Revolusi Karakter Bangsa
Oleh
Prof. Dr. Ir. Dermawan Wibisono, M.Eng
Visiting Professor UUM, Kedah, Malaysia
Professor SBM ITB, Bandung, Indonesia
Dalam beberapa hari ini, istilah ‘revolusi mental’ menjadi hit dalam berbagai pemberitaan media masa karena terkait dengan Pemilu yang sebentar lagi akan dilakukan, dan perbedaan sudut pandang akan pengertian kata itu yang masih samar bagi sebagian masyarakat. Kita lihat dalam struktur kebutuhan manusia, telah lama dirumuskan oleh Abraham Maslow (1954) dalam bukunya Motivation and Personally, bahwa kebutuhan manusia terbagi menjadi lima tingkatan: kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan keamanan (safety), kebutuhan sosial (love/ belonging), kebutuhan pencapaian (esteem), dan aktualiasi diri (self actualization). Dalam sebagian masyarakat saat ini, terjadi pemenuhan kebutuhan yang stagnan dan mentok pada pemenuhan kebutuhan level 3 saja dan paling mentok ke tingkat kebutuhan ke empat, yang skalanya makin lama makin membesar, tetapi tidak pernah beranjak ke level lebih tinggi lagi yaitu pemenuhan kebutuhan aktualiasi diri. Sehingga dengan gamblang setiap hari media massa dihiasi dengan kasus-kasus impor sapi, Hambalang, Bank Century, Gubernur Banten, SKK Migas dan sebentar lagi kasus Bupati Bogor. Kasus-kasus yang tampaknya bukan akan berkurang tapi terus bertambah, sehingga seolah-olah menjadi hal yang biasa, melihat para terdakwa masih bisa tersenyum sumringah, melambaikan tangan kepada segenap wartawan dan masyarakat, dan mengenakan baju batik yang bagus di kursi pengadilan. Melihat perubahan perilaku seperti ini, yang tidak lagi merasa sangat malu sebagai tertuduh, datang ke pengadilan dengan menutup mukanya yang sedih tak terkira akan aib yang telah dibuatnya yang telah mencoreng martabat dan harga dirinya, keluarganya, masyarakat pemilihnya dan institusi tempat bernaungnya. Hal semacam inilah yang tampaknya dimaksudkan sebagai perlunya sebuah revolusi mental. Perubahan yang diperlukan besar-besaran dan sangat mendasar dalam sikap mental sebagian masyarakat kita, yang tidak bisa lagi dilakukan perlahan-lahan, dengan evolusi, tapi perlu revolusi yang segera, massive dan dalam berbagai level.
Dari mana kita mulai?
Mengingat Indonesia termasuk dalam masyarakat paternalistik, yaitu masyarkat yang suka mencontoh atasannya atau panutannya, maka dimilikinya pemimpin yang memiliki karaktersitik aktualisasi diri ini diharapkan lebih efektif untuk melakukan perubahan besar ini. Telah hidup dalam keyakinan di masyarakat, bahwa di Indonesia, dipimpin orang yang benar saja belum tentu orang akan mengikutinya dengan benar, apalagi dipimpin orang yang salah dan suka menyelewengkan kekuasan, mereka akan lebih menyeleweng lagi. Karakteristik lain yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah bahwa orang Indonesia sebagian besar termasuk dalam orang-orang audio visual, yaitu orang yang lebih mudah belajar dengan melihat. Jadi di sini akan sangat jarang ditemui, orang-orang di stasiun kereta api membawa novel, buku bacaan, atau menggunakan gadgetnya untuk men-download bahan bacaan. Setelah naik kereta, langsung duduk, diam dan membaca, seperti ditemui di masyarakat, Inggris, Jepang dan negara maju lainnya. Mereka cenderung akan ngobrol, download game, chatting, sehingga saat perjalanan kereta dari Jakarta-Surabaya, mereka akan saling kenal satu gerbong bahkan memiliki foto diri (selfie) dari berbagai posisi dan dengan berbagai orang yang begitu tiba sudah diupload ke media massa. Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka ngobrol. Membaca bukan merupakan kebutuhan diri, apalagi menulis. Sehingga teks books yang dikarang oleh guru atau dosen pun menjelang pensiun, mungkin cuma 1 buah untuk memenuhi kriteria Depdikbud. Bukan merupakan proses aktualisasi diri, tetapi hanya sekedar memenuhi kewajiban. Jadi tidak heran kalau dalam ujian nasional baru-baru ini, untuk soal yang diujikan pun materinya dicontek dari teks book bahasa asing, tanpa penulisan referensi yang benar.
