Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Agustus, 2009

“Lelaki Sejati tak hanya berhenti di kata-kata……(film the Patriot)

Kekecewaan terjadi karena kita menaruh harapan terlalu tinggi terhadapnya, dan terlebih karena kita menyandarkan harapan itu kepada sesama manusia.

Read Full Post »

Fenomena Raden Wijaya

Pak Tarjo Werkudoro, demikian kami menyebutnya karena perawakannya yang tinggi besar seperti Werkudoro atau Bimo dalam tokoh pewayangan adalah guru sejarah SD kami yang sangat kami cintai karena begitu pandainya beliau bercerita. Semua kisah yang beliau bawakan di muka kelas bagai melintas di depan mata, bagai kanvas lukisan sambung menyambung yang membetot sukma. Salah satu cerita heroik yang masih saya ingat adalah episode Raden Wijaya yang sukses memukul mundur pasukan Kubilai Khan dari Mongol yang hampir menaklukkan separo dunia. Alkisah dengan dibantu oleh pasukan Kubilai Khan tersebut, Raden Wijaya mengobrak-abrik dinasti terakhir kerajaan Singosari. Sesaat setelah kemenangan bersama yang gilang gemilang tersebut Raden Wijaya memukul balik pasukan Mongolia yang sedang berpesta pora. Kocar-kacirlah pasukan Kubilai Khan kembali ke negerinya, dengan dendam kesumat, amarah meluap dan satu kesan mendalam di sanubari setiap prajurit, bahwa bangsa yang barusan mereka bantu itu memang penuh dengan pengkhianat, srigala berbulu domba dan ular ganas yang mematok dari balik ilalang persembunyian bersama.
Dan fenomena Raden Wijaya itu kemudian terus turun temurun terjadi dalam sejarah kenegaraan, perpolitikan, kekuasaan pemerintahan di Negara yang terletak di sabuk katulistiwa ini. Bahkan terus menggurat mengakar dalam aliran darah banyak orang, bahkan hanya sekedar atas nama sebuah jabatan dan kekuasan dalam lingkup yang teramat kecil dan sempit: kantor.
Inikah gen hasil keturunan ataukah kutukan dari pasukan Kubila Khan?
Wallahu alam

Read Full Post »

Serial: Nostalgia SMA 3 Semarang

SERPIHAN HATI YANG RETAK
(Selasa, 29 Juni 2004)

Sebenarnya ada lebih banyak lagi rahasia hati yang tak
terungkap di masa SMA itu. Sebagian kisah yang kita
tahu selama ini, justru bukan yang sebenarnya terjadi,
atau minimal dimaui. Ada banyak hati yang saling
membidik, meleset dan tak sempat tertuang dalam
ingatan kita.

Setelah kasus “Yani, kamu mengoreksi pekerjaan siapa?”
dalam episode Sepasang Merpati itu, Younsel cukup
jumawa mengetahui ada dawai senar hati bergetar
untuknya.

Hidup serasa semakin bergairah.
Semarang tampak semakin indah.
Tugu muda makin lama makin gagah.
Senyum terlempar ke setiap orang yang ditemui
sepanjang jl. Pemuda menuju Magersari, rumah
kos-kosannya. Terik panas di siang bolong serasa
sesejuk puncak Mount Everest. Mak cless…..gitu….

Namun ada hati yang panas membara.
“Kita sama-sama di kelas ranking, kulit kita sama
putihnya, mata kita sama sipitnya, bahkan aku berkaca
mata, sedangkan Yunsel gagang kaca matanya saja gak
punya, aku naik sepeda, Younsel jalan kaki. Rasanya
tak ada sisi di mana aku patut menerima kekalahan tak
bersyarat ini…” begitu batin hati yang membara itu
tak henti-hentinya menyulut relung hati, sepanjang
hari, dari jam 6.45 saat Pak Timan berteriak-teriak
mengejar para siswa yang terlambat sampai dengan pukul
12.30 saat semua hati kembali merasa sunyi.

Akhirnya hati yang meronta-ronta itu meneguhkan
dirinya untuk minta klarifikasi dan konfirmasi, kalau
perlu minta dilakukan fit and proper test, test
kepatutan dan kepantasan: siapa yang berhak di sisi
Yani Ngaliyan …

si Hati yang panas: ” Yan, tidakkah kau dapat cukup
jernih memandang persoalan dan masa depan kita…”,
wow prolognya sangat diplomatis, mbulet dan
membingungkan. Termasuk buat Yani.
Yani:” Ada apa ini…?” tanya Yani bingung dengan
senyum ala Marrie Currie…ahli nuklir itu (kalau
nanyanya mbulet terus tak bomb atom sisan lho, batin
Yani…yake lho, lha wong aku gak melu kebatinan kok).
Dengan tak sabar si hati yang panas menukas,
“Apalah istimewanya Younsel dibandingkan dengan
aku,….lihatlah dari segala sisi dengan hemat, cermat
dan bersahaja”…(wah kaya Dasa Dharma Pramuka aja
nih, ngrayu cewek kok ngono, ya pantes gak gelem).

Yani bergeming, tak terpengaruh oleh provokasi.
Baginya: biar mereka bicara….telinga kita terkunci,
ya sel….

