Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Opinion’ Category

Di depan MIT, Cambridge

Di depan MIT, Cambridge

Revolusi Karakter Bangsa

Oleh
Prof. Dr. Ir. Dermawan Wibisono, M.Eng

Visiting Professor UUM, Kedah, Malaysia

Professor SBM ITB, Bandung, Indonesia

Dalam beberapa hari ini, istilah ‘revolusi mental’ menjadi hit dalam berbagai pemberitaan media masa karena terkait dengan Pemilu yang sebentar lagi akan dilakukan, dan perbedaan sudut pandang akan pengertian kata itu yang masih samar bagi sebagian masyarakat. Kita lihat dalam struktur kebutuhan manusia, telah lama dirumuskan oleh Abraham Maslow (1954) dalam bukunya Motivation and Personally, bahwa kebutuhan manusia terbagi menjadi lima tingkatan: kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan keamanan (safety), kebutuhan sosial (love/ belonging), kebutuhan pencapaian (esteem), dan aktualiasi diri (self actualization). Dalam sebagian masyarakat saat ini, terjadi pemenuhan kebutuhan yang stagnan dan mentok pada pemenuhan kebutuhan level 3 saja dan paling mentok ke tingkat kebutuhan ke empat, yang skalanya makin lama makin membesar, tetapi tidak pernah beranjak ke level lebih tinggi lagi yaitu pemenuhan kebutuhan aktualiasi diri. Sehingga dengan gamblang setiap hari media massa dihiasi dengan kasus-kasus impor sapi, Hambalang, Bank Century, Gubernur Banten, SKK Migas dan sebentar lagi kasus Bupati Bogor. Kasus-kasus yang tampaknya bukan akan berkurang tapi terus bertambah, sehingga seolah-olah menjadi hal yang biasa, melihat para terdakwa masih bisa tersenyum sumringah, melambaikan tangan kepada segenap wartawan dan masyarakat, dan mengenakan baju batik yang bagus di kursi pengadilan. Melihat perubahan perilaku seperti ini, yang tidak lagi merasa sangat malu sebagai tertuduh, datang ke pengadilan dengan menutup mukanya yang sedih tak terkira akan aib yang telah dibuatnya yang telah mencoreng martabat dan harga dirinya, keluarganya, masyarakat pemilihnya dan institusi tempat bernaungnya. Hal semacam inilah yang tampaknya dimaksudkan sebagai perlunya sebuah revolusi mental. Perubahan yang diperlukan besar-besaran dan sangat mendasar dalam sikap mental sebagian masyarakat kita, yang tidak bisa lagi dilakukan perlahan-lahan, dengan evolusi, tapi perlu revolusi yang segera, massive dan dalam berbagai level.

Dari mana kita mulai?

Mengingat Indonesia termasuk dalam masyarakat paternalistik, yaitu masyarkat yang suka mencontoh atasannya atau panutannya, maka dimilikinya pemimpin yang memiliki karaktersitik aktualisasi diri ini diharapkan lebih efektif untuk melakukan perubahan besar ini. Telah hidup dalam keyakinan di masyarakat, bahwa di Indonesia, dipimpin orang yang benar saja belum tentu orang akan mengikutinya dengan benar, apalagi dipimpin orang yang salah dan suka menyelewengkan kekuasan, mereka akan lebih menyeleweng lagi. Karakteristik lain yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah bahwa orang Indonesia sebagian besar termasuk dalam orang-orang audio visual, yaitu orang yang lebih mudah belajar dengan melihat. Jadi di sini akan sangat jarang ditemui, orang-orang di stasiun kereta api membawa novel, buku bacaan, atau menggunakan gadgetnya untuk men-download bahan bacaan. Setelah naik kereta, langsung duduk, diam dan membaca, seperti ditemui di masyarakat, Inggris, Jepang dan negara maju lainnya. Mereka cenderung akan ngobrol, download game, chatting, sehingga saat perjalanan kereta dari Jakarta-Surabaya, mereka akan saling kenal satu gerbong bahkan memiliki foto diri (selfie) dari berbagai posisi dan dengan berbagai orang yang begitu tiba sudah diupload ke media massa. Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka ngobrol. Membaca bukan merupakan kebutuhan diri, apalagi menulis. Sehingga teks books yang dikarang oleh guru atau dosen pun menjelang pensiun, mungkin cuma 1 buah untuk memenuhi kriteria Depdikbud. Bukan merupakan proses aktualisasi diri, tetapi hanya sekedar memenuhi kewajiban. Jadi tidak heran kalau dalam ujian nasional baru-baru ini, untuk soal yang diujikan pun materinya dicontek dari teks book bahasa asing, tanpa penulisan referensi yang benar.

Oleh karena itu revolusi mental atau lebih tepatnya revolusi karakter ini mesti dimulai dari pendidikan dasar. Karena saat usia dasarlah terbentuk logika dan pengembangan pribadi yang paling pesat terjadi dalam usia seseorang. Saat ini di sekolah sudah terbentuk lingkungan yang sangat transaksional, yang salah satunya dengan dikepungnya sekolah oleh aneka bimbingan belajar. Guru di sekolah, ‘tidak lagi merasa terhina’ kalau muridnya ikut bimbingan belajar. Sekalipun itu terjadi di sekolah favorit di kota itu. Bahkan banyak guru yang berterima kasih karenanya karena tanggung jawabnya sudah diambil oleh bimbingan tes. Bagi mereka, para guru itu, hal seperti ini bukan lagi ‘penghinaan’ karena ketidakmampuan dirinya menerangkan materi dengan jelas di kelas. Bahkan banyak guru yang berperanan menjadi agent. Dengan cara menerangkan dengan tidak enak dan tidak jelas di kelas, jika mau jelas dan mendapatkan soal-soal yang nantinya mirip dengan yang akan diujikan, ikutlah bimbingan test sang guru tersebut. Hal seperti ini yang mungkin jika terjadi di jaman Ki Hajar Dewantoro, sang gurunya sudah dipecat atau minimal di’balang sandal’. Murid-muridnya pun sudah sampai tahap ‘trasaksional’ akut dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Merasa lebih baik ayah atau ibu yang mengerjakannya, atau membeli tugas merangkai janur di pasar, dari pada membikin sendiri. Sudah capai, makan waktu untuk main game, dapat nilai butut lagi. Jadi belajar pun bukan lagi dimaknai sebagai sebuah proses yang akan memperkaya ketrampilan dan pengetahuannya. Di level yang lebih tinggi, mahasiswa banyak yang mengerjakan tugas yang diberikan dengan meng-copy paste tugas kakak kelasnya, mencari jawab atas pertanyaan tahun sebelumnya, bukan lagi mengerjakan sendiri dengan penuh effort dan antusiasme, dengan mencoba memahami materi yang diberikan sebisa mungkin. Dosen atau guru yang memberikan tugas pun banyak yang sudah beranjak dari tujuan semula pendidikan. Memberikan tugas semata-mata untuk membunuh waktu, untuk menggantikan ketidakhariannya karena asyik dengan pekerjaannya di tempat lain, atau sekedar ingin ‘ngerjain’ murid-muridnya. Sehingga saat tugas dikumpulkan, bukan lagi berkeinginan untuk memeriksanya dengan melihat kekurang mengertian siswa pada aspek yang diajarkannya, sehingga mendapatkan rencana perbaikan pada proses pengajarannya, tapi langsung ditumpuk di gudang. Transaksi yang sempurna. Sebuah pertemuan demand dan supply yang klop.

Melihat proses yang terjadi dan sudah meluas di masyarakat, di mana dipercaya bahwa segala sesuatu itu tergantung dari the man behind the gun, maka saat ini diperlukan pengembangan jenis tes yang bisa mengetahui karakteristik orang-orang yang memegang garda depan panduan kemajuan bangsa, sang guru. Karena aspek trasnsaksional ini bisa jadi akan mengeram pada diri seseorang (embedded). Tidak berubah, walau social ekonomi orang yang bersangkutan telah berubah. Saat ini sudah mulai digunakan test garis tangan pada beberapa perusahaan sebagai pelengkap bagi test psikologi untuk penempatan karyawan. Apakah seseorang itu cocok di tempatkan di bagian marketing, produksi, sumber daya manusia, atau di bagian lain. Test ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pemborosan waktu belajar, menempatkan orang yang tepat dan menciptakan keriangan dalam suasana kerja. Seperti kita ketahui, orang-orang yang ‘bakatnya’ adalah introvert tentu tidak akan nyaman jika ditempatkan di bagian pemasaran. Demikian juga orang yang extrovert dan cenderung hiperaktif, sungguh akan tersiksa sekali kalau harus bekerja di atas meja sepanjang hari, karena kebutuhan dasarnya adalah ketemu orang dan bergaul. Untuk kebutuhan tes garis tangan, diperlukan data base yang sangat banyak dan akurasi yang tinggi, sejauh mana hasil test tersebut benar-benar merepresentasikan sosok yang benar. Sehingga bisa mendukung manajemen untuk melaksanakan prinsip the man in the right place on the right time . Dengan melakukan tes jenis ini, jika akurasinya sudah presisi, diharapkan benar-benar dapat dipilih orang yang betul-betul cocok sebagai pendidik seperti di tahun 1950 an. Saat kita mendapati sebagian besar guru-guru kita diseleksi oleh Belanda dengan sistem seleksi amat ketat sehingga guru pun saat itu dipanggil dengan hormat oleh masyarakat sekitarnya sebagi ‘Mantri Guru’. Sebutan guru yang setara dengan dokter atau mantri saat itu. Jiwa pendidik sangat berbeda dengan jiwa pedagang, bahkan ada sebagian kalangan yang menyatakan sangat bertolak belakang. Hasil riset di Australia menyatakan bahwa sangat sedikit usaha yang sukses besar yang ditangani oleh seorang dosen, sekalipun itu dosen entrepreneur. Hal ini disebabkan untuk sukses pada kedua bidang itu, dibutuhkan penanganan yang intens, full time, tidak bisa setengah-setengah dan saling dipertukarkan. Itu riset di Australia, di mana segala sesuatunya sudah mapan pada jalurnya. Dalam system operation procedure yang banyak ‘bolongnya’ seperti di indonesia hampir mustahil kedua kutub itu menyatu pada diri seseorang, kecuali pada orang-orang extra ordinary seperti Pak Iskandar Alisyahbana almarhum.
Jargon guru yang di Jawa merupakan akronim ‘digugu lan ditiru’ (dipatuhi dan dicontoh) kemudian mulai tahun 1970 an bergeser menjadi ‘wagu tur kuru’ (tidak pantas dan kurus kering) karena penghargaan yang minim pada tenaga pendidik saat itu dan mulai bergesernya nilai-nilai di masyarakat yang ditumbuhkan oleh aspek komersialisasi pada segala hal saat itu. Tahun-tahun sekarang lah mulai kita lihat hasil dari proses 30-40 tahun lalu itu. Yaitu timbulnya semangat transaksional, hedonism, tidak respek terhadap pendidik, yang merupakan konsekuensi logis dari perubahan karakter kedua belah pihak yang memang didisain ke arah sana.
Jadi saat ini kita seperti terkaget-kaget melihat sosok pimpinan seperti Ibu Risma-Walikota Surabaya, Pak Nurdin Abdullah-Bupati Bantaeng, Pak Joko Widodo, Pak Basuki Cahaya Purnama, karena seolah-olah kita tiba-tiba melihat makhluk dari planet lain. Sehingga kita merasa they are out of the box. Karena sudah lama kita berada di dalam box yang gelap tersebut. Sehingga muncul gumaman: hari gini walikota pegang sapu lidi..? hari gini gubernur blusukan, itukan pencitraan, dsb. Sebagian masyarakat kita terbelah menjadi dua: yang bersikap skeptis, curigaan, menuduh segala sesuatu ada pamrihnya, pencitraan jelang pemilu, dan sebagainya, karena sebagian masyarakat ini tumbuh dan berkembang dalam susasana seperti itu, negative thingking dan diliputi mental komersialisasi. Sehingga penilain terhadap orang lain selalu diidentikan dengan tata nilai yang dipegang oleh dirinya sendiri. Setengah masyarakat yang lain memahaminya sebagai pengejawantahan teori aktualisasi diri dari Abaraham Maslow tersebut di atas.

