Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘teman’

Dari Balik Jendela Challenger

Oleh Dermawan Wibisono

Dalam rapat pleno yang kami lakukan beberapa hari yang lalu, kelas kami sepakat untuk membuat Challenger-pesawat ulang-alik ruang angkasa- dalam karnaval yang akan diadakan pada tanggal 18 Agustus. Rapat itu sendiri berjalan cukup alot. Setiap baris bangku yang terdiri dari 4 orang berhak mengusulkan 1 atau 2 buah rancangan. Total sekitar lebih dari 15 usulan rancangan kami list di papan tulis. Setelah melalui voting, yang tanpa disertai walk out itu, ternyata usulan Sofyan Harahap lah yang menang: rancangan pesawat Challenger.

 

 Aku kebagian menjadi pimpro-pimpinan projek untuk mewujudkan aspirasi grass root ini. Pimpro tanpa gaji dan fasilitas apapun tapi dengan target yang muluk: rancangan kami harus menjadi juara 1. Padahal total ada 35 kelas dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 di sekolah kami. Target kepala sekolah adalah menjadi juara 1 sekodya Semarang.

 

Bersama dengan Sony, si kriting seperti pemeran utama film the God must be crazy itu, aku gambar rancangan Challenger di atas karton warna hijau kebiruan, warna telor itik manila. Berapa jumlah bambu gilig penopangnya, berapa bilah bambu belah sebagai rangkanya, berapa lembar kertas koran penutupnya, berapa liter cat yang harus kamu balurkan ke bodynya dan sebagainya kami rancang dengan ….semena-mena… dan sedikit awur-awuran. Sok tahu saja.

 

Sebagai penggerak Challenger mula-mula kami rancang menggunakan 2 buah sepeda yang digandeng dengan bilah bambu. Sehingga nantinya dalam parade, si pengayuh sepeda dapat dengan santai melambai-lambaikan tangannya ke Pak Walikota. Kalau perlu mengayuh sepeda, menghela pesawat, sambil berboncengan dengan teman wanita.

Berboncengan sepeda di malam karnaval….

Di bawah kelap-kelip lampu jalanan …..alangkah syahdu dan romantisnya.

Apalagi sudah kami siapkan tape recorder yang nantinya akan mengeluarkan bunyi pesawat yang sedang tinggal landas. Tinggal landas buat kekasih.

Rasanya adegan Tom Cruise dalam film Top Gun akan lewat.

Nggak tahu lewat mana….soalnya kami belum ketemu Tom Cruise itu. Lho?

 

Tapi khayalan memang sering terlalu jauh dari kenyataan.

Apalagi khayalan liar yang nakal seperti itu.

 

Rupanya ilmu teknik mekanik yang diajarkan Pak Kasmani di pelajaran Fisika belum kami resapi, hayati apalagi amalkan. Teori tentang berat beban, yang merupakan hasil kali antara bobot masa dengan panjang lengan yang harus terbagi sepanjang rangka batang itu, cuma sukses di kertas ulangan. Gagal total untuk dipraktekan. Al hasil sepeda yang menjadi penopang badan pesawat itu, keduanya mleot….biring, nggak kuat menahan buluh bambu lonjoran rangka Challenger.

 

Fajar Pramono dan Heru Budi Utomo tersenyum kecut mendapati sepedanya bengkok tanpa mendapatkan kompensasi asuransi yang memadai dari kelas kami.

 

Kami mulai berkeringat dingin.

Waktu tinggal 2 hari, sementara rancangan tak kunjung jadi.

Bu Asminah mulai sedikit uring-uringan.

Marah, mendapati kami tidak mengerjakan Challenger itu di sekolah.

Kami mengerjakannya di rumah Doliek, karena kami menganggap projek ini merupakan secret mission, misi rahasia agar  tidak diintip rival dari kelas lain.

Sementara itu taman bunga di halaman rumah Doliek mulai kusut masai, rusak, terinjak-injak kaki kami yang kurang unggah-ungguh ini. Tidak mengenal sopan santun

Untung Ibu Doliek penyabar, ramah dan baik hati. Cantik pula. Wanita yang luar biasa.

Bukannya kami dimarahi, tapi malah sering dibagi nasi soto yang sedap sekali.

 

Waktu terus merambat.

Menegangkan.

Kami mentok dalam kebingungan dan dibayang-bayangi kegagalan.

Karena wangsit yang kami tunggu-tunggu tidak kunjung datang, padahal Agus Ngeyel sudah 3 hari 3 malam tidur di rerumputan di halaman rumah Doliek itu, akhirnya sore itu, kami melakukan spionase-industri, mengintip kerja kawan-kawan dari kelas lain di sekolah.

