Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘perkembangan’

MBA-ITB Business Review Vol 6 No. 3 2011

Abundant Mentality

 Dermawan Wibisono

Dalam pembicaraan sehari-hari sering terlontar pertanyaan: bagaimana bangsa Indonesia bisa seperti ini, berebut pada hal yang tak perlu diperebutkan, beramai-ramai memperebutkan jabatan dan setelah didapatkan tidak melakukan apa-apa yang signifikan? Mengapa begitu banyak orang menerapkan filosofi orang yang sedang menaiki tangga, meraih anak tangga di atasnya sambil menginjak anak tangga di bawahnya. Menjilat atasan dan dalam waktu bersamaan melindas bawahan. Panjang diskusi telah dilakukan, seperti menggelar selembar kain untuk mendapatkan tanda-tangan agar masuk guiness book of record. Dari kain panjang itu, secuil di antaranya adalah adanya satu hypothesis yang menarik yaitu karena bangsa Indonesia dihantui oleh scarcity mentality. Mental yang berawal dari serba kekurangan. Mental yang timbul dari sikap yang terancam yang membentuk pola pikir yang hidup sepanjang hayatnya dan akhirnya menentukan perilaku dalam tindak dan keputusan yang diambil. Seorang teman mengamati hal ini pada hewan peliharaannya, seperti Skeener yang mengamati tikus dan Pavlov yang mengamati anjing, pada waktu membuat teori motivasi pada jaman dahulu. Dia memiliki 2 ekor kucing anggora dan seekor kucing kampung yang dipungut dari pinggir jalan. Dua ekor kucing anggora nya setiap hari diberikan susu, makanan, dan dilatih ketrampilan pada jam yang teratur, disuruh duduk manis, dilarang mengganggu saat orang nonton TV dan ke belakang pada saatnya. Kucing anggora yang dipelihara sejak kecil itupun menurut sesuai dengan pakem yang diberikan. Dengan cara yang sama dia lakukan hal itu pada kucing kampung yang didapatnya. Kucing kampung yang dipungut dari pinggir jalan, karena sudah terbiasa dengan survival, sama sekali tidak menurut teori pelatihan dari text book paling eksklusif yang dimiliki. Disela-sela makan, sang kucing malah kabur mengais-ngais sampah. Kukunya di jam-jam tertentu masih menggores-gores sofa, dan tidak kepalang polah-tingkahnya seharian. Tidak menurut aturan sama sekali. Teman saya itu, berpikir keras dan tetap tidak mengetahui jawabnya. Akhirnya dia menyimpulkan berdasarkan filosofi Jawa bahwa terdapat bobot, bibit, dan bebet pada tiap individu kucing yang sudah dari sononya, yang terbawa dalam gen, yang tidak bisa diubah lagi. Teman saya yang lain menolak anggapan itu. Dengan gayanya seperti Aristoteles dia mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena asal-usul dan masa perkembangan yang mempengaruhi sang kucing tersebut. Dia mengatakan bahwa kucing itu biasa survival, mempertahankan hidup dalam lingkungan yang ganas, tidak ada aturan dalam perkembangan usianya, jadilah dia seperti itu. Jadi kesimpulannya adalah pada masa perkembanganya, kucing tersebut sudah kadung terbentuk dengan sikap dan tingkah laku yang kadung telat untuk diubah. Dalam buku psikologi perkembangan yang sempat saya baca dari bukunya dr. Kartono Muhammad, jaman dahulu kala, memang masa kritis perkembangan manusia akan mempengaruhi sikap dan perilakukanya kelak, dia dewasa. Mrs. Hattersley, kepala sekolah anak saya, saat mengambil primary school di Bradford sana, dalam suatu diskusi menyatakan bahwa anak usia 3-10 tahun memiliki kemampuan dua bahasa sekaligus. Artinya anak seusia itu dapat langsung diajari dua bahasa asing dan penguasaannya akan jauh lebih baik dari orang yang berusia lebih tua darinya. Dalam enam bulan, mereka akan sangat fasih mengucapkan bahasa itu, seperti penutur aslinya. Usia 10-17 tahun adalah saat-saat rawan karena memori manusia bekerja dengan maksimal, sehingga apa yang diingat di usia itu, biasanya tak akan terlupakan, dan itulah saat pembentukan karakter akan kuat menancap. Dari analisisnya itu, maka apa yang dialami seorang anak sejak SD sampai SMU, akan berpengaruh pada perilaku dan keputusan yang diambilnya kelak saat dia dewasa. Orang yang terbiasa pada kondisi scarcity, survival, negative competition, iri hati, dengki dan sirik, pada masa perkembangannya, maka seperti itulah yang akan mendasari perilaku dan keputusan yang diambil di usia dewasa kelak. Jadi jangan bayangkan orang-orang seperti ini akan memiliki pikiran jangka panjang, melihat kepentingan banyak orang, emphaty yang hangat, bersuara sama di depan dan di belakang orang yang diajak bicara. Fenomena ini tampaknya yang mendasari, mengapa banyak orang Indonesia memiliki mental scarcity walaupun sudah di level atas suatu komunitas. Mental yang merasa kekurangan, merasa terancam, fokus pada kepentingan dirinya sendiri saja, dan makmimum hanya akan membawa rombongan keluarganya, selain dia akan merekrut orang-orang yang hanya loyal kepadanya sekalipun dari segi kemampuan tidak kualifified. Monolayalitas. Tentu ada sikap dasar yang tidak dapat diubah. Namun salah satu usaha mengeliminir sikap dan perilaku ini adalah dengan mendekatkan anak pada pendidikan agama, seni dan social sciences. Pendidikan agama jelas sangat berpengaruh jika diberikan dengan benar. Orang-orang Eropa Barat yang menjunjung tinggi rasa seni dengan penciptaan bangunan-bangunan yang indah, musik, lukisan, pertunjukan drama yang berkelas, dan sebaginya cukup menjadi bukti mengapa Disney Land di Perancis tidak laku. Hal ini yang mendasari bahwa exited bagi mereka bukanlah berteriak-teriak naik wahana yang menguji mental mereka, yang mereka anggap sebagai rekreasi kelas terendah. Rekreasi bagi mereka adalah bagaimana mereka melihat opera yang halus budi bahasanya dan mengilhami imajinasi mereka ke level yang lebih tinggi. Mengapa setiap orang di stasiun kereta api di Inggris, selalu menenteng buku bacaan yang segera menenggelamkan mereka begitu kereta api berangkat? Mengapa orang Inggris susah payah berpetualang ke Afrika Selatan dan membuat peta-peta pemeliharaan satwa Afrika? Mengapa hanya 3,5 tahun mereka ke Indonesia sudah mampu menemukan bunga Rafflesia Arnoldi yang mendunia? Karena itulah puncak kebahagiaan mereka, mengapresiasi karya yang didasari abundant mentality. Mentalitas dermawan bagi orang lain. Apresiatif terhadap karya orang, tidak banyak melakukan aktivitas seremonial dan perilaku verbal, adalah ujung dari mentalitas dermawan yang dididik sejak mereka kanak-kanak. Rasanya kangen untuk berjalan-jalan kembali ke Buckingham Palace di London, Botanical Garden di Melbourne, dan ke menara Tokyo, untuk bisa merasakan diri sebagai manusia seutuhnya. Manusia yang tidak terforsir oleh hawa nafsu. Ingin menjadi bagian dari dunia dengan abundant mentality yang mengeram di dada dan terekspose dalam sikap dan perilaku. Kapan ya?

Read Full Post »