Dari sisi kajian akademis, perkembangan teori Servant Leadership (Robert K. Greenleaf, 1970), saat ini mendapatkan contoh nyata seperti saat dulu kita memiliki pemimpin seperti Bung Hatta yang untuk beli sepatu Bally pun tak pernah kesampaian sehingga guntingan koran bergambar sepatu itupun masih beliau simpan sampai sekarang atau Haji Agus Salim yang tak pernah punya rumah yang bagus, atau dalam contoh ektrim seperti Mahatma Gandhi yang hidup dengan dua lembar kain tersampir di badannya dan menggelandang ke sana kemari atau Ibu Theresia di India sana. Jadi teori servant leadership ini yang praktiknya sudah ada sejak Khalifah Umar memimpin masyarakat Arab, yang tersohor ceritanya ketika beliau harus menggendong sekarung gandum, akibat dari ‘blusukannya’ beliau ketemu dengan wanita yag kelaparan, dan beliau tahu persis konsekeunsi bagi pemimpin yang membiarkan rakyatnya kelaparan tersebut, saat ini, seakan menimbulkan gairah dan eforia baru di masyarakat.

Sebagai penutup, teori kepemimpinan servant leadership pada dasarnya adalah pengejawantahaan dari level ke lima kebutuhan Maslow, aktualisasi diri, yang dalam pelaksanaannya di Indonesia saat ini membutuhkan revolusi karakter masyarakat. Revolusi ini harus dimulai dari pucuk pimpian, karena masyarakat Indonesia yang paternalistic, dalam berbagai level. Tidak akan efektif jika hanya seorang diri melakukan revolusi, tetapi diperlukan pemahaman yang sepadan dan pelaksanaan yang riil dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, DPR/ DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati, lembaga pengadilan, dan sebagainya. Seperti sering kita pelajari, bahwa tegak tidaknya sebuah Negara akan tergantung dari 3 sokoguru penyusunnya, guru, dokter dan hakim. Oleh karena itu revolusi ini harus dimulai dari tiga soko guru berdirinya sebuah bangsa. Pertama adalah penciptaan guru-guru yang memiliki karaktersitik pendidik tulen karena para beliau ini yang akan menyiapkan kecerdasan intelektual, emotional dan spiritual anak-anak bangsa. Kedua adalah para penegak hukum, yang menjaga kesehatan jiwa masyarakat, di mana di Negara Australia, Eropa maupun Amerika Serikat, orang-orang hukum inilah yang dipersyaratkan memiliki intelektual tertinggi karena diperlukan kecerdasan intelektual dan emotional dalam memutuskan berbagai perkara agar mendapatkan putusan yang adil. Ke tiga adalah perlindungan dan penciptaan profesi dokter yang memiliki spirit melayani bukan lagi transaksional, sebagai penjaga kesehatan fisik bangsa, bukan lagi kepanjangan tangan dari perusahaan farmasi.
Akankah revolusi mental atau revolusi karakter bagi bangsa ini akan berhasil? kita tunggu hasilnya karena ini merupakan pembangunan proses yang melibatkan banyak orang dalam berbagai level dan dalam waktu yang lama. Tahun 2025 diprediksi Indonesia akan menjadi the big four countries karena limpahan usia produktif dalam jumlah besar. Hal ini jika dan hanya jika dapat terjadi, kalau usia produktif yang kita miliki tersebut memiliki karakter yang benar. Jika tidak terdapat karakter yang benar, maka yang terjadi adalah chaos. Karena usia produktif dengan karakter yang benar akan menimbulkan simbisosis mutualisme saling menguatkan untuk membangun kemaslahatan umat dan lingkungannya, tetapi dengan karakter yang tidak benar akan saling memakan dan merusak tatanan kehidupan. Yang ada bukan lagi sky of the limit self actulisation tapi sky of the limit of goods consumerism.

Read Full Post »

..Gong 2014

Pesta Segera Dimulai

Dermawan Wibisono

Gong baru saja berbunyi……Pesta akan segera dimulai kembali. Denyut nadi kampanye sudah mulai menimbulkan demam. Janji-janji akan segera ditebarkan. Padahal agenda empat  tahun yang lalu dan lima tahun yang lebih lalu lagi masih banyak yang belum terealisir. Masyarakat masih menunggu, dan mungkin akan terus menunggu, akankah yang kelak memegang kendali atas tahta ini mampu mewujudkan harapan yang telah lama dipendam. Harapan yang belum berhasil diwujudkan oleh para presiden terdahulu: Good Governance !

Terminologi good governance dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi issue yang semakin populer karena diproduksi secara masal dan kontinu oleh para politisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari sisi kepentingan para politisi dan LSM tersebut, issue good governance setiap kali pemerintahan berganti, memang merupakan komoditi yang layak jual. Hal ini disamping untuk mendapatkan simpati dari masyarakat juga sebagai sarana untuk menarik bantuan asing. Seperti diketahui, negara-negara pemberi bantuan maupun lembaga non pemerintah yang menjadi partner di  luar negeri, khususnya dalam lingkungan negara-negara Eropa, menempatkan aspek good governance of all resources sebagai kriteria utama dalam memberikan bantuan. Walaupun menjadi issue yang krusial dan menjadi inti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat luas, sayangnya para politisi seringkali mendasarkan penilaian good or bad governance terhadap pemerintah yang sedang berkuasa tersebut berdasarkan anekdot-anekdot yang kadang dapat menyesatkan opini masyarakat karena kurang gamblang mengupasnya, tidak jelas tolok ukurnya, kurang lengkap bukti pendukungnya dan cenderung bersifat memihak golongannya. Sedangkan lembaga swadaya masyarakat lebih sering meneriakkan jargon-jargon good governance tersebut secara terpisah-pisah, sendiri-sendiri, spontan dan sporadis sehingga kurang membawa perubahan secara signifikan.

Governance didefinisikan sebagai  praktek dari individu dan institusi yang berkuasa dalam melaksanakan kewajibannya di sebuah negara (Kaufmann dkk, 2000). Syarat pertama dan utama terciptanya good governance adalah transparansi.  Transparansi merupakan wujud dari dijunjung  tingginya amanah rakyat oleh  penyelenggara negara, berdasarkan titik tolak pemikiran bahwa rakyat berhak untuk mengetahui bagaimana keputusan yang menyangkut diri mereka diambil, oleh siapa keputusan tersebut dibuat, di bawah kondisi yang bagaimana; juga menyangkut bagaimana sumber-sumber umum dikelola, oleh siapa dan mengapa.

Lalu apa ciri-ciri dan kriteria yang dapat membantu kita menilai bahwa sebuah pemerintah di suatu negara telah menyelenggarakan good governance dan bagaimana langkah untuk dapat mewujudkan good governance itu sendiri?

Butir-butir berikut ini yang ide dasarnya disarikan dari African Business (2000), mudah-mudahan dapat memperluas cakrawala kita.

 Ciri-Ciri dan Kriteria Good Governance

Terdapat 7 ciri-ciri dan kriteria yang dapat kita gunakan untuk memotret proses penyelenggaraan negara oleh sebuah pemerintah yang sedang berkuasa.

 1.      Pengelolaan sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.

 Kualitas pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara merupakan faktor esensial yang dapat menerangkan apakah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa tergolong baik atau buruk. Dengan melihat korelasi antara sumber daya alam yang dimiliki dengan kesejahteraan warga negaranya, baik level maupun pemerataannya, dapat diketahui apakah sebuah negara telah mempraktekan good governance atau belum. Jika kita mengelilingi wilayah Indonesia dan membuat sebuah fungsi matematis yang memetakan korelasi antara sumber alam yang dimiliki dengan pemerataan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, niscaya kita dapat menyimpulkan sendiri bagaimana kualitas pemerintah kita terdahulu dalam mempraktekkan good governance. Hanya ada satu kata yang tepat untuk mengungkapkannya : menyedihkan !

2.      Integritas dari para politisi, penegak hukum dan elit intelektual

 Integritas dan kredibilitas dari para politisi, penegak hukum dan elit intelektual merupakan sampel yang representatif untuk mengungkapkan apakah proses pemerintahan dijalankan secara good, bad or ugly. Ketiga kalangan profesi tersebut harus merupakan merupakan tolok banding (benchmarking) model integritas. Proses money politics yang menyangkut eskekutif maupun legislatif, etika berpolitik yang bar-bar, proses peradilan yang penuh manipulasi dan kaum intelektual yang tidak independen merupakan sebagian kecil dari contoh bad governance.

3.      Pluralisme dalam sistem politik dengan adanya pihak oposisi yang efektif

 Pluralisme dalam sistem politik menggambarkan bahwa individu tidak terkooptasi dalam sistem monoloyalitas yang selain tidak sehat juga menyalahi kodrat. Pluralisme adalah manusiawi mengingat secara  fitrah, manusia dilahirkan dengan berbagai variasi ide, keinginan, kebutuhan, kemampuan, dan level kebahagiaan. Adanya pihak oposisi yang efektif merupakan cerminan bahwa terdapat keinginan bersama untuk saling bersparing partner, mengawasi, mengontrol dan bersaing untuk mengajukan program-program yang lebih baik bagi kemanfaatan seluruh bangsa. Oleh karena itu sungguh lucu jika terdapat partai yang berniat menjadi oposisi, baru setelah kandidatnya tidak masuk dalam susunan pemerintahan. Selain itu pembentukan semacam kabinet pelangi dan pengkapling-kaplingan jabatan tertentu untuk teritorial tertentu merupakan hal lain lagi yang tak kalah lucunya.