Gemeretak gigi Younsel, mendengar ada pihak-pihak yang
mencoba membonceng dalam tikungan. Susah payah aku
berusaha mendekatinya, sejak masih tampak lugu dan
wagu. Setelah kuncup menjadi kuntum, kuntum kemudian
mekar dan serbuk sari bertemu dengan kepala putik(lho
malah pelajaran Biologi), kau akan ikut pula
memetiknya. Ho..ho..ho, buta saka ngendi kowe, iki
tatakana pusakaku, sadumuk bathuk-sanyari
bumi,pecahing dada, wutahing rudira. Ora sranta Satrio
Magersari kang nami Younsel Evand Roos, mlajar,
nggeblas, bablas angagem senjata cakra ngadang sak
ngajengipun gerbang tetenger SMA tiga (lho, rak malah
ndalang to, emange Younsel iku wayang kulit).

Tangan Younsel terkepal, muka memerah, hanya ada satu
kata di benaknya yang diapal dari sajak Wiji Thukul :
“Lawan !”.

“Youuuunselllll……jangaaaannnnn..!” teriak Yani
sambil berlari, menyiramkan sebongkah es di atas hati
yag jadi bara itu. Nyesssss….sedikit demi sedikit
emosi itu turun, mereda (atau jangan-jangan ini hanya
gertak sambal saja, karena sak jane Younsel ya gak
wani).

Akhirnya Baratayudha di padang Kurusetra itu dapat
dihindarkan.

Younsel balik badan menyusuri kembali jalan Pemuda
menuju Magersari dengan sesekali masih menengok ke
belakang. Menebarkan pandangan yang mengancam: Kali
ini kau lolos…..lain kali…entahlah….entah aku
masih berani atau tidak, maksudnya.

Sementara itu, ksatria hati yang membara dengan
tersenyum lugu, seolah tak meyadari bahaya yang
mengancam sekujur tubuhnya, mengayuh sepeda berlawanan
arah menuju Jl. Citarum, di mana seekor anjing herder
besar kesayangannya telah menunggu.

Dan kita sama-sama tahu, di antara keduanya, tak ada
yang akhirnya berhasil benar-benar memiliki hati sang
Marrie Currie…..Adakah serpihan hati yang retak itu,
masih berserakan di pelataran SMA kita?
Wallahu alam bisawab.

Read Full Post »

Garis Batu dan Garis Kapur

Pada suatu hari, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di dalam flat berukuran 54 meter persegi yang terletak di Brunswick Road, Melbourne Australia, saya menghadiri sebuah pengajian di mana sang penceramah mengutarakan analogi sederhana dari sebuah pemahaman masalah yang pelik, yaitu tentang takdir. Beliau mengatakan bahwa pada dasarnya takdir terbagi dua yaitu garis batu dan garis kapur. Garis batu adalah apa yang sudah tertulis dan pasti terjadi, di mana manusia tak akan bisa mengubahnya. Sedangkan garis kapur adalah garis perjalanan hidup manusia yang dapat diubah manusia dengan berbagai daya upaya. Ingatan gambaran sepuluh tahun lalu itu menjelma jelas dalam pikiran melihat berbagai kejadian di tanah air dalam skala besar maupun kecil. Saat pemilu presiden, para calon dengan yakin melangkah bahwa menjadi presiden adalah garis kapur. Sehingga dengan bantuan berbagai media, promosi, pembentukan opini masyarakat, dan sebagainya, para calon itu dengan yakinnya maju untuk mencalonkan diri. Dan semua sudah tahu hasilnya, bahwa keyakinan akan kemenangan diri, tidak cukup untuk mengubah garis batu yang diyakini sebagai garis kapur itu. Dalam skala yang lebih kecil, berbagai pemilihan itu akan kita saksikan dan mungkin akan kita alami. Sudah tentu dalam berbagai ajang pemilihan di manapun, yang namanya tebar pesona, konspirasi, menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, kemunafikan, dan yang lebih dari itu akan tergambar jelas. Inilah ajang di mana akan tampak sifat asli manusia yang pandai merangkai kata: membungkus booking jabatan dengan dalih untuk kemsalahatan, menginjak kaki kawan menggunakan kaki lawan bersama, memproklamirkan diri sebagai penuh welas asih sedangkan taring-taring tajamnya siap menerkam urat leher kawan seiring. Sungguh sebuah tatanan pergaulan yang amat melelahkan. Tak ada lagi saling percaya, keikhlasan untuk kebaikan, boro-boro menjadi rahmatan lil alamin. Namun ada satu yang dilupakan, bahwa pancaran sinar mata tak dapat menyimpan dusta. Perjalanan waktu dan intensitas pergaulan mempertajam alarm dan sinyal akan pesan-pesan yang disampaikan. Jika semuanya telah menjadi garis batu, segala upaya manusia dengan berbagai trik dan keculasan tak akan ada artinya. Hidup hanyalah sebuah sendau gurau. Akan diisi komedi slapstick atau membuat orang lain tertawa bahagia, semua terserah pada masing-masing aktor. Hidup adalah panggung sandiwara. Jangan kira kita tak menangkap dusta dan kepura-puraan di sana.

Read Full Post »