Hampir semua rancangan 60% selesai.

Bahkan ada yang sudah rampung, semuanya bagus-bagus sekali kelihatannya.

Kami mulai kemrungsung, minder, harap-harap cemas.

 

Akhirnya dari hasil ‘intipan’ itu, kami putuskan untuk mengganti sepeda penggerak dengan gerobak songkro sarana pengangkut material bangunan traditional.

 

Satu hal terpecahkan, masalah lain mengikuti.

Prasetyo Hartanto dapat mengusahakan dua buah songkro.

Masalahnya adalah bagaimana mengusung songkro dari Krapyak ke Mugas itu,

Jarak tempuh yang cukup jauh, mungkin 6 km-an lebih ?

Satu-satu para pendekar dan ‘orang-orang kuat’ di kelas kami, kami tanyai kesanggupannya untuk mengusung songkro itu.

 

Sindhunoto Partowibowo ditanya, hanya geleng kepala, tidak mampu mengangkat songkro itu dengan tenaga dalamnya dan dengan jurus Tunjang Langitnya itu.

 

Ardiyanto, cuman mengangkat bahu saja, walaupun di kelas kami, Ardiyanto mendapatkan julukan Conan the Barbarian, sebagai tandingan dari Arnold Swarzeneger, mengangkat songkro mungkin kurang bergengsi buat si Conan yang biasanya mengangkat bongkahan bukit. Ardiyanto mendapat julukan Conan dari Setiyadi, padahal tubuh Ardiyanto kurus kering, bahkan hampir gepeng. Julukan yang kontradiktif dan misleading sebetulnya.

 

Setiyadi, ‘Lucan yang ganas’, hanya terbahak. Dia tidak mau lagi berdekatan dengan hal-hal yang berbau kekerasan, setelah pengalaman buruknya menggampar teman sekolahnya di Domenico Savio dulu. Sekali gampar langsung pingsan, membuat si Lucan ketakutan.

 

Blenduk Hartadi Nurtjahjo, pemegang 5 medali emas renang dalam pekan olahraga pemuda dan taruna se Jawa Tengah mengatakan, lewat daratan bukan spesialisasinya. Kalau ada sungai yang menghubungkan Krapyak dan Mugas, barangkali dia bisa menyeretnya sambil berenang. Edan po, di Semarang nggak ada sungai yang membentang dari Timur ke Barat. Semua sungai mengalir dari Selatan ke Utara. Enak aja, ngarang.

 

Akhirnya kami putuskan untuk mengangkutnya dengan sepeda motor.

Satu songkro ditarik menggunakan 2 sepeda motor, berjalan secara paralel.

Teman-teman yang memiliki sepeda motor mulai berjajar: Sony, Syamsu, Agus Ngeyel, Doliek, Prasetyo Hartanto, Yudhi Prihadi lengkap dengan para pemboncengnya yang siap mengerahkan tenaga pas-pasannya: Younsel Evand Roos, Fajar Pramono, Heru Budi Utomo, Sofyan Harahap, aku, dan masih banyak lagi yang lainnya. Waktu itu kami seperti gangster yang kayak perkasa-perkasa-o dhewe.

 

Syamsu menstart vespanya, di belakangnya membonceng salah seorang teman kami sambil memegang bambu penarik songkro. Aku membonceng Sony dan memegangi penarik yang lain.

Dalam satu kali start, Vespa Syamsu dan Honda GL Sony langsung meliuk, tertarik ke dalam hampir bertabrakan. Aku tidak tahu, apakah hal ini disebabkan Vespa yang kurang seimbang karena mesinnya terletak di samping, atau Syamsunya yang nggak ku-ku menahan stangnya. Syamsu dipensiun dini! diganti dengan teman yang lain, yang bukan Vespa.

 

Akhirnya, setelah berjuang dengan ekstra josss, melajulah kami di malam itu.

Menarik dua buah songkro dari Krapyak ke Mugas, di bawah tatapan orang-orang di pinggir jalan dan Pak Polisi lalu lintas yang mengernyitkan dahi. Kami melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, sambil tersenyum diramah-ramahkan. Melambaikan tangan adalah penting, soalnya kalau sambil mengacung-ngacungkan tinju, bisa-bisa kami dikerubut orang. Ya sudah melambai saja lah.

 

Kami sampai di rumah Doliek dengan nafas tersengal-sengal dan lengan yang ngilu bukan kepalang, menahan beban berat songkro dengan rodanya yang berjalan megal-megol.