 4.      Media masa yang independen

 Terdapatnya banyak media masa yang independen merupakan cerminan dari kemerdekaan dasar manusia. Independensi harus diartikan dari ketiga belah pihak: independen dari kepentingan pemerintah yang berkuasa, independen dari kepentingan pihak yang beroposisi, dan independen dari kepentingan diri pribadi. Kepentingan yang diemban adalah untuk kemaslahatan bersama. Jadi dalam era informasi dan masyarakat yang sudah dewasa ini, fungsi utama media masa adalah menyajikan fakta, informasi dan investigasi. Selanjutnya yang menyangkut tentang kesimpulan, opini dan judgement diserahkan kepada masing-masing  individu pembacanya.

 5.      Independensi lembaga-lembaga peradilan

 Independensi lembaga peradilan merupakan hal yang vital dalam membentuk good governance. Independensi pengadilan – penegakan aturan hukum, lebih penting dari keringanan pajak untuk menarik investasi asing. Independensi di sini terutama menyangkut kewenangan yang dimiliki. Lembaga peradilan harus memiliki kewenangan penuh yang dapat menjangkau seluruh warga negara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Salah satu tolok ukur sederhana yang mudah dilihat dalam peran peradilan menegakkan good governance adalah jumlah kasus pelanggaran hukum yang dibawa ke pengadilan, kualifikasi level kasus dan tindak lanjutnya. Jadi kalau penanganan kasus sejak, misalnya, Hambalang, Century: nyaris tak segera terdengar hasilnya, dalam arti tidak segera mendapatkan hasil yang tuntas ..tas…tas..tas.. ya wallahu alam.

 6.    Proses pelayanan publik yang efisien dengan standard profesionalisme yang tinggi dan menjunjung tinggi integritas.

 Sektor publik merupakan jendela mentalitas sebuah negara. Dengan melihat pelayanan publik dapat diketahui sebaik atau seamburadul apa administrasi sebuah negara dijalankan. Indikator yang kasat mata untuk melihatnya mudah ditemukan dalam berbagai aktivitas lembaga yang melibatkan pelayanan, misalnya permohonan paspor di kantor imigrasi, pengurusan impor-ekspor barang di bea cukai, ijin fabrikasi produk spesifikasi baru di departement perindustrian dan perdagangan, pengurusan IMB atau proses HGB dan HM di agraria, dan sebagainya.

 7.      Terdapatnya aturan yang jelas dan lugas yang menyangkut aspek anti korupsi.

 Aturan anti korupsi di sini juga menyangkut tentang pengungkapan kekayaan pejabat yang memegang kekuasaan untuk mengambil keputusan, bukan hanya diterapkan pada eksekutif level tinggi saja, tetapi juga dapat menyangkut anggota legislatif dan badan-badan pelayanan. Jadi bukan hanya presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati saja yang perlu mengungkapkan kekayaannya. Para anggota DPR/ DPRD pun perlu mengungkapkan seberapa kaya atau seberapa miskinnya mereka sebelum dan setelah duduk di sana. Para pegawai bea cukai, kantor pajak, badan pertanahan, dan sebagainya, di mana seringkali pintu-pintu ‘negosiasi’ alangkah banyaknya terbuka pun perlu untuk mengadakan ‘open house. Fokus utama pengungkapan kekayaan ini tentu bukan hanya sekedar laporan pandangan mata kekayaan yang dimiliki, namun yang lebih utama adalah klarifikasi dari mana dan dengan cara apa kekayaan itu didapatkan. Faktor kedua yang terpenting adalah perbandingan kekayaan antara sebelum dan sesudah memangku jabatan itu. Adalah sia-sia hanya menjajarkan deretan kekayaan dan mengumumkannya ke masyarakat umum. Salah-salah hanya akan menerbitkan rasa iri, dengki, cemburu dan marah jika tanpa disertai klarifikasi yang dapat menyatakan fairness dalam cara mendapatkannya. Adalah sunah untuk menjadi kaya namun terlarang hanya sekedar untuk memamerkannya di tengah-tengah penderitaan sesamanya.

 Tindak Lanjut

 Dengan mengetahui ciri-ciri dan kriteria dari good governance tersebut maka dapat ditetapkan langkah-langkah untuk membentuk good governance di Indonesia. Tentu saja cara termudah adalah dengan memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas maka pembentukan good governace, insya Allah, akan terwujud. Namun demikian, langkah pemenuhan kriteria tersebut merupakan hal yang strategis, bukan saja jika ditinjau dari term waktu untuk pemenuhannya tetapi juga menyangkut lingkup yang dicakup yang sangat luas dan berjenjang-jenjang.

Beberapa hal praktis yang dapat ditempuh, di antaranya adalah sebagai berikut :

 1.      Langkah pertama yang paling esensial adalah mempengaruhi pendapat publik dan pengambil keputusan untuk peduli terhadap efek yang menghancurkan dari penyalahgunaan wewenang dan proses mal-administration melalui debat publik terbuka, konferensi, dan sebagainya. Tentu tidak hanya berhenti dalam proses wacana seperti yang selama ini kita lakukan. Debat sekedar debat dan konferensi untuk popularitas. Perlu tindak lanjut yang riil dari proses tersebut, misalnya dengan dihasilkannya rumusan-rumusan aturan main yang transparan dan disepakati bersama dalam berbagai level pengambilan keputusan di pemerintahan.

 2.      Pemimpin-pemimpin politik harus secara murni menentukan agenda pemberantasan korupsi dalam program kerjanya dan harus menunjukkan penekanan ke arah itu. Good governance, seperti halnya demokrasi tidak boleh hanya menjadi sekedar slogan, sebagai tameng untuk menentramkan pemberi dana. Promosi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang diantaranya menyangkut kampanye melawan korupsi, di mana korupsi merupakan salah satu contoh kongkrit dari praktek administrasi yang keliru (mal-administration) merupakan hal utama untuk menarik bisnisman.  Bagi kalangan bisnis, prinsip utama mereka adalah mengurangi distorsi dari aspek kompetisi yang diakibatkan oleh korupsi yang mengganggu fungsi pasar. Jadi motivasi mereka semata-mata adalah motivasi ekonomi. Ditinjau dari sisi ekonomi produksi, efek dari korupsi sangat banyak. Bukan hanya secara signifikan meningkatkan harga produk dan servis tetapi juga cenderung menurunkan kualitas. Seringkali juga menyebabkan pilihan terhadap teknologi yang diterapkan tidak sesuai dengan kebutuhan riil dan dapat menghambat prioritas pengembangan yang dibutuhkan. Akhirnya korupsi akan merusak moral masyarakat dan membuat investor menjauh serta mengurangi bantuan-bantuan negara asing.

 3.      Semua kekuatan yang memiliki itikad baik harus bekerja bersama. Hal ini harus merupakan satu koalisi segitiga antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa tidaklah realistis mengharapkan perubahan hanya dilakukan oleh masyarakat semata. Kritik-kritik dari masyarakat bukanlah gugatan  atau pergerakan sistematis untuk mendongkel pemerintahan tetapi merupakan partner, pemantau menuju proses perubahan dan meningkatkan kualitas konstruktif dari kritik tersebut.

 4.      Pelatihan-pelatihan yang lebih terarah diperlukan bagi organisasi profesi yang secara khusus menghadapi godaan dan bahaya terhadap korupsi (misal bea cukai, pajak, sistem peradilan).

 5.      Menyangkut proses restrukturisasi, tujuan harus diletakkan terhadap proses pelayanan publik yang efisien dengan standard profesionalisme yang tinggi dan integritas. Hal ini mensyaratkan para pegawai yang bertugas melayani publik diberikan pendapatan yang memadai. Sehingga pegawai tersebut tidak berfikir : “Uuhhh…ngapain juga ngitung-ngitung duit segudang tiap hari punya orang, kalau diri sendiri tak ada yang memikirkan besok makan apa !”

 6.      Pengkajian ulang atau revisi terhadap peraturan anti korupsi sangat penting khususnya untuk membawanya dalam kerangka hukum internasional yang berlaku universal.

 7.      Salah satu yang paling berisiko tinggi di mana korupsi menjadi godaan utama  adalah dalam hal pembelian dan kontrak-kontrak. Oleh karena itu prosedur yang ada tentang kedua hal tersebut di semua level harus dikaji transparansi dan efektivitasnya. Terdapat sejumlah aturan dasar yang dapat diacu, misal, jumlah kontrak yang disetujui berdasarkan penunjukan langsung/ direct agreement harus benar-benar ditekan pada angka yang paling minimum.

 8.      Penting untuk mengkaji ulang efektivitas dari pemantauan mekanisme audit finansial. Dasar hukum dan indepensi dari lembaga ini merupakan pra kondisi untuk mencegah korupsi yang efektif. Jadi misalnya setelah BPK atau BPKP menemukan penyimpangan anggaran, harus terus dikejar mau diapakan laporan penyimpangan tersebut, sejauh mana dari jumlah penyimpangan tersebut yang dapat dikembalikan, apakah si pembuat penyimpangan sebaiknya dimasukkan dalam daftar hitam dan sebagainya di mana selama ini hal tersebut merupakan masalah yang gelap bagi masyarakat.

 Penutup

                Ukuran-ukuran yang diperlukan yang tertera dalam ciri-ciri dan kriteria good governance dan tindak lanjut yang dipaparkan di atas merupakan blok untuk membangun sistem integritas nasional. Ukuran-ukuran dan tindak lanjut tersebut tentu saja merupakan masalah utama penyelenggara dan warga negara yang bersangkutan. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh pihak luar. Sebagai partner, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah asing hanyalah sebatas memberikan dukungan.

Baik parner pemerintah maupun non pemerintah, khususnya di lingkungan Uni Eropa, menempatkan good governance of all resources sebagai kriteria utama untuk memberikan bantuan. Hal ini membawa pada prinsip yang sederhana: negara yang dapat mengelola sumber-sumbernya sendiri secara benar seharusnya dapat berharap dengan mudah akan mendapat bantuan asing. Sebaliknya negara industri memiliki keengganan yang terus meningkat untuk memberi bantuan jika ternyata bantuan tersebut digunakan sebagai sarana untuk membuat kerusakan. Sebagai salah satu cermin misalnya adalah penurunan standar kehidupan yang sangat drastis di Ukraina. Penurunan standard kehidupan yang dihadapi oleh negara Ukraina selama dekade 90-an disebabkan oleh lemahnya pemerintah dalam membentuk aturan hukum, tidak cukupnya perlindungan terhadap hak cipta, korupsi yang meluas dan merata serta saran-saran gila yang dibuat oleh para pembisik di lingkungan pembuat keputusan yang memiliki kepentingan tertentu. Padahal dalam penelitian yang dilakukan oleh Kaufmann dan kawan-kawan yang menyangkut 155 negara dalam hal kontrol tehadap korupsi, Ukraina dan Indonesia hampir memiliki posisi yang sama. Indonesia ternyata dalam hal kontrol terhadap korupsi tersebut masih jauh di bawah Uganda, Bangladesh, Filipina dan Thailand (Kaufmann dkk, 1999). Padahal korupsi adalah kangker ganas dalam pembentukan good governance. Akankah pemerintah yang baru ini menjadi tonggak sejarah pembentukan good governance yang telah kita rindukan selama 69 tahun sejak kemerdekaan kita capai? Jawabnya berpulang kepada para petinggi yang baru akan mulai melaksanakan pesta. Waktu sungguh sangat mendesak, bukan saatnya lagi banyak bicara dan mengumbar wacana, tetapi kerja, kerja, dan kerja. Biarlah rakyat yang bicara

Read Full Post »

Dikutip dari blognya Dr. Ilma, 16 Januari 2014, jam 4.50 pm waktu Malaysia:

SPIRITUAL INTELLIGENCE

January 16, 2014 at 4:39pm

SPIRITUAL INTELLIGENCE

 

“Spiritual intelligence is the central and most fundamental of all the intelligences, because it becomes the source of guidance for the others.”  SQ menjadi kemampuan paling dasar dari semua kecerdasan yang ada. (Stephen Covey, 2004).

