Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Opinion’ Category

MBA-ITB Busines Review Vol. 6 N0 2011

Lima Tanda Pemimpin Tak Kompeten

D. Wibisono

Dalam gonjang-ganjing nasional dengan hadirnya kasus Nazarudin, pemalsuan surat di Mahkamah Konsitusi sehingga orang yang tidak berhak jadi anggota legislatif bisa menggantikan posisi orang yang berhak, hiruk pikuk biaya pendidikan nasional mahal yang ditentukan oleh setiap sekolah dari jenjang SD sampai perguruan tinggi bukan oleh pemerintah, tampak tersirat adanya ‘ketidakberdayaan’ kepemimpinan dalam berbagai level kehidupan. Kepemimpinan sudah lama menjadi hot issue dan melahirkan bepuluh provider pelatihan untuk menghasilkan pemimpin yang andal. Namun sampai saat ini tak kunjung kita temui hasilnya, lebih-lebih di level nasional. Apa yang menjadi kendalanya? Pemimpin itu dilahirkan ataukan dilatih?

Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat bakat kepemimpinan terpendam yang dapat digali potensinya. Yang jadi masalah adalah seberapa dalam bakat itu terpendam. Apakah bakat yang ada  begitu dalam seperti layaknya sumur dalam dasar samudra ataukah dipermukaan yang tinggal diungkit saja? Hal kedua adalah pada saat digali, akankah bakat itu kemudian menjulang setinggi Himalaya atau hanya sebatas lereng Bojong Koneng. Artinya, seringkali orang yang potensi kepemimpinannya bagus di level manajerial namun tidak klop jika dipaksakan untuk diangkat menjadi direktur, orang yang levelnya kepala desa tidak akan bagus jika dipaksakan menjadi gubernur, orang yang levelnya ketua partai politik tidak akan bagus diangkat jadi presiden, orang yang levelnya menjadi ketua peneliti tidak akan bagus untuk menjadi rektor dan sebagainya. Dalam istilah saat ini, fenomena ini sering dimaknai sebagai ‘memahkotai diri sendiri’ dengan mahkota yang terlalu besar sehingga seperti dapat dianalogikan seperti dalam cerita pewayangan ‘Petruk dadi Ratu’ atau dalam sarkas peribahasa bahasa Jawa sering disamakan dengan istilah ‘kere munggah bale’. Orang yang tidak kompeten memegang jabatan yang terlalu tinggi sehingga hasilnya kacau balau.

Dalam artikel Ten Signs of an Incompetent Leader, Chris Ortiz mengemukakan opininya yang menarik akan 10 tanda-tanda pemimpin yang tidak kompeten,  yang dalam tulisan ini akan dikaji 5 bagian saja. Menurut Ortiz, pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang fokus pada kepentingannya sendiri tidak pada kebutuhan profesional yang dibutuhkan oleh  level bawahnya. Biasanya pemimpin yang buruk ini mendapatkan kesulitan untuk mengembangkan organisasi karena mereka kurang memiliki kemampuan teknis manajerial untuk hal tersebut. Pemimpin adalah orang yang anda ikuti dan anda tahu akan kemana organisasi menuju. Jadi kepemimpinan adalah tentang aksi bukan sekedar status symbol atau batu loncatan untuk menggapai hal lain lebih tinggi. Masalahnya adalah bagaiman kita tahu bahwa kita sedang menghadapai individu yang merupakan oknum penunggang jabatan karena seringkali orang seperti ini tampak kelihatan begitu sibuk dalam organisasi dan dibutuhkan di mana-mana serta pandai memoles dirinya sehingga membuat banyak orang jatuh cinta kepadanya. Petunjuk singkat dari Chris Otiz untuk mengenalinya dikupas dalam alinea berikut..