Malam panjang masih menghadang.

****

 Akhirnya, dengan kerja keras yang terengah-engah, pesawat Challenger itupun jadilah.

Rahmad Subekti dan Ibnu Benhadi mendapat kehormatan untuk merekam suara pesawat yang sedang tinggal landas sebagai dubbing suara Challenger kami. Pergilah mereka ke Lapangan Terbang Ahmad Yani menenteng tape recorder itu.

 

“Srrrrreeengng……huwuk…huwuk…huwuk….!”

 Kami merubung tape itu.

Dan saling berpandangan.

“Lho suara pesawat kok kaya’ suara orang lagi nggoreng pisang sama tahu susur gitu sih!”

“Lhah suara pesawat kok…huwuk…huwuk… persis suara kompor nyala.”

“Sebentar, sebentar, itu suara yang direkam pas landing atau take off.”

 Suara-suara ketidakpuasan bersautan di masa grass root (waduh kayak parpol saja yah).

“Ulangi…ulangi……rekam yang sedang take off.”

 

Aku tidak tahu, apakah kemudian kedua teman kami itu pergi lagi ke Bandara Ahmad Yani sesuai dengan tuntutan Front Pembela Suara Challenger Yang Baik dan Benar, atau malah pergi ke penjual pisang goreng di Sanggar Rasa untuk merekam suara orang nggoreng pisang. Yang jelas hasil rekaman mereka berdua itulah yang kemudian kami pakai dalam karnaval.

 

Satu hari sebelum hari H karnaval dimulai, kelas kami mengadakan rapat dengan amat intens. Agus, Sony dan Bambang membagi pasukan yang akan memiloti pesawat kami itu, yang ternyata ……uanteb banget. Sekali dorong perlu 4 sampai 6 orang. Bambang membagi ruas-ruas jalan sesuai dengan rute yang akan dilalui, Agus dan Sony membagi siapa bertugas di ruas mana.

 

Perbekalan yang cukup lengkap kami sertakan di dalam songkro di pesawat itu: tape recorder di songkro yang pertama, air jeruk, makanan kecil, air putih, permen…..dan sebagainya di songkro yang kedua. Aku sendiri tidak tahu persis apa di dalamnya juga dibawa nasi pecel, gudeg Jogja, rawon, soto betawi, rujak cingur, sop buntut, sate kerang, mangut, oblok-oblok, glewo, lontong balap, pempek Palembang……, lha kalo semua ini dibawa lak kayak orang mau buka lesehan di Simpang Lima bukannya karnaval Agustusan.

 

Tim kelas kami mendapatkan giliran parade pas di belakang karya SMA 1.

Kami lihat SMA 1 hanya mengeluarkan satu karyanya: kapal pesiar mewah yang dipenuhi lampu kerlap-kerlip dengan menggunakan mesin diiesel untuk supply energinya.

 

Darah muda kami bergolak, tak tahu mengapa setiap kali melihat segala sesuatu yang berbau SMA 1, kami terasuki sajak Chairil Anwar: …Serang…..Terjang ! Barangkali indoktrinasi kakak kelas kami dalam masa perploncoan berhasil: bahwa SMA 1 adalah rival, SMA borjuis, arogan, representasi dari para anak pejabat dan pengusaha korup. Sedangkan kami adalah golongan proletar, wakil masyarakat terabaikan namun pintar-pintar. Masa depan bangsa harusnya di tangan kami, bukan mereka. Wuuiiihhh, claim yang kendel. Gagah berani dan somse – sombong sekali.

 

Waktu itu kami masih menghitung-hitung.

Begitu melewati panggung kehormatan di Balaikota, kapal pesiar SMA 1 itu akan kami tabrak dan hancurkan…..tunggulah pembalasanku wahai pendekar kapal pesiar!

Tapi……banyak benar kabel-kabel dan lampu yang melilit badan kapal itu.

Ntar kalau kita kesetrum bagaimana?

Kalau kejiret bagaimana?

Kalau mesin dieselnya meledak bagaimana?

Kami yang dari sononya ini memang penakut masih berfikir keras bagaimana mensiasatinya.

 

“Ayo hidupkan …kompornya!….bunyikan pisang gorengnya!…., sudah sampai panggung kehormatan nih!” Teriak Agus memberi aba-aba.  