 

Terminologi SQ (Spiritual Quotient) sebagai parameter dari Spiritual Intelligence diperkenalkan pertama kali oleh Danah Zohar pada 1997 dalam bukunya ReWiring the Corporate Brain. Selanjutnya, Cindy Wigglesworth, penulis SQ-21, mendefinisikan SQ sebagai kemampuan untuk bersikap bijak dan sabar, menjaga keseimbangan batiniah dan lahiriah, dan menggunakan kemampuannya itu untuk hidup dan bertahan dalam berbagai situasi.

 

Spiritual intelligence dikonsepkan sebagai suatu evolusi teori kecerdasan terkini, melengkapi IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) yang lebih dahulu dikembangkan. Jika IQ adalah parameter kecerdasan logika klasik matematika dan verbal (pemahaman terhadap dunia fisik/material capital), dan EQ adalah parameter kemampuan inter-relasi (social capital); maka SQ didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mentranspose dua aspek kecerdasan IQ dan EQ menuju kebijaksanaan dan pemahaman yg lebih mendalam hingga dicapai kedamaian dan keseimbangan lahiriah dan batiniah (spiritual capital). Secara singkat, IQ adalah bekal untuk menjawab pertanyaan : “apa yg kupikirkan”, EQ untuk menjawab pertanyaan “apa yang kurasakan?”, sedangkan SQ adalah alat untu menjawab “siapa aku?”

 

Sama dengan Goleman sang perumus EQ, Cindy Wigglesworth merumuskan 21 aspek SQ dan menggolongkannya ke dalam 4 kuadran sebagai berikut :

  1. Ego self Awareness
  2. Universal Awareness
  3. Ego self Mastery
  4. Spiritual Presence

Selanjutnya, David B. King seorang peneliti SQ dari Trent University in Peterborough, Ontario, Canada mendefinisikan SQ sebagai kapasitas mental yg berakar pada aspek non-materi dan transendental dari realita, dlm pernyataannya sbb.:

 

“…contribute to the awareness, integration, and adaptive application of the nonmaterial and transcendent aspects of one’s existence, leading to such outcomes as deep existential reflection, enhancement of meaning, recognition of a transcendent self, and mastery of spiritual states.”

 

Singkatnya, SQ adalah kemampuan sesorang untuk mentranspose segala permasalahan kepada makna dan fungsi yang paling mendasar/hakikat. Dengan bahasa saya sendiri, SQ adalah kemampuan seseorang untuk memahami kesejatian. SQ merupakan ukuran terhadap kemampuan seseorang untuk melampaui fase-fase pemenuhan akan materi, ketrampilan inter-relasi sosial, dan selanjutnya mengarahkan semuanya untuk mencapai “kesejatian”; menggabungkan semua aspek ke muaranya, yaitu pemahaman pada Yang Paling Hakikat, terbang melebihi aspek materi dari relasi, bukan tidak peduli pada kedua hal tersebut, namun melingkupinya.

 

Apakah SQ tumbuh? Bekal SQ yang mendasar diperoleh dari keluarga, sejak jabang bayi ada di dalam kandungan. Secara alamiah sangat logis bahwa kondisi ibu sangat mempengaruhi spiritualitas janin yang dikandungnya. Berbagai neurotransmiter yang dikeluarkan oleh Ibu akan tembus plasenta dan mempengaruhi pertumbuhan neuron dan memori selama janin tumbuh. Dari aspek anatomi fisiologis,  jaringan neuron otak terbentuk hingga 70 persen selama janin dalam kandungan, disempurnakan menjadi 90 persen sampai usia 5 tahun, sisanya hanya 10 persen dilanjutkan hingga awal usia remaja. Dengan demikian, situasi dan lingkungan saat bayi lahir, tumbuh,dan berkembang tentu sangat mempengaruhi kecerdasan, bukan hanya IQ, namun EQ, dan SQ. Pertumbuhan neuron bukan hanya didukung oleh makanan, namun juga oleh impuls-impuls/rangsangan dari luar. Saraf pendengaran dan perasa sudah berfungsi  sejak dini saat janin tumbuh. Dia bisa bergerak, merasa, mendengar, mengikuti suara, tersenyum, juga menangis, selama masih ada di dalam kolam ketuban.

 

Namun demikian, sama dengan IQ dan EQ, apakah SQ bisa ditingkatkan? Kebanyakan psikolog tentu sepakat bahwa SQ bisa dikembangkan. Semua terlahir dengan  bekal dan kesadaran spiritual dari Sang Pencipta. Namun, seorang anak yang terlahir dengan bakat musik tak akan mampu menjadi seorang pemusik hebat jika tdk belajar baik secara teori maupun praktik, demikian juga dgn spiritual intelligence.  Untuk itu, dalam pengembangan SQ, diperlukan pemahaman spiritualitas baik secara teori maupun praktis.  Pendekatan teori bisa diperoleh dari berbagai sumber, bisa dari membaca/belajar sendiri, berdiskusi, mengkaji, mengaji, dsb. Sedangkan untuk aspek praktis bisa dengan berbagai simulasi maupun berhadapan langsung dengan permasalahn riil.  Sebagai catatan, meski pendekatan SQ biasanya dibahas secara universal, terlepas/tidak identik dengan pendekatan agama tertentu, namun mau tidak mau agama yang dianut akan sangat melatari spiritualitas dari seseorang.

 

Pada masa kini, di seluruh dunia bermunculan para “motivator” yang dibayar mahal. Berbagai pelatihan SQ makin hari makin banyak penggemar. Di Indonesia, kita kenal tokoh seperti Mario Teguh dan Ary Ginanjar yang mempromosikan pendekatan SQ dan mendapat atensi sangat luas. Menurut saya, semua itu sah-sah saja dan menjadi fenomena positif. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk belajar sendiri dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari supaya lebih matang dan tidak terasa “artificial” . Untuk itu, saya juga berharap bahwa teori SQ tidak dikembangkan atau digembar-gemborkan sekedar menjadi lahan untuk popularitas dan perolehan materi semata, karena jika itu yang terjadi, ruh dari SQ itu sendiri tdk akan pernah dicapai.

 

IQ,EQ, dan SQ

IQ,EQ, dan SQ

 

Empat kuadran Cindy W.

Empat kuadran Cindy W.

 

Read Full Post »

Ini saya copas dari diskusi di milist ITB tentang kriteria Presiden RI. Ada banyak sekali, yang menjadi masalah adalah adakah yang memenuhi kriteria tsb, karena kita sedang mencari ‘superman’ agaknya.

1. Monogami : Berpasangan (isteri/suami)  tidak lebih dari satu (mbak Laras)

 

2. Anti Korupsi : Tidak KKN dan secara aktif membangun sistem dan SDM untuk membuat institusi yang dipimpinnya selama ini bersih dari korupsi (Betti)

 

3. Bisa memakmurkan Negara (Yudanto)

 

4. Berwibawa : Presiden berikutnya adalah yang benar benar pemimpin, tidak suka mengeluh atau curhat, dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang (Susilo)5. Bisa Menggerakkan : Persoalan Indonesia tidak bisa diselesaikan oleh satu orang, tapi harus diselesaikan bersama-sama oleh kita semua. Makanya Presiden ke depan harus yang bisa menggerakkan kita semua untuk ikut turun tangan.(Susilo)

 

6. Cerdas & Berani : “Mengerti untuk menangkal akal2an dari para pihak yang ingin tetap memecah belah persatuan bangsa dan akal2an ekonomi untuk menguntungkan kelompoknya sendiri sambil menyengsarakan rakyat yang lebih banyak”. (Ridwan Gani)

 

7. Semangat rekonsiliasi : agar bisa menyatukan seluruh potensi masyarakat indonesia. Kalo tidak, bangsa indonesia akan terus saling mencari salah dan menyalahkan. Kapan majunya? Lebih baik mencari yg benar daripada mencari siapa yg salah ( Feby)

 

8. Bernyali : Bernyali untuk perang, memindahkan ibukota, dan duduk bersama OPM. (Jadid)

 

9. Berpikir Jangka Panjang : Pemimpin harus bisa berpikir paanjang kedepan.. ,salah satunya dalam penguatan SDM, Pendidikan, Keragaman Budaya dan keunikan anak Indonesia yang luar biasa. (Unie)

 

10.Tidak membangun dinasti kekuasaan : TIDAK MEMBANGUN DINASTI KELUARGA, untuk konteks bernegara (A. Hadi)

 

11. Membangun Kabinet yang Kompetendan Solid : Perlu juga punya keberanian membangun teamnya sendiri (baca menteri2 dan pembantu presiden yg lain) tanpa direcokin partai2 lain dan tentu aja oleh partainya sendiri juga. Pemerintahan akan berhasil kalau teamnya solid.

