wibawa.
            “Saudara-saudara sealmamater, saatnya kita merapatkan barisan, membuat perubahan, membaktikan diri kepada kemaslahatan. Tak harus semuanya dari ITB, oleh ITB, untuk ITB! Tetapi kita gandeng semua almamater, semua civitas dari semua universitas tempat kaum muda Indonesia berada: UI, UGM, IPB, Undip, Unhas, Uncen, Unpad, maupun universitas swasta yang ada. Bahkan semua putra-putri terbaik Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu di mancanegara. Amerika, Inggris, Jepang, Australia, Kanada, Malaysia. Tak ada yang lebih berarti dalam hidup ini kecuali memberi! Mari kita bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja tuntas, dan bekerja ikhlas!” Slamet menimpali dari sisi ruang yang lain.
            “Kita buat real masterplan, terlalu banyak potensi yang tersia-sia. Terlalu panjang titik jaringan yang tak tersambung. Terlalu banyak waktu yang telah terbuang. Kita bangkit kembali, sekarang atau tidak pernah sama sekali!” Poltak membakar audience yang tersengat, sadar untuk menjadi berarti.
            “Inilah saatnya membuat jadwal rinci, rancangan aktivitas dan alokasi personel yang segera akan kita realisasikan!” Gun Gun membagi-bagikan agenda ke seluruh peserta, sambil menginformasikan web yang bisa diakses semua peserta untuk betul-betul membuat action plan yang telah dirancang sedemikian detail dari pemikiran banyak orang dalam mailing list yang dimoderatorinya, yang sudah disarikan sekian lama.
            Hadirin tak beranjak dari tempat duduk, masih termangu. Terbakar rasa nasionalismenya dan mengucapkan niat dalam hati untuk berkontribusi secara nyata bagi perbaikan negeri untuk anak cucu mereka sendiri, agar mereka tak hidup terlunta-lunta, agar tak terus menjadi bangsa korup yang paria di mata dunia.
Benny memimpin bandnya, alunan musik bergema di ruangan yang berarsitektur sangat anggun dan agung. Lengkungan kayu penyangga langit-langit ruangan bagai tangan-tangan kokoh kaum muda yang siap menerima tangung jawab, tongkat estafet kepemimpinan.
Tekad  di dada terpatri kuat, melekat, tak lekang lagi hanya oleh godaan sesaat. Kini saatnya memberi,
Hadirin berdiri, bernyanyi bersama, bergandengan tangan, saling mengikat untuk membentuk langkah nyata. Bukan saatnya lagi berwacana.
            Lagu Kebyar-kebyar dari almarhum Gombloh membahana, membakar jiwa dan sipirit para hadirin untuk segera menuntaskan agenda.Tak sabar menunggu fajar menyingsing.

Indonesia... 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia... 
Debar jantungku, getar nadiku 
Berbaur dalam angan-anganmu 

Kebyar-kebyar, pelangi jingga 

Biarpun bumi bergoncang 
Kau tetap indonesiaku 
Andaikan matahari terbit dari barat 
Kaupun tetap indonesiaku 
Tak sebilah pedang yang tajam 
Dapat palingkan daku darimu 
Kusingsingkan lengan 
Rawe-rawe rantas 
Malang-malang tuntas 
Denganmu... 

Indonesia... 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia... 
Debar jantungku, getar nadiku 
Berbaur dalam angan-anganmu 

Kebyar-kebyar, pelangi jingga 

Indonesia... 
Merah darahku, putih tulangku 
Bersatu dalam semangatmu 

Indonesia... 
Nada laguku, simfoniperteguh 
Selaras dengan simfoni

            Sejarah besar kembali dimulai, kebangkitan kembali Indonesia untuk yang kesekian kali setelah zaman Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam, Kebangkitan Nasional 1908, Kemerdekaan 1945, dan kini 2009, siap mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo, baldatun toyyibatun warofun ghofur!
            Gading-gading Ganesha menyodet kembali magma yang terpendam, memuntahkan lahar dengan gelora tak tertahankan untuk memberikan manfaat yang lebih nyata bagi setiap jengkal yang dilewati alirannya. Setiap insan yang hadir dalam ruangan keluar dengan kepala tegak dan niat yang tak lagi mudah dibengkokkan: menjadi rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat bagi sekalian semesta alam.