Dan…  “Ssssrreeeeengng….huwuk….huwuk….huwuk…”

 

Pesawat kami menunjukkan kebolehannya di bawah tepuk tangan dan lambaian para undangan di panggung kehormatan. Senang bukan alang kepalang hati kami. Kami berjalan dengan kepala tegak, soalnya kalau menunduk mata kami tidak bisa mengintip dari balik jendela Challenger yang dirancang terlalu sempit itu. Bisa-bisa kami nabrak-nabrak.

 

Di depan SMA 3, Bu Asminah, Ratih, Menik, Yani Mangga, Maria, Taqwa Rini, Ayu, Arttini, Hanim, Noverita, Ratna, teman-teman cewek kami memberi applaus dengan penuh semangat. Berlari-lari mereka menyuapkan makanan ke mulut kami dari balik jendela Challenger yang sempit itu. Jarang-jarang kami, para cowok penakut ini, disuapin cewek-cewek, yang sudah akhil balig. Semuanya terjadi begitu saja. Penuh dengan rasa sayang dan solidaritas yang kental. Sampai kami, para pilot yang kelaparan ini, lupa akan tujuan penyerangan ke kapal pesiar itu.

 

Perlahan-lahan kami lewati panggung kehormatan. Kami sedang menikmati euforia tepuk tangan pengunjung, ketika sesampai di sebelah SMA 5 sekonyong-konyong :”……Braaakkk…!” Sayap kanan pesawat kami patah diterjang oleh pesawat tempur MIG 21 dari SMA PGRI. Lawan jangan dicari, kalau sudah menghadang pantanglah dihindari. Itulah semboyan kami. Seketika darah kami mendidih.

“Turunkan…turunkan…!”

Teriak para pilot kami bersahutan, meminta menurunkan perbekalan dari songkro itu: tape recorder, botol-botol, dan sebagainya kami turunkan semuanya. Para pilot keluar dari sarangnya.

Semuanya mendorong pesawat itu dari luar bodynya.

 “Kejar…kejar….!” Kami semua berteriak kegirangan dan penuh dendam kesumat mengejar pesawat SMA PGRI yang sudah agak jauh di depan. Penonton di sepanjang jalan Pemuda itu berteriak-teriak histeris dan bertepuk tangan melihat dua pesawat berkejaran.

 

“Horrree…horeeee…ayo kejar…kejar…!” teriak mereka memberi semangat, memprovokasi.

Begitu kencangnya tim kami berlari, barangkali regu estafet Indonesia paling ngetop saat itu yang terdiri dari Mardi Lestari, Eko Pambudi, Ernawan Witarsa dan Purnomo Muhamad Yudhi akan kalah beradu lari dengan kami saat itu yang sudah dirasuki kekuatan berlipat-lipat.

 “Tabraaaaaakkk…..!”

Bbbbrrrruaggggg!

 

Moncong pesawat kami yang terdiri dari bambu gilig lonjoran tepat menghantam pesawat MIG 21 itu. Begitu kerasnya tabrakan itu sehingga pesawat lawan patah, pas di tengah-tengah bodynya, tak bisa lagi bergerak dan memberikan perlawanan. Nggelosor, KO! dalam satu kali pukulan.

 

Mendapati pesawatnya menggelosor, para punggawa PGRI itu marah, dan menyerbu pesawat kami dan memukuli pesawat itu sejadi-jadinya. Tentu saja tangan merekalah yang bilur-bilur kesakitan, karena rangka pesawat kami terbuat dari bambu-bambu pilihan, di antaranya dari toko materialnya Wijanarko yang terjamin kualitasnya sekodya Semarang..

 

Malam itu menjadi salah satu malam terindah di hati kami.

Malam solidaritas yang kental

Malam yang penuh dengan tepuk tangan

Malam yang penuh kekompakan

Malam pelampiasan segala beban.

Hhhhhhh………pwwuassss.

Akankah malam seperti itu kembali lagi.

*****

Di awal bulan Mei 1984, kami semua dinyatakan lulus dari sekolah ini.