 

12. Berintegritas : – Jujur;– Ucapannya dapat dipegang;– Amanah (dapat dipercaya). (Widodo.sw)

 

13. Bebas Intervensi Asing :Bebas intervensi asing. Karena Pemilu 2014 ini sudah mulai bisa terlihat menjadi pertarungan pengaruh negara adidaya (Amerika), calon negara adidaya (China) dan juga sedikit pengaruh dari Timur Tengah. Pertanyaannya, apakah Indonesia bisa mempunyai sikap sendiri, atau akan tunduk terhadap kemauan Amerika atau kemauan China. (Satria)

 

14. Tidak Gaptek : Jangan sampai presiden berikutnya bisa dimainkan oleh hal-hal seperti “blue energy/banyu geni”, “supertoy”, dll. (Satria)

 

15. Pendengar yang Baik : Presiden yang mau untuk mendengar dan menggunakan “common sense”-nya. Mendengar di sini dalam artian “listening” bukan “hearing”. Terutama mau mendengar masukan dari kaum intelektual (baik dari akademisi dan praktisi) yang dimiliki negara ini. (Satria)

 

16. Kuat dalam Diplomasi International : Bisa menunjukkan kekuatan “muscle” diplomatik Indonesia di kancah dunia baik di G20 dan di PBB, maupun di hal-hal yang bersifat bilateral lainnya. Terutama, bisa menunjukkan dan membuktikan bahwa leader de-facto nya ASEAN adalah Indonesia. Lalu, Indonesia berani berkata tegas terhadap Australia, dan juga berani berkata tegas terhadap China mengenai klaimnya di Laut China Selatan yang memotong ZEE Indonesia di Natuna. Tegas di sini bukan hanya sebatas kata, tapi juga tindakan. Artinya presiden harus bisa mengkomunikasikan tindak tanduknya secara jelas, baik terhadap rakyatnya maupun terhadap masyarakat dunia yang lain. Serta mau untuk memperjuangkan freedom of movement rakyat Indonesia (kita kemana-mana masih butuh visa kan). Kata kunci minimum: kemampuan bahasa.(Satria)

 

17. Punya Visi Kemandirian IPTEK : Memiliki visi pengembangan kemampuan IPTEK bangsa yang jelas. Mungkin konkritnya, berani untuk mengejar R&D expenditure hingga 2-3% GDP selama masa pemerintahannya. (Satria)

 

18. Merakyat : pemimpin bukan sebgai boz tapi lebih sbg pelayan rakyat. Mau mendengar keluhan,  Tidak alergi kritikan, gaya hidup sederhana (Sjaiful Hadi)

Read Full Post »

Memahami Jokowi dengan kaca mata Servant-Leadership

Dermawan Wibisono

Jokowi tiba-tiba menyeruak di antara kejenuhan politik dan kerinduan akan datangnya satrio piningit yang dinanti sejak 1998. Publik bertanya-tanya terhadap gaya kepemimpinanya. Apakah ini faktor kebetulan atau ketidaksengajaan yang dia temukan saat memimpin kota Solo, yang diteruskan ke Jakarta. Ataukah ini implementasi dari pengendapan pengalaman masa kecil sampai saat mahasiswa, yang berangkat dari serba kekurangan dan dapat dia refleksikan saat menjadi pemimpin (kacang yang tak lupa pada asal-usulnya). Atau justru inilah representasi teori kepemimpinan baru yang mulai populer di dunia akademis saat ini, servant-leadership.

Walaupun tergolong baru di jagad perkuliahan, servant-leadership, sebenarnya dimulai spiritnya sejak jaman Rasulullah. Prinsip melayani dari seorang pemimpin, sudah diciptakan oleh Rasul pada tahun 500 an Masehi. Sudah 1.500 tahun yang lalu. Namun prinsip servant-leadership ini kemudian terkubur dengan timbulnya dinansti-dinasti kerajaan Romawi, Perancis, Belanda Inggris, Jepang, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan hampir seluruh dunia, yang mengenal pemimpin mereka adalah raja. Jadi mulai saat itu, keadaan berbalik. Raja adalah orang yang harus dilayani, bukan lagi yang harus melayani. Oleh perkembangan ilmu manajemen, kemudian timbullah apa yang dinamakan servant-leadership oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1960 an. Terminology servant- leadership diperkenalkannya pada tahun 1970 dalam publikasinya yang berjudul The Servant as Leader.  Dia mendefinisikan the servant-leader sebagai is servant first…it begins with natural feeling that ones wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead. That person is sharply different from who is leader first, perhap because of the need the assuage an unusual power drive or to acquire material possessions….The leader-first and the servant first are two extreme types. Between them there are shadings and blends that are part of infinite variaety of human nature.

Jadi mengamati perlikaku dan gaya kepemimpinan Jokowi, ini tampaknya adalah praktik rill jaman sekarang tentang servant–leadership yang selama ini hanya dipahami sebatas konsep, teori dan contoh-contoh abtract yang ada di dunia. Dilihat dari gaya bicaranya yang tak formal yang tak membuat jarak antara masyarakat dan dirinya, pakaian yang ‘asal nempel’ (tak harus model safari yang banyak kantongnya-yang dulu amat populer, sehingga orang menyindir bahwa harus banyak kantongnya untuk menaruh upeti dari yang dikunjunginya), gaya non protokoler yang blusak-blusuk ke tempat permasalahan timbul – seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar yang harus memanggul beras di waktu malam ketika mengetahui salah satu rakyatnya kelaparan, tidak silau oleh kenyamanan dengan inspeksi menggunakan mobil mewah seperti biasa dilakukan para pemerhati dan pengamat-menuliskan penderitaan rakyat dari balik hotel bintang lima, dan sebagainya.

Servant leadership fokus utamanya pada pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat dan komunitas di mana dia berada. Sedangkan traditional-leadership biasanya melibatkan pada akumulasi dan penggunaan kekuatan oleh seseorang pemegang kekuasaaan pada puncak piramid. Servant- leadership sangat berbeda dalam konsep dan pelaksanaanya di lapangan, karena titik beratnya lebih pada sharing kekuasaan dan kekuatan bukan mengkooptasinya dan memusatkan pada dirinya semata. Meletakkan kepentingan orang lain sebagai prioritas pertama dan keinginan untuk membantu orang untuk mengembangkan dan berkinerja setinggi mungkin.

Stephen Covey menyatakan bahwa servant- leadership akan tumbuh lebih cepat dari periode sebelumnya, dan salah satu cara yang bisa anda lakukan adalah dengan memberdayakan orang yang anda pimpin. Berbeda dengan jenis leadership yang lain, yang mulai dengan mengendalikan atau merangkai kekuasaan, servant- leadership pertama, bekerja dengan membangun foundation atau dasar-dasarnya dengan mendengarkan dengan lebih seksama suara masyarakat untuk mengetahui kebutuhan dan konsern orang lain. Oleh karena itu tidak heran Jokowi sampai mengadakan pertemuan lebih dari 50 kali sebelum memindahkan pedagang kaki lima di Solo dan mengadakan pertemuan lebih dari 30 kali sebelum memindahkan pedagang Tanah Abang, yang sebelumnya meruapakan kekuatan non formal, sehingga dianggap mitos mampu membenahi kesemrawutan yang sudah turun temurun. Kedua, servant-leadership bekerja dengan penuh pengertian untuk membantu  membangun konsensus dalam masyarakat. Fokus dari servant- leadership adalah sharing informasi, membangun visi bersama, self manajemen, ketidaktergantungan pada tingkat yang lebih tinggi, belajar dari kesalahan, encouraging input kreatif dari tiap anggota organisasi atau masyarakat dan selalu bertanya terhadap asumsi yang diambil.

Lebih lanjut, menurut Larry Spears, servant-leadership  adalah menyediakan framework di mana orang akan saling membantu untuk meningkatkan dan memperbaiki tatanan serta bagaimana kita memperlakukan mereka. Servant-leadership merupakan harapan baru dan panduan terkini untuk pengembangan manusia dalam era baru untuk menghasilkan organisasi yang lebih peduli dan lebih baik. Pada akhirnyadimilikinya spirit dari servant-leadership di level individu, organisasi maupun masyarakat lah yang akan membentuk harapan lebih baik bagi masa depan kemanusiaan.

Menurut Ken Keith, CEO dari the Greenleaf Center for Servant Leadership di Asia, servant-leadership adalah etical, practical dan meaningful. Disebut etical karena menyangkut tentang pelayanan kepada sesama bukan pemanfaatan atau ekspoitasi terhadap manusia lain.  Practical karena menyangkut aspek praktis yang dapat diterapkan dalam mengidentifikasi dan menemukan kebutuhan orang, pelanggan atau masyarakat. Meaningful karena servant-leadership membantu kolega, organisasi atau masyarakat untuk tumbuh, memperkaya pelayanan mereka terhadap pihak lain dan berkontribusi pada penciptaan nilai tambah bukan yang pada jangka panjang merupakan representatif terhadap kepedulian untuk mencapai kemakmuran dan dunia yang sustainable.

Jadi kembali kepada pertanyaan di paragraf awal, dapat ditarik hipothesis bahwa gaya, model, cara kerja, sistem yang dilakukan oleh Jokowi saat ini adalah perpaduan antara pengalaman masa lalunya sebagai orang di pihak kurang beruntung dan penerapan model kepemimpinan servant-leadership, yang sudah diwariskan sejak jaman Rasul, namun sebagian dari kita hanya menyadarinya sebatas bacaan saja, tanpa pernah menerapkanya dalam kehidupan riil. Jika hypothesis ini benar, maka akan sulit bagi pihak lain untuk menirunya. Karena banyak orang yang memiliki pengalaman pahit sejak masa kecil, namun tidak pandai menarik pelajaran darinya. Bahkan seringkali orang sukses yang berangkat dari masa susah, justru ingin mengubur masa lalunya sedalam-dalamnya. Atau justru menarik keuntungan sebanyak-banyaknya, agar sanak keturunannya tidak mengalami pengalaman sepahit yang dia rasakan. Apalagi orang sukses yang berangkat dari keluarga sukses sebelumnya. Biasanya tidak ada ‘penjiwaan’ yang tulus terhadap penderitaan yang tak pernah dirasakannya. Saya memiliki seorang senior yang dengan jujur pernah berkata kepada saya, dan selalu saya ingat kalimat beliau:” ..Terus terang, jujur saya katakan, saya tidak pernah merasakan susah, tidak tahu rasanya orang susah, dan tidak tahu bagaimana pedihnya tidak punya uang, karena pengalaman saya sejak kecil tidak pernah berkaitan dengan hal tersebut.” Sebuah pengakuan yang jujur dan benar, bagi banyak pemimpin yang ada di Indonesia saat ini.

Akan halnya hypothesis kedua, bahwa penerapan servant-leadership ala Jokowi, bukanlah semata-mata copy paste terhadap sebuah metodology akademis ke alam praktis. Ini perlu penerapan dengan hati dan perlu ‘bakat’ besar dan dalam untuk berlaku sebagai servant-leader. Karena servant-leadership hampir mengubah segalanya, sejak dari positioning yang diambil sampai tahap implementasi menyeluruh. Telunjuk tangan tak lagi aktif, suruh sana, suruh sini. Membuka lebar-lebar telinga terhadap suara masyarakat. Tidak mendahulukan, apa yang saya terima dari aktivitas ini, sehingga Jokowi tidak mengambil gaji agar mentalnya tak teracuni dengan aspek finansial semata, dan menempatkan dirinya duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan masyarakat, dengan misalnya tidak lagi membuka open house, di mana masyarakat sungkem dan pejabat serta pengusaha setor muka kepadanya.

Sebagai penutup, bergembiralah para pengajar sekolah bisnis dan manajemen, bahwa kini tak lagi terpaksa memberi contoh abstrak atas teori yang dipelajari, tapi semuanya nyata di depan mata. Inilah titik tolak dan contoh dari proses penerapan servant-leadership yang masih akan terpajang setidaknya sampai tahun 2014. Bahkan mungkin akan makin banyak contoh dan aktor lain akan berperilaku serupa. Setidaknya, masyarakat akan makin beruntung dengan timbulnya fenomena ini dan optimisme masyarakat menuju negara ke 4 terbesar di dunia pada tahun 2025 makin menggelora.