Seorang pemimpin yang tidak kompeten akan:

1. Mendelegasikan pekerjaan daripada menyeimbangkannya.  Artinya semua bawahan langsungnya akan diberikan predikat ‘jenderal’ oleh yang bersangkutan, dalam arti bahwa pekerjaan harus diselesaikan oleh bawahannya itu, tidak perlu panduan, tidak perlu bertanya, tidak perlu arahan tapi jika terjadi kesalahan maka bawahan itulah yang harus menanggung akibatnya dengan menerima kemarahan dan konsekuensi pahit lainnya. Praktik semacam ini akan menimbulkan pekerjaan yang tidak seimbang, ada bagian sangat sibuk, sehingga perlu lembur yang tidak perlu dan ada bagian yang menganggur. Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang memperhatikan kemampuan dan kompetensi orang yang bekerja di bawahnya dan menempatkan orang sesuai dengan keahliannya sambil memperkaya potensi setiap orang untuk lebih produktif. Dengan model kepemimpinan yang gagal semacam ini maka kompetensi tidak dilihat, penempatan dilakukan secara acak, detail tidak diperhatikan karena yang menjadi fokus adalah bagi habis pekerjaan kepada orang-orang dibawahnya.

 

2. Cenderung menjawab persoalan menjadi jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dari pada mencoba mencari sebab dan menerangkannya lebih jauh. Ini adalah contoh pemimpin dalam krisis, yang tidak mampu berfikir jauh ke depan kecuali hanya beberapa jam ke depan saja. Pemimpin semacam ini cenderung melihat orang yang mencari penjelasan lebih detail, hanya menghabiskan waktu. Oleh karena itu, seringkali pemimpin semacam ini memiliki jawaban yang berbeda di dalam dan di luar ruangan, tergantung dari mood dan kepentingana sesaat yang dibawanya, karena memang pada dasarnya dia tidak memiliki set of argument yang kuat untuk menjelaskan issue yang sedang dihadapi.

3.Tidak memisahkan masalah personal dari masalah profesional yang dihadapi. Mereka cenderung membawa persoalan pribadi ke tempat kerja. Bekerja dengan pemimpin semacam ini bisa menjadi sangat dramatis. Di antaranya akan tercampur penggunaan fasilitas kantor untuk keperlun pribadi dan institusi, dan istri/ suaminya akan turut menjadi atasan bagi bawahannya saat ini yang boleh ikut memerintahkan untuk memenuhi keperluan yang tidak ada hubungannya dengan keperluan kantor. Mereka tidak mampu memisahkan ketidakseimbangan emosi saat memimpin. Mereka tidak akan memberikan perhatian dan arahan bagi anda untuk berhasil, Fokus dari pemimpin semacam ini adalah asal kepentingan pribadinya tidak terganggu. Alih-alih memperbaiki sistem penggajian dan penghargaan secara keseluruhan dalam organisasi, pemimpin semacam ini tidak akan peduli selama gajinya sendiri tidak terganggu atau bahkan naik. Atau yang lebih ektrim lagi adalah pemimpin semacam ini akan antusias memimpin orang-orang di sekitarnya untuk demo dan melakukan mosi tidak percaya jika gajinya dipotong, namun tidak akan peduli dengan gaji yang diterima orang lain.

4. Jika organisasi anda dalam masa krisis, maka selamat mengucapkan selamat tinggal pada inovasi dan kemajuan jika memiliki pemimpin semacam ini. Inovasi dan kemajuan ini juga harus diartikan secara benar, karena konsep yang berubah dengan cepat dan berkali-kali, bisa diartikan bahwa kita bukan inovatif tetapi sebaliknya kita tidak memilki konsep dan pendirian yang kuat. Perubahan yang terlalu sering dalam jangka waktu yang pendek akan mudah tersapu karena tidak dapat diimplementasikan secara solid. Pemimpin yang berorientasi pada aspek inovatif dan kreatif, punya karakter, di antaranya dengan senang hati memiliki bawahan yang lebih pandai yang mau berdebat dan diskusi atas berbagai ide dan konsep. Bukan pemimpin yang senang dengan kualifikasi bawahan yang jauh di bawahnya sehingga mudah disuruh-suruh dan mengikuti apa maunya sang pemimpin saja.