Oleh karena itu revolusi mental atau lebih tepatnya revolusi karakter ini mesti dimulai dari pendidikan dasar. Karena saat usia dasarlah terbentuk logika dan pengembangan pribadi yang paling pesat terjadi dalam usia seseorang. Saat ini di sekolah sudah terbentuk lingkungan yang sangat transaksional, yang salah satunya dengan dikepungnya sekolah oleh aneka bimbingan belajar. Guru di sekolah, ‘tidak lagi merasa terhina’ kalau muridnya ikut bimbingan belajar. Sekalipun itu terjadi di sekolah favorit di kota itu. Bahkan banyak guru yang berterima kasih karenanya karena tanggung jawabnya sudah diambil oleh bimbingan tes. Bagi mereka, para guru itu, hal seperti ini bukan lagi ‘penghinaan’ karena ketidakmampuan dirinya menerangkan materi dengan jelas di kelas. Bahkan banyak guru yang berperanan menjadi agent. Dengan cara menerangkan dengan tidak enak dan tidak jelas di kelas, jika mau jelas dan mendapatkan soal-soal yang nantinya mirip dengan yang akan diujikan, ikutlah bimbingan test sang guru tersebut. Hal seperti ini yang mungkin jika terjadi di jaman Ki Hajar Dewantoro, sang gurunya sudah dipecat atau minimal di’balang sandal’. Murid-muridnya pun sudah sampai tahap ‘trasaksional’ akut dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Merasa lebih baik ayah atau ibu yang mengerjakannya, atau membeli tugas merangkai janur di pasar, dari pada membikin sendiri. Sudah capai, makan waktu untuk main game, dapat nilai butut lagi. Jadi belajar pun bukan lagi dimaknai sebagai sebuah proses yang akan memperkaya ketrampilan dan pengetahuannya. Di level yang lebih tinggi, mahasiswa banyak yang mengerjakan tugas yang diberikan dengan meng-copy paste tugas kakak kelasnya, mencari jawab atas pertanyaan tahun sebelumnya, bukan lagi mengerjakan sendiri dengan penuh effort dan antusiasme, dengan mencoba memahami materi yang diberikan sebisa mungkin. Dosen atau guru yang memberikan tugas pun banyak yang sudah beranjak dari tujuan semula pendidikan. Memberikan tugas semata-mata untuk membunuh waktu, untuk menggantikan ketidakhariannya karena asyik dengan pekerjaannya di tempat lain, atau sekedar ingin ‘ngerjain’ murid-muridnya. Sehingga saat tugas dikumpulkan, bukan lagi berkeinginan untuk memeriksanya dengan melihat kekurang mengertian siswa pada aspek yang diajarkannya, sehingga mendapatkan rencana perbaikan pada proses pengajarannya, tapi langsung ditumpuk di gudang. Transaksi yang sempurna. Sebuah pertemuan demand dan supply yang klop.