ΩΩΩΩΩ

            Esok paginya, saat para alumni yang semalam menghadiri acara reuni memulai agenda rutinnya, memencet keyboard komputer masing-masing di kampus, di perusahaan, di departemen, atau di rumah, mereka disambut puisi yang ditulis oleh  Baby Ahnan, ITB angkatan ‘77.

Selamat pagi Indonesia
Selamat pagi Indonesia
Kami termasuk 80% rakyatmu
Yang rajin bangun pagi
Yang tidak pernah gentar
Bangun lebih dahulu dari matahari

Selamat pagi Indonesia
Di bumimu kami berdiri
  Dengan mengepal segenggam ‘kesungguhan’
Yang kami dekap erat
Tepat di jantung kamu berdetak
Menapaki hari demi hari

Selamat pagi Indonesia
Di bumimu keringat kami jatuh
Kami bekerja keras pantang mengeluh
Tak perlu diajari lagi!
Karena kerja keras adalah napas kami

Selamat pagi Indonesia
Merah-putihmu berkibar di hati
Kerja bagi kami adalah harga diri
Kerja bagi kami
Adalah mengerahkan kekuatan kami sendiri
Karena kami tidak sudi korupsi!

Selamat pagi Indonesia
Kerja adalah kebanggaan kami
Demi sebuah eksistensi

Selamat pagi Indonesia

Puisi itu berbalas dengan analisis yang dikirim oleh Hengky, alumni ITB yang menjadi direktur utama perusahaan milik negara yang mengelola proses pembangunan pabrik yang berani bersaing dengan perusahaan ternama dari luar negeri.

Setelah 25 tahun bekerja, baru saya sadari bahwa keterpurukan bangsa Indonesia disebabkan oleh insinyur-insinyur Indonesia yang kurang berkarya dan memberikan solusi kepada bangsanya. Kesalahan tidak terletak pada para ekonom, politikus, jajaran TNI, Polri, penegak hukum, ataupun jajaran lainnya. Namun kesalahan sepenuhnya terletak pada pundak para insinyur Indonesia. Tidak akan ada insinyur Amerika yang akan memikirkan kemajuan bangsa Indonesia. Tidak akan ada insinyur Jepang yang akan memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Yang harus memikirkan kemajuan negara Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya hanya insinyur Indonesia. 
.................................................................
(berlanjut)

Like ·  · Unfol

Read Full Post »

Setelah tahun 2003 berdasarkan riset majalah SWA masih berada di peringkat 6 program MM/ MBA seluruh Indonesia, dan akhirnya berhasil dinobatkan menjadi Program Studi MM/ MBA terbaik se Indonesia oleh riset Majalah SWA pada bulan September 2009, kemudian program MBA mulai mengajukan dan berbenah bagi akreditasi internasional ABEST 21 di Jepang. Langkah yang dimulai pada bulan Maret 2010 tersebut akhirnya berhasil mendapatkan akreditasi internasional ABEST21 tersebut pada bulan Maret 2013. Perlu 3 tahun untuk meningkatkan diri dan prestasi. Selanjutnya akan ditempuh akreditasi internasional EQUIST, yang berbasis di Brusel, dan dilanjutkan akreditasi AACSB yang bermarkas di Amerika Serikat…

____________

MBA-ITB Meraih Akreditasi Internasional ABEST21

Satu lagi hari yang bersejarah bagi Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB (SBM ITB). Pada tanggal 9 Maret 2013, di Ruang Kampus Aoyama Gakuin University, SBM ITB khususnya Program Magister Bisnis Administrasi (MBA) dikukuhkan akreditasinya oleh ABEST21 (The Alliance of Business Education and Scholarship for Tomorrow, a 21st Century Organization). Akreditasi dan rekognisi internasional pada MBA-ITB itu diserahkan oleh Prof. Fumio Itoh (Aoyama Gakuin foundation) dan Prof Ilker Baybars ( Carnegie Mellon University).ABEST21 adalah lembaga akreditasi internasional yang berdiri pada tahun 2005. Organisasi di bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi ini berkedudukan di Tokyo-Jepang dan dibentuk oleh akademisi terpandang Asia-Pasifik. Anggotanya terdiri dari 54 sekolah bisnis dari seluruh dunia. Misi ABEST21 adalah meningkatkan manajemen pendidikan dari sekolah bisnis dengan cara mendorong kerjasama antar anggotanya dalam upaya bersama menghadapi tantangan di abad ke-21. Organisasi ini juga didukung perusahaan ternama Asia seperti Toshiba, Sony, Toyota Motor, Panasonic, Fuji Xerox, Nissan, Kodak serta perusahaan besar lainnya.