5. Tidak berdiri di belakang bawahan jika gagal. Orientasi pemimpin yang baik adalah tidak hanya menghukum kesalahan karena kegagalan bawahan dan hanya mengambil moment saat tampil dan dilihat banyak orang saja. Biasanya pemimpin gagal semacam ini akan cukup puas jika melihat anak buah harus berdiri dan membuat pengakuan kegagalanya dalam sebuah forum, tidak peduli betapa malunya anak buah tersebut dan berdiri di depan menyematkan tanda penghargaan ketika media masa meliput momen yang dirasanya akan mengangkat nama dan dirinya ke jaringan publikasi.

Jadi, who is a leader? A leader is one who, knows the way, shows the way and goes the way. Tapi hidup memang pilihan, apakah anda ingin menjadi seorang great leader atau menjadi free rider. Sejarah akan mencatat.

Read Full Post »

Menangis, bagi banyak orang mestinya adalah pelengkap atau akibat karena suatu kejadian. Tapi saat ini, menangis, bagiku ingin kujadikan sebagai subjek. Aku ingin menangis, agar lega di dada. Agar jernih di pikiran. Agar tak usah menanggung beban. Aku ingin menangis, melihat orang-orang tua yang tidak juga beranjak dewasa. Aku ingin menangis, melihat yang muda melupakan tata krama. Aku ingin menangis, melihat hilangnya ketulus-ikhlasan. Aku ingin menangis, banyak yang hanya mengenal satu sisi dari sebuah koin kehidupan: hak-tanpa kewajiban, jabatan-tanpa tanggung jawab, tuntutan-tanpa harga diri. Bermuka dua adalah biasa, keculasan adalah kecerdikan, oportunis adalah bermain cantik…….Dunia telah berubah, dasamuka ada di mana-mana, rahwana merajalela, dalam balutan kerah putih, eksekutif, di balik baju orang-orang terhormat……

Read Full Post »

Fenomena Raden Wijaya

Pak Tarjo Werkudoro, demikian kami menyebutnya karena perawakannya yang tinggi besar seperti Werkudoro atau Bimo dalam tokoh pewayangan adalah guru sejarah SD kami yang sangat kami cintai karena begitu pandainya beliau bercerita. Semua kisah yang beliau bawakan di muka kelas bagai melintas di depan mata, bagai kanvas lukisan sambung menyambung yang membetot sukma. Salah satu cerita heroik yang masih saya ingat adalah episode Raden Wijaya yang sukses memukul mundur pasukan Kubilai Khan dari Mongol yang hampir menaklukkan separo dunia. Alkisah dengan dibantu oleh pasukan Kubilai Khan tersebut, Raden Wijaya mengobrak-abrik dinasti terakhir kerajaan Singosari. Sesaat setelah kemenangan bersama yang gilang gemilang tersebut Raden Wijaya memukul balik pasukan Mongolia yang sedang berpesta pora. Kocar-kacirlah pasukan Kubilai Khan kembali ke negerinya, dengan dendam kesumat, amarah meluap dan satu kesan mendalam di sanubari setiap prajurit, bahwa bangsa yang barusan mereka bantu itu memang penuh dengan pengkhianat, srigala berbulu domba dan ular ganas yang mematok dari balik ilalang persembunyian bersama.
Dan fenomena Raden Wijaya itu kemudian terus turun temurun terjadi dalam sejarah kenegaraan, perpolitikan, kekuasaan pemerintahan di Negara yang terletak di sabuk katulistiwa ini. Bahkan terus menggurat mengakar dalam aliran darah banyak orang, bahkan hanya sekedar atas nama sebuah jabatan dan kekuasan dalam lingkup yang teramat kecil dan sempit: kantor.
Inikah gen hasil keturunan ataukah kutukan dari pasukan Kubila Khan?
Wallahu alam