 

Penulis saat ini sedang menjadi visiting professor di Universitas Utara Malaysia

Profesor SBM-ITB

 

Read Full Post »

SUDUT PANDANG – 2
      (Indoz-net, Rabu 17 September 1997)

Dermawan Wibisono

      Hari-hari terakhir ini saya merasa lelah. Amat lelah. Agaknya umur
yang semakin merambat tak dapat mengelakkan takdir. Banyak teman-teman
sebayaku yang telah meninggal. Pergi selamanya. Pergi membawa
cita-citanya, pergi membawa amalannya dan tidak membawa barang-barang apalagi
orang-orang yang dicintainya.
Jabatan direktur, pemimpin, ketua atau apalah namanya di
organisasi ini telah aku pegang tak kurang dari lamanya orang merayakan
kawin perak. Banyak kemajuan, tak sedikit pula kekurangan.
Aku mewarisi puing-puing organisasi ini dari pendahuluku.
Siang-malam aku bekerja untuk memperbaikinya. Aku rekrut orang-orang
terbaik yang ada, dan mereka menerapkan segala macam teori yang telah
mereka peroleh bagai memuaskan dahaga di padang safana. Business
Reengineering, Economic Value added, Human Behaviour Approach, Total
Quality Management, Balanced Scorecards, dan semua jenis kosa kata yang
mereka punya.
Dan menguninglah padi yang siap untuk dituai. Buah yang ranum itu
tak ayal membuat banyak pihak saling berebut. Bagai kanak-kanak mengejar
layang-layang putus. Sikut sana-sikut sini, sodok sana-sodok sini.
Di hadapanku semuanya berlangsung baik-baik saja. Mereka
melaporkan aneka kemajuan yang telah, sedang dan akan dicapai.
Lingkungan kerja yang bersih dan indah. Operator-operator produksi yang berseragam,
necis dan ceria dan selalu mengelu-elukan kehadiranku, dan aneka
penghargaan manajemen dari berbagai pihak aku terima. Kurang apa?
Ternyata aku kurang memiliki waktu untuk diriku sendiri maupun
keluargaku. Anak-anak tumbuh begitu cepat. Tak sempat aku merengkuhnya.
Tahu-tahu mereka telah tumbuh menjadi para konglomerat. Mereka memiliki
dunianya sendiri. Nasi telah menjadi bubur. Mereka sudah tidak pantas
lagi untuk dilarang dengan mencubitnya seperti masa kanak-kanak itu. Semuanya
terlalu sibuk dengan obsesinya, dengan caranya sendiri. Agaknya mereka
berbakat dalam dunianya. Berbakat untuk berjualan apa saja: sepatu,
bir, mobil, elektronika, telekomunikasi, konstruksi dan semuanya gagah-gagah
seperti Arjuna. Buktinya para gadis ayu manapun tak ada yang menolak
lambaian tangannya. Lambaian tangan anakku.
Aku telah beranjak 70 tahun. Keadaan bukan semakin ringan. Para
profesional yang sudah susah-susah sekolah mulai kehabisan energi.
Kerjanya minta petunjuk melulu. Para bawahan yang dulu begitu tentram,
mulai menggeliat, bikin onar melulu. Barangkali jagung sudah semakin
sulit didapat sehingga mereka lebih suka membakar-bakar apa saja yang mereka
temui dari pada berdiang membakar jagung. Para manajer yang kena giliran
karena program pemerataan rejekiku mulai banyak bertingkah seperti
pangeran terusir dari istana.
Menghitung hari tidaklah begitu menyiksa jika kita tidak tahu
bahwa kita telah dibohongi.
Ketika para akuntan melaporkan profit perusahaan, ternyata dia
memiliki pembukuan yang berbeda yang berarti sebaliknya.
Ketika para direktur melaporkan perluasan bidang usaha dan
mutually benefit dengan masyarakat di sekitarnya, ternyata mereka
menggembungkan kantongnya sendiri.
Ketika cleaning servise melaporkan kebersihan perusahaan, ternyata
kotoran itu hanyalah disapu dibawah karpet saja dan esok hari akan
muncul lagi jika aku sudah tidak di tempat itu.
Ketika security melaporkan keamanan pabrik, ternyata mereka main
gebuk saja bahkan terhadap anak kecil yang hanya mau menempelkan sticker
di tembok pabrik.
Dan masyarakat mulai menggugatku. Hanya aku seorang.
Kolegaku, bawahanku, saudara-saudaraku, anak-anakku semuanya
berlarian menjauhiku. Tertawa-tawa.
Aku terpenjara di sekeliling singa berbulu domba.

Read Full Post »

Agenda Mobil Nasional Berikutnya

(Harian Kompas, 1997)

Dermawan Wibisono

TAHUN 1997 menjadi tahun penantian yang kesekian kalinya bagi
masyarakat akan hadirnya mobil dengan ‘harga yang terjangkau’.
Penantian panjang sebelumnya, kurang lebih 25 tahun, ‘hanyalah’
menghadirkan Kijang, yang pelan namun pasti harganya merambat naik
dari tahun ke tahun sejak berharga Rp 5 juta sampai saat ini mencapai
di atas Rp 35 juta. Pola yang sama ‘dengan sukses’ diikuti oleh Isuzu
Panther, dengan harga sekitar 20 jutaan pada awal peluncurannya, dalam
waktu kurang dari 5 tahun sudah menjadi 1,5 kali lipat dari harga
semula. Masyarakat berharap-harap cemas, jangan-jangan Timor, Maleo,
Mobil Bakrie atau merek lain yang ‘mengaku sebagai mobil nasional’
akan berperilaku sama.

Lalu apa artinya kebijaksanaan pemerintah dalam industri otomotif
kalau ternyata belum pernah mencapai sasaran yang diinginkan:
menciptakan mobil ‘murah’, sebagai sumber devisa negara dan menjadikan
industri otomotif sebagai lokomotif bagi industri manufaktur lainnya.

Pembenahan industri otomotif melalui berbagai macam peraturan yang
dikeluarkan pemerintah selama ini tampaknya baru sampai pada tahap
diagnosa terhadap gejala dari sebuah penyakit. Tetapi belum menjangkau
akar dari penyakit itu sendiri. Sebelum terjun dalam industri
otomotif, negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman,
Swedia, Korea Selatan, Australia dan Kanada telah terlebih dahulu
membenahi industri dasarnya yang merupakan akar ‘penyakit’ dari
industri otomotif, yaitu ketersediaan bahan baku yang andal dan
kemampuan industri penunjangnya. Negara-negara ‘pengekor’ berikutnya
seperti Brasil, Argentina, India, Taiwan, dan Cina pun telah memiliki
industri bahan baku yang kualified sebelum menggeluti bagian yang
‘lebih ringan’ dari industri otomotif, yaitu konsentrasi sebagai
pemasok komponen.

Dua industri bahan baku
terpenting bagi industri otomotif adalah industri kimia dan peleburan
logam sebagai bahan utama komponen kendaraan bermotor. Jika kita
telusur lebih lanjut sampai saat ini, celakanya, Indonesia belum
memiliki struktur yang andal untuk kedua bidang tersebut.

Klaim yang dilontarkan sementara pihak dengan mengatakan bahwa
menghasilkan pesawat terbang yang terdiri dari puluhan ribu komponen
saja dapat kita lakukan, apalah artinya menggabungkan sejumlah kurang
dari 5.000 komponen untuk menjadi sebuah mobil, adalah bagus untuk
membangkitkan motivasi namun terlalu arogan dalam implementasi dan
tindak lanjutnya.

Industri otomotif bukanlah masalah gabung-menggabung komponen.
Produsen mobil seperti Nissan yang mensyaratkan cacat maximum
(defects) untuk part-nya sebesar 7 buah untuk setiap 1 juta produknya,
ternyata masih ‘kecewa’ dengan performansi pemasoknya dari Inggris.
Padahal Inggris merupakan salah satu kiblat industri logam dan kimia.
General Motor, Ford, dan Chrysler saling bekerja sama dengan membuat
panduan QS-9000 untuk pemasok-pemasok mereka dan diperkirakan
sepertiga dari pemasok traditional mereka akan terpental jika tidak
membenahi diri. Padahal para pemasok komponen Amerika tersebut
mendapatkan bahan baku mereka dari industri dalam negeri dengan
standard kualitas yang tinggi pula. Artinya, industri bahan baku
negara-negara maju pun masih menghadapi ‘gugatan’ dalam pasokannya ke
industri otomotif.

Analogi dari gambaran di atas adalah, sudahkah Krakatau Steel,
misalnya, mampu mensuplai bahan baku untuk chassis, cyllinder block,
cyllinder head, exhaust manifoldatau intake manifold? Adakah industri
pengecoran alumunium dalam negeri yang mampu menyediakan pasokan bahan
baku untuk mayoritas komponen yang lain dalam kualitas yang
dipersyaratkan oleh industri otomotif kelas dunia dengan harga yang
bersaing? Siapkah industri kimia kita mendukung penyediaan fiber yang
saat ini banyak dipakai sebagai pengganti kelangkaan logam? Dalam
skala yang ‘tidak terlalu penting’ namun menjangkau ke masa depan,
sudahkah industri cat kita membenahi diri dengan penyediaan cat
berpelarut air, bukan berpelarut minyak, yang mulai dikembangkan
berbagai industri otomotif untuk menciptakan produk ‘bebas’ polusi
(clean production systems)?

Tentu saja kita tidak harus menghasilkan produk tersebut sejak dari
bahan baku menjadi komponen mobil, semuanya sendiri. Tetapi kita perlu
memfokuskan diri pada sektor tertentu yang memiliki nilai tambah
paling besar dan menghindarkan diri dari ketergantungan yang
berkepanjangan. Selalu perlu untuk memulai membangun industri dengan
analisa dasar: membuat atau membeli? Semuanya dengan dasar untuk
kesejahteraan segenap masyarakat.

Penutup

Industri otomotif adalah industri yang sangat sensitif dalam hal
kualitas dan image serta menyedot investasi yang mahal untuk
penelitian dan pengembangannya. Selain itu daur hidup (life cycle)
produk otomotif semakin pendek, yang semula bisa bertahan 10 tahun,
semakin menciut menjadi 5 tahun dan akhirnya banyak yang menetapkan
hanya sebesar 3 tahun saja. Dalam industri otomotif, keuntungan dari
ongkos buruh yang murah tidak lagi menjadi primadona karena keuntungan
dari sektor ini akan dieliminir oleh faktor lain yang lebih penting,
yaitu ketersediaan bahan baku yang murah dan berkualitas.

