Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘demikrasi’

Konflik

Menabur Konflik, Menuai Krisis

Oleh: Dermawan Wibisono

Di kalangan suku Yoruba yang hidup di Afrika Barat terdapat sebuah cerita rakyat yang cukup popular, berkisah tentang The Creation of Confusion. Penciptaan kebingungan. Inti cerita tersebut, saya kutip dari bukunya Achebe (1975), adalah sebagai berikut : Di sebuah desa, hiduplah dua orang petani yang bersahabat karib. Mereka berdua, masing-masing memiliki ladang yang terletak berdekatan dan hanya dipisahkan oleh sebuah jalanan berbatu. Manakala sang surya terbit menghangatkan bumi, berangkatlah mereka berendengan ke ladang dengan riang gembira.. Sambil bekerja, mereka selalu asyik mengobrol dan bercanda ria. Sampai kemudian Eshu, dewa takdir yang senang membuat kebingungan, memutuskan untuk memecah kedamaian dan persahabatan di antara mereka. Eshu mengecat separo tubuhnya dengan kapur putih dan di separo yang lain digosoknya dengan batu bara hitam pekat. Kemudian, berjalanlah Eshu dengan lenggak-lenggok bak peragawati memamerkan gaun rancangan mutakhir, melintasi dengan cepat jalanan berbatu yang memisahkan kedua ladang itu. Sesaat setelah sampai pada jarak pendengaran, kedua orang petani yang sedang bekerja itu melompat dari keasyikan mereka pada saat yang bersamaan. Salah seorang diantara mereka berkata : “Apakah kamu tadi melihat seseorang dengan badan yang putih luar biasa melintasi jalan ini ?” Dalam satu tarikan nafas yang sama, petani yang lain berkata : “Apakah kamu tadi melihat seseorang dengan kulit hitan pekat melintasi jalan ini ?” Akhirnya terjadilah pertengkaran di antara keduanya. “Orang tersebut berkulit putih !” kata petani yang satu. “Bukan, dia hitam, apa matamu buta !”sergah petani yang lain. Pertengkaran itu semakin menghebat dan berkelahilah mereka sejadi-jadinya. Akhirnya karena kelelahan dan tidak ada yang menang, mereka kembali ke ladang masing-masing, diam membisu dan murung. Tidak beberapa lama kemudian, Eshu kembali lewat dengan gaya memamerkan diri seperti tadi. Tiba-tiba kedua orang itu kembali bercakap. “Maafkan aku, kamu benar, yang lewat tadi memang putih,” kata petani yang tadinya mengatakan bahwa orang yang lewat itu hitam pekat. Dan dalam waktu yang bersamaan yang lain juga berkata : “Akulah yang salah. Maafkan aku. Ternyata yang lewat itu hitam seperti katamu “. Kemudian kedua orang itu kembali bertengkar. “Saya salah !” “ Bukan, sayalah yang salah !“ Mereka kembali bertengkar dengan hebat sehingga mengundang tetangganya berdatangan. Akhirnya kedua petani itu dibawa ke kantor polisi dan masing-masing mengisahkan ceritanya serta permintaan maafnya yang tidak diterima. Sang polisi berdiri tercenung dan keheranan. Sungguh membingungkan, dua orang berkelahi, kemudian saling minta maaf, dan berkelahi lagi karena tidak mau menerima permintaan maaf temannya. Kemudian Eshu menampakkan diri dan berjalan berkeliling dua kali. Akhirnya Eshu berkata :”Membuat kontroversi dan kebingungan merupakan hiburan yang paling kusenangi untuk mengisi waktu luangku”. Augsburger (1992) menyatakan bahwa konflik merupakan sebuah krisis yang mendorong kita untuk mengenali secara eksplisit bahwa kita hidup dalam multi realitas dan pada saat kita menciptakan konflik maka kita telah membawa suatu hal yang berbeda dan seringkali berlawanan dengan apa yang menjadi pemahaman umum komunitas tempat kita hidup. Untuk itu diperlukan negosiasi ke arah realitas yang umum dipegang oleh komunitas tersebut. Dari keterangan tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa sudut pandang dalam memahami dan memperlakukan konflik adalah sama seperti halnya dalam mengambil jalan demokrasi, yaitu pihak minoritas berusaha untuk memahami pihak mayoritas. Bukan sebaliknya. Oleh karena itu sungguh sangat berbahaya sikap yang diambil oleh salah satu pengurus partai politik dalam mensikapi kebijakan yang diambil presiden, yang dinilai oleh beberapa kalangan sebagai hal yang kontroversial, yang menyatakan :”Bahwa jika Presiden menyatakan langit itu kuning, maka partai kami pun akan menyatakan pula demikian”. Sikap tersebut merupakan perulangan sejarah masa lalu yang menyatakan :”Hitam kata Bung Karno – Hitam pula kata KKO.” Atau yang baru saja sejenak lepas dari ingatan dengan slogan monoloyalitas. Sikap demikian adalah justru sedang menegakkan diktator minoritas yang sangat bertentangan dengan alur fikiran demokrasi maupun pemecahan konflik yang ditimbulkan. Artinya, sikap yang demikian hanyalah sebuah tindakan untuk menyapu kotoran ke bawah karpet. Karpet tampak bersih, namun kotoran tetap tertinggal di sana. Tetap menjadi sumber debu dan penyakit. Demikian pula dengan bibit-bibit konflik yang ditinggalkan, tetap tidak terpecahkan. Konflik merupakan hal yang merusak. Atau setidaknya membawa konsekuensi