Read Full Post »

Over Confidence

Saya tidak tahu persis apa yang membuat Amerika Serikat (AS) berhasil menjadikan warga negaranya begitu percaya diri dan kadang bahkan terkesan  arogan. Jika keberhasilan membuat kepala mendongak itu hanya berlaku bagi warga negaranya sendiri, saya tak akan terlalu ambil peduli. Tetapi keberhasilan itu ditularkan kepada siapa saja yang sempat bermukim, sekolah atau bahkan sekedar mencicipi makanan ala Amerika. Tak kurang dari pegawai di kedubesnya sampai ke level securitynya.

Jika anda akan mencari visa di Kedubes Amerika Serikat,dekat stasun Kereta Api Gambir itu,  sudah pasti anda akan disuruh antri di bawah jembatan layang, lima ratus meter dari gerbang kedubes, padahal trotoar panjang di sisi gedung itu sepi dan nanti juga akan anda lewati sebelum masuk pintu gerbang yang digembok setiap lima orang antrian masuk, dan dibuka lagi saat lima orang berikutnya giliran masuk pula. Saya kasihan melihat security, yang orang Indonesia asli itu, yang terpaksa pasang tampang sangar, padahal kerjanya cuma buka tutup pintu gerbang bercat hitam dengan gulungan kawat berduri di atasnya. Kaya pintu kuil Shaolin. Hitam menyeramkan.

Banyak orang Indonesia yang antri itu menggerutu dengan perlakuan security itu yang bahkan mengundang keheranan seorang ibu-ibu tua dari Filipinayang antri di belakang saya. Mengapa mereka harus kasar dan ketus? kalau terhadap kami yang orang asing tidak masalah, bukankah ini negara anda sendiri. Isin aku, isin tenan….sama orang Filipina itu yang paham benar beda antara tegas dan angkuh.

Orang-orang yang antri itu begitu nelangsa di rumah sendiri, padahal mereka membayar 1,5 juta per orang baik nanti dapat visa atau tidak. Lha orang mau ngasih duit kok ya disengol dan disengaki to ya. Ini di mana letak customer satisfaction yang banyak dibahas di buku teks keluaran Amerika itu. Kalau anda nggak terima dengan perlakuan kurang bersahabat itu, anda boleh juga beradu argumen: “Mas, ngapain kita antri di bawah jembatan, dekat tumpukan sampah, diguyur hujan, kalau toh nanti juga jalan di trotoar sebelah kedubes itu, kenapa nggak di sana saja antrinya. Kayak kedubes Paris yang di London itu lho Mas, yang antriannya begitu panjang  kayak ular sepanjang trotoar yang berbelak-belok..?’

Ditanggung 100% anda akan kalah beradu argumen dengan securitynya itu, karena mereka bawa pistol dan dengan garang mengusir seolah berkata: “jangan dekat-dekat kedubes, wong kamu kudisan gitu kok..!” Dan security itu orang Indonesia asli, yang dari namanya kebanyakan Jawa, yang padahal genetika aslinya mestinya tidak pantas berperilaku begitu kepada sesamanya, sesama orang Indonesia.

Lepas dari security, anda akan masuk ke loket kasir, yang tidak kalah ketus dalam memberi tahu dan memperlakukan orang. Semua digebyah uyah, disamaratakan, dianggap kita semua ini orang pelosok yang tidak berpendidikan, apalagi pernah ke luar negeri. Mereka akan ngasih tahu dengan berteriak-teriak, seolah kuping yang dikasih tahu itu kesumpelan cutton but yang lupa dilepas di pagi hari. “Diisi sejak anda smp, smp nya di mana, sma, sma di mana, namanya apa, jalan apa, kota apa…!” walaaah mau ke LN aja kok ditanya SMP dan SMA nya di mana segala. Apa korelasinya. Lha orang Indonesia itu kalau masih SMP ya kecil-kecil dan nggak punya nyali. Masih kurus kering, itheng thuntheng, kurang gizi kae lho. Beda dengan orang Bule atau Arab yang sudah gagah, sudah berkarakter atau sudah berprinsip: kalau mau jadi teroris ya teroris beneran, kalau mau ngaco ya sembada. Berani bertanggung jawab. Lha anak SMP di Indonesia, sekali dipithing dan dijenggit ujung rambutnya saja sudah teriak-teriak ngadu ke orang tuanya kok. Jadi ya nggak perlu nanya SMP segala. Apalagi kolomnya sempit, kalau sudah diisi S1, S2, S3, Post Doc, pendidikan tambahan, training….wah wis kebak, nyumpel nggak cukup….Untungnya orang Indonesia kebanyakan ya low profile. Wis diterima saja.