Jika Indonesia konsisten dengan programnya mewujudkan mobil nasional,
maka pembenahan di bidang industri kimia dan pembentukan logam harus
segera menjadi prioritas garapan berikutnya. Keterlambatan penanganan
pada sektor ini akan mengakibatkan beberapa konsekuensi.

Pertama, ‘mobil nasional’ akan meluncur hanya di tahun-tahun awal
saja. Setelah itu, perilaku yang sama seperti pernah ditempuh Kijang
dan Isuzu Panther seperti dicontohkan dalam ilustrasi di awal tulisan
ini akan kembali terulang. Harga akan merambat naik akibat inefisiensi
produksi komponen (dengan bahan baku lokal, namun kualitasnya belum
andal atau bahan baku impor yang harus menanggung berbagai macam bea
dan depresiasi nilai rupiah).

Kedua, para prinsipal akan tetap sangat ‘jual mahal’ untuk
mempertaruhkan masa depan mereka dengan menyerahkan proses produksinya
kepada negara lain yang belum terbukti keandalannya dalam sektor
tertentu, terutama kualitas bahan baku maupun industri komponennya.
Selain itu, selama masih tetap terikat sebagai ATPM (Agen Tunggal
Pemegang Merek), kerja mewujudkan mobil nasional dalam lingkungan
semacam ini laksana menanti janji “akan memberikan kemerdekaan di
kemudian hari”.

Mewujudkan mobil nasional secara mandiri sejak disain produk awal
maupun rancang bangun pabriknya seperti yang ditempuh Maleo dan Mobil
Bakri adalah alternatif yang lebih ‘terjamin’ walaupun harus
mengerahkan resourcesyang sangat besar. Dengan catatan konsistensi
tetap terus terjaga, tidak berhenti hanya pada clay model, fiber
shape, prototypeyang asal bisa nongol pada perayaan tujuh belas
Agustus di Istana Negara saja. Mendapat applaus dari pengunjung, dan
setelah itu tak terdengar kelanjutannya. Atau jika produksi berlanjut
akan menghadapi kendala yang serupa dengan para pendahulunya. Semoga.

Read Full Post »

Makan siang, 22 Mei 2012, di kantin SBM ITB sejenak  kami meluruskan badan, mengisi kembali energi dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa teman. Di antara kami terdapat dua kandidat doktor dari New Zealand yang menunggu sidang di bulan Agustus dan November. Salah satu kandidat mendalami tentang leadership. Hal yang menarik dari riset terbarunya adalah temuannya bahwa leadership ini hanyalah sebatas mitos. Training-training leadership yang dilakukan para provider dan laris manis dibungkus dengan aneka gaya, role play dan praktik lapangan, pada dasarnya hanyalah sebuah hiburan lepas senja. Tak akan ada hasilnya, karena pada dasarnya pembentukan leadership tidak bisa dilakukan dengan metode instant semacam training seperti itu. Leadership adalah faktor gen dan diasah dengan tepat sejak masa kecil, terus menerus. Jadi seorang yang bawaannya bukan seorang leader, tidak akan mungkin dengan mengikuti training sebulan akan menjelma menjadi seorang leader yang tangguh. Itu hanyalah sebuah mitos. Oleh karena itu perancangan study anak-anak sejak dini dan pengkayaan pengalaman berorganisasi dan ekspresi pendapat yang merdeka sesuai dengan kadar usianya akan lebih menentukan ke arah mana seorang anak kan menuju. Jadi masih percayakah anda dengan produk-produk training instant yang mostly diadopt tanpa adaptasi dari metode Barat? itu hanyalah akal-akalan para ‘pakar’ dari barat untuk menyedot uang, seperti halnya service industry yang marak dengan iming-iming ‘produk’, hanya karena negara yang bersangkutan telah kehabisan sumber daya alam dan produknya kalah bersaing.

Read Full Post »

Konflik

Menabur Konflik, Menuai Krisis

Oleh: Dermawan Wibisono

Di kalangan suku Yoruba yang hidup di Afrika Barat terdapat sebuah cerita rakyat yang cukup popular, berkisah tentang The Creation of Confusion. Penciptaan kebingungan. Inti cerita tersebut, saya kutip dari bukunya Achebe (1975), adalah sebagai berikut : Di sebuah desa, hiduplah dua orang petani yang bersahabat karib. Mereka berdua, masing-masing memiliki ladang yang terletak berdekatan dan hanya dipisahkan oleh sebuah jalanan berbatu. Manakala sang surya terbit menghangatkan bumi, berangkatlah mereka berendengan ke ladang dengan riang gembira.. Sambil bekerja, mereka selalu asyik mengobrol dan bercanda ria. Sampai kemudian Eshu, dewa takdir yang senang membuat kebingungan, memutuskan untuk memecah kedamaian dan persahabatan di antara mereka. Eshu mengecat separo tubuhnya dengan kapur putih dan di separo yang lain digosoknya dengan batu bara hitam pekat. Kemudian, berjalanlah Eshu dengan lenggak-lenggok bak peragawati memamerkan gaun rancangan mutakhir, melintasi dengan cepat jalanan berbatu yang memisahkan kedua ladang itu. Sesaat setelah sampai pada jarak pendengaran, kedua orang petani yang sedang bekerja itu melompat dari keasyikan mereka pada saat yang bersamaan. Salah seorang diantara mereka berkata : “Apakah kamu tadi melihat seseorang dengan badan yang putih luar biasa melintasi jalan ini ?” Dalam satu tarikan nafas yang sama, petani yang lain berkata : “Apakah kamu tadi melihat seseorang dengan kulit hitan pekat melintasi jalan ini ?” Akhirnya terjadilah pertengkaran di antara keduanya. “Orang tersebut berkulit putih !” kata petani yang satu. “Bukan, dia hitam, apa matamu buta !”sergah petani yang lain. Pertengkaran itu semakin menghebat dan berkelahilah mereka sejadi-jadinya. Akhirnya karena kelelahan dan tidak ada yang menang, mereka kembali ke ladang masing-masing, diam membisu dan murung. Tidak beberapa lama kemudian, Eshu kembali lewat dengan gaya memamerkan diri seperti tadi. Tiba-tiba kedua orang itu kembali bercakap. “Maafkan aku, kamu benar, yang lewat tadi memang putih,” kata petani yang tadinya mengatakan bahwa orang yang lewat itu hitam pekat. Dan dalam waktu yang bersamaan yang lain juga berkata : “Akulah yang salah. Maafkan aku. Ternyata yang lewat itu hitam seperti katamu “. Kemudian kedua orang itu kembali bertengkar. “Saya salah !” “ Bukan, sayalah yang salah !“ Mereka kembali bertengkar dengan hebat sehingga mengundang tetangganya berdatangan. Akhirnya kedua petani itu dibawa ke kantor polisi dan masing-masing mengisahkan ceritanya serta permintaan maafnya yang tidak diterima. Sang polisi berdiri tercenung dan keheranan. Sungguh membingungkan, dua orang berkelahi, kemudian saling minta maaf, dan berkelahi lagi karena tidak mau menerima permintaan maaf temannya. Kemudian Eshu menampakkan diri dan berjalan berkeliling dua kali. Akhirnya Eshu berkata :”Membuat kontroversi dan kebingungan merupakan hiburan yang paling kusenangi untuk mengisi waktu luangku”. Augsburger (1992) menyatakan bahwa konflik merupakan sebuah krisis yang mendorong kita untuk mengenali secara eksplisit bahwa kita hidup dalam multi realitas dan pada saat kita menciptakan konflik maka kita telah membawa suatu hal yang berbeda dan seringkali berlawanan dengan apa yang menjadi pemahaman umum komunitas tempat kita hidup. Untuk itu diperlukan negosiasi ke arah realitas yang umum dipegang oleh komunitas tersebut. Dari keterangan tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa sudut pandang dalam memahami dan memperlakukan konflik adalah sama seperti halnya dalam mengambil jalan demokrasi, yaitu pihak minoritas berusaha untuk memahami pihak mayoritas. Bukan sebaliknya. Oleh karena itu sungguh sangat berbahaya sikap yang diambil oleh salah satu pengurus partai politik dalam mensikapi kebijakan yang diambil presiden, yang dinilai oleh beberapa kalangan sebagai hal yang kontroversial, yang menyatakan :”Bahwa jika Presiden menyatakan langit itu kuning, maka partai kami pun akan menyatakan pula demikian”. Sikap tersebut merupakan perulangan sejarah masa lalu yang menyatakan :”Hitam kata Bung Karno – Hitam pula kata KKO.” Atau yang baru saja sejenak lepas dari ingatan dengan slogan monoloyalitas. Sikap demikian adalah justru sedang menegakkan diktator minoritas yang sangat bertentangan dengan alur fikiran demokrasi maupun pemecahan konflik yang ditimbulkan. Artinya, sikap yang demikian hanyalah sebuah tindakan untuk menyapu kotoran ke bawah karpet. Karpet tampak bersih, namun kotoran tetap tertinggal di sana. Tetap menjadi sumber debu dan penyakit. Demikian pula dengan bibit-bibit konflik yang ditinggalkan, tetap tidak terpecahkan. Konflik merupakan hal yang merusak. Atau setidaknya membawa konsekuensi untuk merusak, terutama jika pihak-pihak yang terlibat merasa tidak puas dengan hasil yang diinginkan pihak lain dan mereka merupakan pihak yang kalah dalam konflik tersebut. Sebaliknya sebuah konflik akan menjadi konstruktif dalam proses dan konsekuensinya jika semua pihak yang terlibat merasa puas dengan hasil yang disepakati dan mereka mendapatkan hasil yang baik dari konflik tersebut. Semakin seimbangnya kepuasan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang bersengketa, semakin konstruktiflah konflik tersebut (Deutsch, 1969). Untuk mendapatkan konflik yang konstruktif diperlukan langkah-langkah yang memenuhi karakteristik tertentu, yaitu: 1. Mempertegas batas-batas permasalahan yang menjadi sumber konflik sehingga konflik yang terjadi dapat dinyatakan dan divisualisasikan dengan gamblang. 2. Membatasi konflik hanya pada asal muasal perselisihan dan mencegah melebar pada isu yang lain. 3. Mengarahkan konflik ke arah pemecahan masalah yang kooperatif dan mengendalikan persaingan agar terhindar dari perselisihan yang tidak sehat. Di lain pihak, potensi konflik akan menjadi hal yang destruktif jika terdapat tendensi sebagai berikut : 1. Meluasnya isu, sikap-sikap negatif dan justifikasi yang diambil oleh perseorangan. 2. Semakin samarnya sebab utama terjadinya konflik sehingga terlupakan untuk dipecahkan karena sibuk dengan kasus-kasus ikutan yang sebenarnya hanyalah sebuah konsekuensi sampingan. 3. Terjadinya percepatan ke arah pamer kekuatan, penggunaan praktek kekerasan dan cara-cara penuh muslihat 4. Polarisasi ke arah pendapat yang seragam yang dikendalikan oleh keinginan pemikiran tunggal dan kepemimpinan yang serakah. Dari karakteristik konflik yang konstruktif dan tendensi terjadinya konflik yang destruktif seperti dijabarkan dalam kerangka fikiran di atas dapat ditarik garis analisis bahwa konflik-konflik yang mulai bersemai di masyarakat saat ini cenderung menuju ke arah konflik yang destruktif. Sebagai contoh kasus terbaru yang sudah banyak di bahas adalah pencopotan para menteri dan penetapan para wakil menteri. Terlepas dari analisis terhadap kinerja eks-menteri, rumor-rumor yang melingkupinya, dan kredibilitas serta kapabilitas penggantinya, cara yang ditempuh presiden dalam pencopotan tersebut beserta argumentasi yang diberikan telah menebarkan bibit konflik. Bibit tersebut kemudian disemaikan oleh pihak-pihak parpol pendukung keduanya menjadi isu yang meluas dan akhirnya dipupuk subur oleh berbagai media masa serta sikap-sikap yang diambil oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Lalu bagaimana mencegah konflik tersebut menjadi semakin destruktif dan mengarahkannya menjadi konflik yang konstruktif ? Selain mengacu pada strategi yang menuju ke arah penciptaan karakteristik koflik konstruktif dan menjauhi tendensi konflik destruktif, perlu difahami langkah praktis kedua metode tersebut. Pemecahan konflik yang akan menjurus ke arah proses destruktif biasanya diawali dengan pemberian prioritas pada langkah yang menitikberatkan pada aspek siapa yang memiliki kekuasaan. Jadi penggunaan argumentasi semacam:“ Khan saya yang menjadi Presiden, bukan dia !” Atau seperti :”Ini adalah hak prerogatif saya, dan saya akan menggunakannya. Tidak usah debat dan diskusi. Gitu aja kok repot!” adalah contoh langkah yang menitikberatkan pada pamer kekuasaan tersebut. Setelah pamer kekuasaan maka langkah berikutnya adalah mencari siapa yang benar. Jadi penggunaan jargon:”President can do no wrong !” dan slogan “ Kuning kata presiden, kuning kata saya!” adalah contoh mencari pembenaran yang mengarahkan pada proses destruktif pula. Sedangkan proses konstruktif menitik beratkan pada pencarian terhadap rekonsiliasi kebutuhan dan interest yang lebih luas. Dalam hal ini bukan saja kebutuhan dan interest individu yang terlibat konflik, namun juga perlu diperhatikan kebutuhan dan interest komunitas tempat hidup di mana konflik tersebut terjadi. Setelah dikaji kebutuhan utama tersebut barulah ditelaah dengan cermat untuk mencari pandangan dan argumentasi siapa yang benar. Akhirnya penggunaan kekuasan hanyalah merupakan alternatif terakhir dan digunakan sekecil mungkin dalam mengatasi konflik tersebut. Dengan demikian, potensi krisis lanjutan sebagai konsekuensi logis dari konflik yang ditimbulkan akan dapat dicegah dan dihindari. Untuk itu perlu diambil sikap lembah manah, andap asor (rendah hati dan berlapang dada) seperti kata peribahasa suku Yoruban: “The one who forgiveness gains victory.” Orang yang penuh maaflah sang pemenang. Namun perlu juga dicermati peribahasa Angola berikut ini : The One who throws the stones forgets; The one who is hit remembers forever. Yang melukai akan cepat melupakannya, sedangkan yang terkena lemparan batu akan teringat selamanya. Damailah Indonesia, jayalah SBM