Kerja keras dan usaha yang telah dilakukan oleh tim akreditasi SBM ITB selama proses review membuahkan hasil yaitu terakreditasi internasional dengan peringkat A (excellent), yang berlaku selama 5 tahun dari tahun 2013-2018. Ini adalah hasil yang sangat membanggakan, karena diantara semua sekolah bisnis yang menjadi anggota ABEST21 dari seluruh dunia, perolehan akreditasi peringkat A masih jarang, baik bagi anggota dari Jepang maupun negara anggota lainnya. Ini membuktikan bahwa MBA-ITB telah memenuhi standar dan kriteria internasional yang sangat baik.

ABEST21 juga memberikan penghargaan ?Excellence in Practice in Interactive Knowledge Sharing System? kepada MBA-ITB, sebagai bentuk apresiasi atas uniqueness dalam integrasi performance management system serta strategi untuk mencapai visi misi MBA-ITB dan SBM ITB yang sejalan juga dengan visi dan misi ITB.

Proses akreditasi ABEST21 pada SBM ITB terdiri dari 3 tahapan. Dimulai tahun 2010 dengan proses Eligibilty Application (pendaftaran) di ABEST21. Pada tahun 2011, masuk ke tahap kedua yaitu membuat dan melengkapi Accreditation Plan (AP) MBA-ITB yang dinilai berdasarkan 18 standar dengan 72 kriteria. 18 Standar Akreditasi ABEST21 meliputi: Mission Statement, Misssion Imperatives, Objectives for Continous, Financial Strategies, Learning Goals, Management of Curricula, Educational Level, Measures to Improve Educational Quality, Student Profile, Student Admission, Student Support, Student Incentive, Faculty Sufficiency, Faculty Qualifications, Faculty Support, Responsibilities of Faculty Members, Educational Responsibilities of Staff dan Infrastructure Support.

Proses review AP MBA-ITB dilakukan oleh tim peer review yang diketuai oleh Dr. Ruslan Priyadi (Indonesia), yang beranggotakan Dr. Phang (Thailand), Prof. John Benson (Australia), Dr. Yasmine Nasution (Indonesia). Tim ini melakukan pemeriksaan dan observasi atas kejelasan informasi pada dokumen AP MBA ITB.

Tahap terakhir dari proses akreditasi dilakukan pada tahun 2012, dimana tim Akreditasi SBM menyampaikan Self Evaluation Report (SER), yang berisi penajaman penjelasan standar dan kriteria AP, dan pelaporan existing condition serta action plan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi MBA-ITB. Tim peer review melakukan pemeriksaan, juga observasi/investigasi lapangan (visitasi) pada tanggal 21 September 2012 ke kampus MBA-ITB.

Selama 5 tahun kedepan, dengan semangat Kaizen yang menjadi prinsip ABEST21 MBA-ITB dituntut konsisten dalam mengimplementasikan action plan untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan, baik untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi maupun terus menerus melakukan improvement.

Dengan semakin berkembangnya status dan peran SBM-ITB dalam aliansi ini, maka kedepannya SBM ITB khususnya MBA-ITB akan melakukan beberapa kerjasama dengan anggota ABEST21 lainnya. Dalam waktu dekat akan diadakan sharing session dengan Universitas Putra Malaysia mengenai pengelolaan sumber daya manusia dari sisi spiritual yang telah sukses dikembangkan di dalam kurikulum mereka dan dipraktekkan dalam pemerintahan Malaysia. Selain itu juga telah disepakati kerjasama dengan Yamaguchi University of Technology serta Kyoto University dalam bentuk student bootcamp, faculty exchange, joint research serta kerjasama dengan partner small medium enterprise (SME) di Jepang yang berencana memberikan beasiswa bagi mahasiswa MBA-ITB yang berprestasi sejumlah 100 juta rupiah. Saat ini MBA-ITB menjalin kerjasama double degree program dengan Aalto University menyelenggarakan program Global Leadership Executive MBA.

Tidak hanya mendapatkan dan mempertahankan akrediasi ABEST21 saja, SBM ITB dalam dua tahun ke depan menargetkan untuk memperoleh akreditasi Equis dari lembaga EFMD yang berpusat di Brussels, Eropa. Dan setelah EFMD, target akreditasi berikutnya adalah AACSB dari Amerika. (MT)

Read Full Post »