Melihat proses yang terjadi dan sudah meluas di masyarakat, di mana dipercaya bahwa segala sesuatu itu tergantung dari the man behind the gun, maka saat ini diperlukan pengembangan jenis tes yang bisa mengetahui karakteristik orang-orang yang memegang garda depan panduan kemajuan bangsa, sang guru. Karena aspek trasnsaksional ini bisa jadi akan mengeram pada diri seseorang (embedded). Tidak berubah, walau social ekonomi orang yang bersangkutan telah berubah. Saat ini sudah mulai digunakan test garis tangan pada beberapa perusahaan sebagai pelengkap bagi test psikologi untuk penempatan karyawan. Apakah seseorang itu cocok di tempatkan di bagian marketing, produksi, sumber daya manusia, atau di bagian lain. Test ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pemborosan waktu belajar, menempatkan orang yang tepat dan menciptakan keriangan dalam suasana kerja. Seperti kita ketahui, orang-orang yang ‘bakatnya’ adalah introvert tentu tidak akan nyaman jika ditempatkan di bagian pemasaran. Demikian juga orang yang extrovert dan cenderung hiperaktif, sungguh akan tersiksa sekali kalau harus bekerja di atas meja sepanjang hari, karena kebutuhan dasarnya adalah ketemu orang dan bergaul. Untuk kebutuhan tes garis tangan, diperlukan data base yang sangat banyak dan akurasi yang tinggi, sejauh mana hasil test tersebut benar-benar merepresentasikan sosok yang benar. Sehingga bisa mendukung manajemen untuk melaksanakan prinsip the man in the right place on the right time . Dengan melakukan tes jenis ini, jika akurasinya sudah presisi, diharapkan benar-benar dapat dipilih orang yang betul-betul cocok sebagai pendidik seperti di tahun 1950 an. Saat kita mendapati sebagian besar guru-guru kita diseleksi oleh Belanda dengan sistem seleksi amat ketat sehingga guru pun saat itu dipanggil dengan hormat oleh masyarakat sekitarnya sebagi ‘Mantri Guru’. Sebutan guru yang setara dengan dokter atau mantri saat itu. Jiwa pendidik sangat berbeda dengan jiwa pedagang, bahkan ada sebagian kalangan yang menyatakan sangat bertolak belakang. Hasil riset di Australia menyatakan bahwa sangat sedikit usaha yang sukses besar yang ditangani oleh seorang dosen, sekalipun itu dosen entrepreneur. Hal ini disebabkan untuk sukses pada kedua bidang itu, dibutuhkan penanganan yang intens, full time, tidak bisa setengah-setengah dan saling dipertukarkan. Itu riset di Australia, di mana segala sesuatunya sudah mapan pada jalurnya. Dalam system operation procedure yang banyak ‘bolongnya’ seperti di indonesia hampir mustahil kedua kutub itu menyatu pada diri seseorang, kecuali pada orang-orang extra ordinary seperti Pak Iskandar Alisyahbana almarhum.
Jargon guru yang di Jawa merupakan akronim ‘digugu lan ditiru’ (dipatuhi dan dicontoh) kemudian mulai tahun 1970 an bergeser menjadi ‘wagu tur kuru’ (tidak pantas dan kurus kering) karena penghargaan yang minim pada tenaga pendidik saat itu dan mulai bergesernya nilai-nilai di masyarakat yang ditumbuhkan oleh aspek komersialisasi pada segala hal saat itu. Tahun-tahun sekarang lah mulai kita lihat hasil dari proses 30-40 tahun lalu itu. Yaitu timbulnya semangat transaksional, hedonism, tidak respek terhadap pendidik, yang merupakan konsekuensi logis dari perubahan karakter kedua belah pihak yang memang didisain ke arah sana.
Jadi saat ini kita seperti terkaget-kaget melihat sosok pimpinan seperti Ibu Risma-Walikota Surabaya, Pak Nurdin Abdullah-Bupati Bantaeng, Pak Joko Widodo, Pak Basuki Cahaya Purnama, karena seolah-olah kita tiba-tiba melihat makhluk dari planet lain. Sehingga kita merasa they are out of the box. Karena sudah lama kita berada di dalam box yang gelap tersebut. Sehingga muncul gumaman: hari gini walikota pegang sapu lidi..? hari gini gubernur blusukan, itukan pencitraan, dsb. Sebagian masyarakat kita terbelah menjadi dua: yang bersikap skeptis, curigaan, menuduh segala sesuatu ada pamrihnya, pencitraan jelang pemilu, dan sebagainya, karena sebagian masyarakat ini tumbuh dan berkembang dalam susasana seperti itu, negative thingking dan diliputi mental komersialisasi. Sehingga penilain terhadap orang lain selalu diidentikan dengan tata nilai yang dipegang oleh dirinya sendiri. Setengah masyarakat yang lain memahaminya sebagai pengejawantahan teori aktualisasi diri dari Abaraham Maslow tersebut di atas.