untuk merusak, terutama jika pihak-pihak yang terlibat merasa tidak puas dengan hasil yang diinginkan pihak lain dan mereka merupakan pihak yang kalah dalam konflik tersebut. Sebaliknya sebuah konflik akan menjadi konstruktif dalam proses dan konsekuensinya jika semua pihak yang terlibat merasa puas dengan hasil yang disepakati dan mereka mendapatkan hasil yang baik dari konflik tersebut. Semakin seimbangnya kepuasan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang bersengketa, semakin konstruktiflah konflik tersebut (Deutsch, 1969). Untuk mendapatkan konflik yang konstruktif diperlukan langkah-langkah yang memenuhi karakteristik tertentu, yaitu: 1. Mempertegas batas-batas permasalahan yang menjadi sumber konflik sehingga konflik yang terjadi dapat dinyatakan dan divisualisasikan dengan gamblang. 2. Membatasi konflik hanya pada asal muasal perselisihan dan mencegah melebar pada isu yang lain. 3. Mengarahkan konflik ke arah pemecahan masalah yang kooperatif dan mengendalikan persaingan agar terhindar dari perselisihan yang tidak sehat. Di lain pihak, potensi konflik akan menjadi hal yang destruktif jika terdapat tendensi sebagai berikut : 1. Meluasnya isu, sikap-sikap negatif dan justifikasi yang diambil oleh perseorangan. 2. Semakin samarnya sebab utama terjadinya konflik sehingga terlupakan untuk dipecahkan karena sibuk dengan kasus-kasus ikutan yang sebenarnya hanyalah sebuah konsekuensi sampingan. 3. Terjadinya percepatan ke arah pamer kekuatan, penggunaan praktek kekerasan dan cara-cara penuh muslihat 4. Polarisasi ke arah pendapat yang seragam yang dikendalikan oleh keinginan pemikiran tunggal dan kepemimpinan yang serakah. Dari karakteristik konflik yang konstruktif dan tendensi terjadinya konflik yang destruktif seperti dijabarkan dalam kerangka fikiran di atas dapat ditarik garis analisis bahwa konflik-konflik yang mulai bersemai di masyarakat saat ini cenderung menuju ke arah konflik yang destruktif. Sebagai contoh kasus terbaru yang sudah banyak di bahas adalah pencopotan para menteri dan penetapan para wakil menteri. Terlepas dari analisis terhadap kinerja eks-menteri, rumor-rumor yang melingkupinya, dan kredibilitas serta kapabilitas penggantinya, cara yang ditempuh presiden dalam pencopotan tersebut beserta argumentasi yang diberikan telah menebarkan bibit konflik. Bibit tersebut kemudian disemaikan oleh pihak-pihak parpol pendukung keduanya menjadi isu yang meluas dan akhirnya dipupuk subur oleh berbagai media masa serta sikap-sikap yang diambil oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Lalu bagaimana mencegah konflik tersebut menjadi semakin destruktif dan mengarahkannya menjadi konflik yang konstruktif ? Selain mengacu pada strategi yang menuju ke arah penciptaan karakteristik koflik konstruktif dan menjauhi tendensi konflik destruktif, perlu difahami langkah praktis kedua metode tersebut. Pemecahan konflik yang akan menjurus ke arah proses destruktif biasanya diawali dengan pemberian prioritas pada langkah yang menitikberatkan pada aspek siapa yang memiliki kekuasaan. Jadi penggunaan argumentasi semacam:“ Khan saya yang menjadi Presiden, bukan dia !” Atau seperti :”Ini adalah hak prerogatif saya, dan saya akan menggunakannya. Tidak usah debat dan diskusi. Gitu aja kok repot!” adalah contoh langkah yang menitikberatkan pada pamer kekuasaan tersebut. Setelah pamer kekuasaan maka langkah berikutnya adalah mencari siapa yang benar. Jadi penggunaan jargon:”President can do no wrong !” dan slogan “ Kuning kata presiden, kuning kata saya!” adalah contoh mencari pembenaran yang mengarahkan pada proses destruktif pula. Sedangkan proses konstruktif menitik beratkan pada pencarian terhadap rekonsiliasi kebutuhan dan interest yang lebih luas. Dalam hal ini bukan saja kebutuhan dan interest individu yang terlibat konflik, namun juga perlu diperhatikan kebutuhan dan interest komunitas tempat hidup di mana konflik tersebut terjadi. Setelah dikaji kebutuhan utama tersebut barulah ditelaah dengan cermat untuk mencari pandangan dan argumentasi siapa yang benar. Akhirnya penggunaan kekuasan hanyalah merupakan alternatif terakhir dan digunakan sekecil mungkin dalam mengatasi konflik tersebut. Dengan demikian, potensi krisis lanjutan sebagai konsekuensi logis dari konflik yang ditimbulkan akan dapat dicegah dan dihindari. Untuk itu perlu diambil sikap lembah manah, andap asor (rendah hati dan berlapang dada) seperti kata peribahasa suku Yoruban: “The one who forgiveness gains victory.” Orang yang penuh maaflah sang pemenang. Namun perlu juga dicermati peribahasa Angola berikut ini : The One who throws the stones forgets; The one who is hit remembers forever. Yang melukai akan cepat melupakannya, sedangkan yang terkena lemparan batu akan teringat selamanya. Damailah Indonesia, jayalah SBM

Read Full Post »