Read Full Post »

MBA-ITB Business Review Vol 6 No. 3 2011

Abundant Mentality

 Dermawan Wibisono

Dalam pembicaraan sehari-hari sering terlontar pertanyaan: bagaimana bangsa Indonesia bisa seperti ini, berebut pada hal yang tak perlu diperebutkan, beramai-ramai memperebutkan jabatan dan setelah didapatkan tidak melakukan apa-apa yang signifikan? Mengapa begitu banyak orang menerapkan filosofi orang yang sedang menaiki tangga, meraih anak tangga di atasnya sambil menginjak anak tangga di bawahnya. Menjilat atasan dan dalam waktu bersamaan melindas bawahan. Panjang diskusi telah dilakukan, seperti menggelar selembar kain untuk mendapatkan tanda-tangan agar masuk guiness book of record. Dari kain panjang itu, secuil di antaranya adalah adanya satu hypothesis yang menarik yaitu karena bangsa Indonesia dihantui oleh scarcity mentality. Mental yang berawal dari serba kekurangan. Mental yang timbul dari sikap yang terancam yang membentuk pola pikir yang hidup sepanjang hayatnya dan akhirnya menentukan perilaku dalam tindak dan keputusan yang diambil. Seorang teman mengamati hal ini pada hewan peliharaannya, seperti Skeener yang mengamati tikus dan Pavlov yang mengamati anjing, pada waktu membuat teori motivasi pada jaman dahulu. Dia memiliki 2 ekor kucing anggora dan seekor kucing kampung yang dipungut dari pinggir jalan. Dua ekor kucing anggora nya setiap hari diberikan susu, makanan, dan dilatih ketrampilan pada jam yang teratur, disuruh duduk manis, dilarang mengganggu saat orang nonton TV dan ke belakang pada saatnya. Kucing anggora yang dipelihara sejak kecil itupun menurut sesuai dengan pakem yang diberikan. Dengan cara yang sama dia lakukan hal itu pada kucing kampung yang didapatnya. Kucing kampung yang dipungut dari pinggir jalan, karena sudah terbiasa dengan survival, sama sekali tidak menurut teori pelatihan dari text book paling eksklusif yang dimiliki. Disela-sela makan, sang kucing malah kabur mengais-ngais sampah. Kukunya di jam-jam tertentu masih menggores-gores sofa, dan tidak kepalang polah-tingkahnya seharian. Tidak menurut aturan sama sekali. Teman saya itu, berpikir keras dan tetap tidak mengetahui jawabnya. Akhirnya dia menyimpulkan berdasarkan filosofi Jawa bahwa terdapat bobot, bibit, dan bebet pada tiap individu kucing yang sudah dari sononya, yang terbawa dalam gen, yang tidak bisa diubah lagi. Teman saya yang lain menolak anggapan itu. Dengan gayanya seperti Aristoteles dia mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena asal-usul dan masa perkembangan yang mempengaruhi sang kucing tersebut. Dia mengatakan bahwa kucing itu biasa survival, mempertahankan hidup dalam lingkungan yang ganas, tidak ada aturan dalam perkembangan usianya, jadilah dia seperti itu. Jadi kesimpulannya adalah pada masa perkembanganya, kucing tersebut sudah kadung terbentuk dengan sikap dan tingkah laku yang kadung telat untuk diubah. Dalam buku psikologi perkembangan yang sempat saya baca dari bukunya dr. Kartono Muhammad, jaman dahulu kala, memang masa kritis perkembangan manusia akan mempengaruhi sikap dan perilakukanya kelak, dia dewasa. Mrs. Hattersley, kepala sekolah anak saya, saat mengambil primary school di Bradford sana, dalam suatu diskusi menyatakan bahwa anak usia 3-10 tahun memiliki kemampuan dua bahasa sekaligus. Artinya anak seusia itu dapat langsung diajari dua bahasa asing dan penguasaannya akan jauh lebih baik dari orang yang berusia lebih tua darinya. Dalam enam bulan, mereka akan sangat fasih mengucapkan bahasa itu, seperti penutur aslinya. Usia 10-17 tahun adalah saat-saat rawan karena memori manusia bekerja dengan maksimal, sehingga apa yang diingat di usia itu, biasanya tak akan terlupakan, dan itulah saat pembentukan karakter akan kuat menancap. Dari analisisnya itu, maka apa yang dialami seorang anak sejak SD sampai SMU, akan berpengaruh pada perilaku dan keputusan yang diambilnya kelak saat dia dewasa. Orang yang terbiasa pada kondisi scarcity, survival, negative competition, iri hati, dengki dan sirik, pada masa perkembangannya, maka seperti itulah yang akan mendasari perilaku dan keputusan yang diambil di usia dewasa kelak. Jadi jangan bayangkan orang-orang seperti ini akan memiliki pikiran jangka panjang, melihat kepentingan banyak orang, emphaty yang hangat, bersuara sama di depan dan di belakang orang yang diajak bicara. Fenomena ini tampaknya yang mendasari, mengapa banyak orang Indonesia memiliki mental scarcity walaupun sudah di level atas suatu komunitas. Mental yang merasa kekurangan, merasa terancam, fokus pada kepentingan dirinya sendiri saja, dan makmimum hanya akan membawa rombongan keluarganya, selain dia akan merekrut orang-orang yang hanya loyal kepadanya sekalipun dari segi kemampuan tidak kualifified. Monolayalitas. Tentu ada sikap dasar yang tidak dapat diubah. Namun salah satu usaha mengeliminir sikap dan perilaku ini adalah dengan mendekatkan anak pada pendidikan agama, seni dan social sciences. Pendidikan agama jelas sangat berpengaruh jika diberikan dengan benar. Orang-orang Eropa Barat yang menjunjung tinggi rasa seni dengan penciptaan bangunan-bangunan yang indah, musik, lukisan, pertunjukan drama yang berkelas, dan sebaginya cukup menjadi bukti mengapa Disney Land di Perancis tidak laku. Hal ini yang mendasari bahwa exited bagi mereka bukanlah berteriak-teriak naik wahana yang menguji mental mereka, yang mereka anggap sebagai rekreasi kelas terendah. Rekreasi bagi mereka adalah bagaimana mereka melihat opera yang halus budi bahasanya dan mengilhami imajinasi mereka ke level yang lebih tinggi. Mengapa setiap orang di stasiun kereta api di Inggris, selalu menenteng buku bacaan yang segera menenggelamkan mereka begitu kereta api berangkat? Mengapa orang Inggris susah payah berpetualang ke Afrika Selatan dan membuat peta-peta pemeliharaan satwa Afrika? Mengapa hanya 3,5 tahun mereka ke Indonesia sudah mampu menemukan bunga Rafflesia Arnoldi yang mendunia? Karena itulah puncak kebahagiaan mereka, mengapresiasi karya yang didasari abundant mentality. Mentalitas dermawan bagi orang lain. Apresiatif terhadap karya orang, tidak banyak melakukan aktivitas seremonial dan perilaku verbal, adalah ujung dari mentalitas dermawan yang dididik sejak mereka kanak-kanak. Rasanya kangen untuk berjalan-jalan kembali ke Buckingham Palace di London, Botanical Garden di Melbourne, dan ke menara Tokyo, untuk bisa merasakan diri sebagai manusia seutuhnya. Manusia yang tidak terforsir oleh hawa nafsu. Ingin menjadi bagian dari dunia dengan abundant mentality yang mengeram di dada dan terekspose dalam sikap dan perilaku. Kapan ya?

Read Full Post »

Older Posts »