Dari sisi kajian akademis, perkembangan teori Servant Leadership (Robert K. Greenleaf, 1970), saat ini mendapatkan contoh nyata seperti saat dulu kita memiliki pemimpin seperti Bung Hatta yang untuk beli sepatu Bally pun tak pernah kesampaian sehingga guntingan koran bergambar sepatu itupun masih beliau simpan sampai sekarang atau Haji Agus Salim yang tak pernah punya rumah yang bagus, atau dalam contoh ektrim seperti Mahatma Gandhi yang hidup dengan dua lembar kain tersampir di badannya dan menggelandang ke sana kemari atau Ibu Theresia di India sana. Jadi teori servant leadership ini yang praktiknya sudah ada sejak Khalifah Umar memimpin masyarakat Arab, yang tersohor ceritanya ketika beliau harus menggendong sekarung gandum, akibat dari ‘blusukannya’ beliau ketemu dengan wanita yag kelaparan, dan beliau tahu persis konsekeunsi bagi pemimpin yang membiarkan rakyatnya kelaparan tersebut, saat ini, seakan menimbulkan gairah dan eforia baru di masyarakat.
Sebagai penutup, teori kepemimpinan servant leadership pada dasarnya adalah pengejawantahaan dari level ke lima kebutuhan Maslow, aktualisasi diri, yang dalam pelaksanaannya di Indonesia saat ini membutuhkan revolusi karakter masyarakat. Revolusi ini harus dimulai dari pucuk pimpian, karena masyarakat Indonesia yang paternalistic, dalam berbagai level. Tidak akan efektif jika hanya seorang diri melakukan revolusi, tetapi diperlukan pemahaman yang sepadan dan pelaksanaan yang riil dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, DPR/ DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati, lembaga pengadilan, dan sebagainya. Seperti sering kita pelajari, bahwa tegak tidaknya sebuah Negara akan tergantung dari 3 sokoguru penyusunnya, guru, dokter dan hakim. Oleh karena itu revolusi ini harus dimulai dari tiga soko guru berdirinya sebuah bangsa. Pertama adalah penciptaan guru-guru yang memiliki karaktersitik pendidik tulen karena para beliau ini yang akan menyiapkan kecerdasan intelektual, emotional dan spiritual anak-anak bangsa. Kedua adalah para penegak hukum, yang menjaga kesehatan jiwa masyarakat, di mana di Negara Australia, Eropa maupun Amerika Serikat, orang-orang hukum inilah yang dipersyaratkan memiliki intelektual tertinggi karena diperlukan kecerdasan intelektual dan emotional dalam memutuskan berbagai perkara agar mendapatkan putusan yang adil. Ke tiga adalah perlindungan dan penciptaan profesi dokter yang memiliki spirit melayani bukan lagi transaksional, sebagai penjaga kesehatan fisik bangsa, bukan lagi kepanjangan tangan dari perusahaan farmasi.
Akankah revolusi mental atau revolusi karakter bagi bangsa ini akan berhasil? kita tunggu hasilnya karena ini merupakan pembangunan proses yang melibatkan banyak orang dalam berbagai level dan dalam waktu yang lama. Tahun 2025 diprediksi Indonesia akan menjadi the big four countries karena limpahan usia produktif dalam jumlah besar. Hal ini jika dan hanya jika dapat terjadi, kalau usia produktif yang kita miliki tersebut memiliki karakter yang benar. Jika tidak terdapat karakter yang benar, maka yang terjadi adalah chaos. Karena usia produktif dengan karakter yang benar akan menimbulkan simbisosis mutualisme saling menguatkan untuk membangun kemaslahatan umat dan lingkungannya, tetapi dengan karakter yang tidak benar akan saling memakan dan merusak tatanan kehidupan. Yang ada bukan lagi sky of the limit self actulisation tapi sky of the limit of goods consumerism.