Nah ya sudah, itu orang Indonesia yang bekerja di kedubes AS. Lha apalagi yang alumni AS. Wah ya pasti akan lebih nggembelo. Pede abis. Dibanding lulusan Jepang, Australia, atau Inggris sekalipun, lulusan AS ini kebanyakan lho ya, tahu semangkok ya ngomongnya kayak tahu sebakul. Tahu sesendok ya kayak tahu sak dandang. Munjung kae. Tapi bagusnya mereka ini bisa membuat rekan-rekannya optimis, memandang dunia begitu terang, dalam genggaman. Walaupun kenyataannya ya embuh, wong donya bukan punya kita. Punya gusti Allah, ya terserah Gusti Allah saja takdirnya. Nggak perlu sok-sokan akan menentukan arah perputaran dunia. Dan Amerika bangkrut sekarang.

Nah saya sekarang ada di Boston tempat claim universitas terbaik di dunia berada, ada Harvard, ada MIT, ada Babson, ada Boston. Ya banyak.  Kebetulan Harvard mengadakan temu mahasiswa sedunia yang dihadiri 3.000 anak S1 dari seluruh universitas di dunia untuk simulasi sidang umum PBB. Hajatan ini sudah ada sejak 1955 dan sekarang menuai sukses dengan banyaknya peserta itu. Padahal komite pelaksananya ya anak-anak kecil dari Harvard itu yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Pinter jualan ini memang orang Amerika. Mereka seolah-olah bersidang membicarakan masalah kemiskinan, lingkungan, peburuhan dan segala macam isu yang dialami terutama oleh negara-negara miskin. ‘Bagusnya’ adalah mereka membahas kemiskinan dan kesengsaraan itu dengan dress code formal, jas, dasi, long john, sweater, dan acara akan diakhiri dengan dansa dan minum bir, bagi yang mau. Kontradiksi to?…yo gak apa-apa, lha namanya dagang kok. Dari hajatan semacam ini, anak-anak kecil Harvard itu sudah mendatangkan berapa banyak devisa termasuk menghidupi hotel, toko souvenir dan pedagang fish & chips di sana. Belum lagi bahwa mereka yang hadir ini, merupakan calon-calon diplomat dan pemimpin masa depan negara masing-masing yang secara potensi mumpuni, sehingga dalam mapnya pun serta merta ada penawaran sekolah lanjut ke Harvard. Tentu harus lulus test dan mbayar mahal. Sekali lagi, saluuuut atas kepiawaian dagang dan menjerat bakat-bakat terbaik.

Oleh-olehnya apa dari  Boston?

Boyok pegel, karena harus mengarungi 30 jam perjalanan dan lesson learned, bahwa kemasan seringkali menjadi lebih penting dari produknya, dan kapan ya kita mampu untuk tidak selalu menjadi konsumen saja, tetapi jadi pelakunya. Bagi mahasiswa yang kesana? ya pasti ada.Paling tidak untuk bisa sekedar mengatakan’ ah ternyata kalau kepinteran ya nggak jauh-jauh amat, hanya masalah bahasa dan kepercayaan diri saja sebenarnya’…itu thok, perlu biaya mahal. Dan satu lagi: bagaimana bersikap dewasa, concern pada sesama dan yang utama……tertawa pada timing yang tepat. Selain tentu masalah skill dan knowledge yang harus cepat diupdate, dengan cepat memahami masalah, mendown load hasil riset terkini yang berkaitan dan menyampaikannya sebagai resolusi yang diterima audience, yang walau pura-pura, kalau orang bule serius juga. Maunya semua duduk di depan dan mendahului bicara.