Hari-hari yang penuh canda, tawa, gundah, gulana, marah, kecewa, bahagia, selama 3 tahun bersama itu akhirnya menemukan muaranya. Sebuah perpisahan yang sempurna karena dari kelas rangking ini semua diterima di perguruan tinggi favorit di tanah air. Tujuh orang masuk Fakultas Kedokteran Undip: Sofyan Harahap, Ibnu Benhadi, Taqwa Rini, Ayu, Fajar Pramono, Bambang Agustyo, dan Rahmad Subekti. Sepuluh orang di terima di Teknik Sipil Undip: Ratna, Yudhi, Punjung, Agus Gepeng, Dwiyanto, Sony, Bambang Tututo, Bambang Widriarto, Syamsu dan Nugroho. Dua orang di Teknik Kimia Undip: Ardiyanto dan Yani Mangga. Dua orang di Manajemen Undip: Hartadi dan Sindhu. Satu orang di Perikanan Undip: Rofiq. Satu orang di Nutrisi Ternak Undip: Ratih. Satu orang di Arsitek Undip: Hayi. Satu orang di Elektro Undip: Bob Apriawan. Dua orang di Unibraw-Malang: Jauhar Asikin dan Doliek. Enam orang di UGM: Prasetyo Hadi, Setiyadi, Hanim, Arttini, Prasetyo Hartanto, dan Wijanarko. Satu orang diterima di FKG UI: Menik Priaminiarti. Satu orang di STAN Jakarta: Heru Budi Utomo. Satu orang di Stikubang: Maria. Satu orang di Satyawacana: Aries. Satu orang di AKABRI: Agus Ngeyel. Satu orang di FK Unpad: Gatot Adhipurnawan. Dan empat orang diterima di ITB: Younsel, Sugeng, Noverita dan aku.

 

Beberapa hari setelah kelulusan itu, kami mengadakan malam perpisahan di rumah Yani di jalan Mangga, sekitar daerah Peterongan Semarang. Beberapa guru tersayang ada di antara kami di malam itu: Bu Tatik, Bu Anjar, dan sudah tentu Bu Asminah, wali kelas kami yang coklat-manis itu. Berbagai permainan kurancang bersama dengan Ratih, Hayi dan beberapa teman yang lain: memindahkan karet gelang melalui tusuk gigi yang dikulum, menjaga balon agar tidak turun dengan beradu punggung, menjalankan gelas berisi air diiringi gitar dan saat musik berhenti sang pemegang gelas jadi terhukum. Semuanya tertawa-tawa di malam yang bahagia ini.

Tawa yang lepas, bebas,

Tak ada lagi ulangan harian

Tak ada lagi pekerjaan rumah

Tak ada lagi tugas mencari lumut

Tak ada lagi reaksi kimia yang gagal

Tak ada lagi perut kodok yang berhamburan

Tak ada lagi loncat harimau

Tak ada lagi es campur tawon

………………………….

Malam merambat, bagai semut mengitari bola dunia

Serasa tak ingin semuanya berakhir

Namun,

Tak ada awal yang tak berakhir.

Bukan perpisahan benar yang menusuk kalbu.

Tapi mengapa pertemuan ini mesti terjadi.

………………………..

Kami semua berdiri, menyedekapkan tangan

Saling bergandengan.

Listrik dimatikan.

Lilin dinyalakan.

Temaram cahaya lilin membuat hati kami semakin sendu.

Pras, Tutuko, Gatot, Ibnu, Doliek, mulai merajut jari-jemarinya, memetik gitar. Dan mengalunlah syair lagu ‘Sayonara’ yang pernah dilantunkan oleh Grace Simon itu.

Berdesis lirih di antara lidah kami yang kelu:

………………………..

    Telah tiba saat berpisah

    Jangan bersedih hati

    Kini akan tiada lagi

    Belaian kasih, cumbu dan rayu

    Walau kini jauh di mata

    Namun tetap kucinta

    Aku akan selalu

    Terbayang hanya pada dirimu

    ………

    Sayonara-sayonara

    Selamat tinggal kekasih hatiku

    Sayonara-sayonara

    Hatiku hanya untuk hatimu

 

Kami semua saling menyilangkan tangan dan menggenggam tangan teman di sebelahnya.

Jemari tangan saling berpagut erat

Seolah tak ingin terpisahkan

Bahkan oleh pergantian malam menjadi pagi hari

Air mata mulai menetes, satu-satu,

Haru dan sendu

Relung-relung kalbu berseru

Engkaulah sahabat sejatiku

Yang menempati tahta tertinggi

Di hati kami

Selamat jalan kekasih hati

Tambatan jiwa

Semoga engkau menemukan kebahagiaan

Di sepanjang jalan yang akan engkau lalui

…………………

Foto dengan teman-teman yang pernah memberi makna di masa  SMA dan sekarang, setelah 22 tahun berlalu  semuanya telah menjadi orang-orang yang memberi makna bagi kehidupan orang lain

Di depan SMA 3, 22 tahun kemudian

Di depan SMA 3, 22 tahun kemudian

 

Di Kebun Raya Bogor, 20 tahun kemudian

Di Kebun Raya Bogor, 20 tahun kemudian

 

Di rumh Pras, 24 tahun kemudian

Di rumh Pras, 24 tahun kemudian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Read Full Post »