 

 

Read Full Post »

4 Tipe Manusia Hadapi Tekanan Hidup

“Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh” (John Gray)

Pembaca, hidup memang tidak lepas dari berbagai tekanan. Lebih-lebih,hidup di alam modern ini yang menyuguhkan beragam risiko. Sampai seorang sosiolog Ulrich Beck menamai jaman kontemporer ini dengan masyarakat risiko (risk society). Alam modern menyuguhkan perubahan cepat dan tak jarang mengagetkan.

Nah, tekanan itu sesungguhnya membentuk watak, karakter, dan sekaligus menentukan bagaimana orang bereaksi di kemudian hari. Pembaca, pada kesempatan ini, saya akan memaparkan empat tipe orang dalam menghadapi berbagai tekanan tersebut. Mari kita bahas satu demi satu tipe manusia dalam menghadapi tekanan hidup ini.

Tipe pertama, tipe kayu rapuh. Sedikit tekanan saja membuat manusia ini patah arang . Orang macam ini kesehariannya kelihatan bagus. Tapi, rapuh sekali di dalam hatinya. Orang ini gampang sekali mengeluh pada saat kesulitan terjadi.

Sedikit kesulitan menjumpainya, orang ini langsung mengeluh, merasa tak berdaya, menangis, minta dikasihani atau minta bantuan. Orang ini perlu berlatih berpikiran positif dan berani menghadapi kenyataan hidup.

Majalah Time pernah menyajikan topik generasi kepompong (cacoon generation). Time mengambil contoh di Jepang, di mana banyak orang menjadi sangat lembek karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan. Menghadapi orang macam ini, kadang kita harus lebih berani tega. Sesekali mereka perlu belajar dilatih menghadapi kesulitan. Posisikan kita sebagai pendamping mereka.

Tipe kedua, tipe lempeng besi. Orang tipe ini biasanya mampu bertahan dalam tekanan pada awalnya. Namun seperti layaknya besi, ketika situasi menekan itu semakin besar dan kompleks, ia mulai bengkok dan tidak stabil. Demikian juga orang-orang tipe ini. Mereka mampu menghadapi tekanan, tetapi tidak dalam kondisi berlarut-larut.

Tambahan tekanan sedikit saja, membuat mereka menyerah dan putus asa. Untungnya, orang tipe ini masih mau mencoba bertahan sebelum akhirnya menyerah. Tipe lempeng besi memang masih belum terlatih. Tapi, kalaumau berusaha, orang ini akan mampu membangun kesuksesan dalam hidupnya.

Tipe ketiga, tipe kapas. Tipe ini cukup lentur dalam menghadapi tekanan. Saat tekanan tiba, orang mampu bersikap fleksibel. Cobalah Anda menekan sebongkah kapas. Ia akan mengikuti tekanan yang terjadi. Ia mampu menyesuaikan saat terjadi tekanan. Tapi, setelah berlalu, dengan cepat ia bisa kembali ke keadaan semula. Ia bisa segera melupakan masa lalu dan mulai kembali ke titik awal untuk memulai lagi.

Tipe keempat, tipe manusia bola pingpong. Inilah tipe yang ideal dan terhebat. Jangan sekali-kali menyuguhkan tekanan pada orang-orang ini karena tekanan justru akan membuat mereka bekerja lebih giat, lebih termotivasi, dan lebih kreatif. Coba perhatikan bola pingpong. Saat ditekan, justru ia memantuk ke atas dengan lebih dahsyat. Saya teringat kisah hidup motivator dunia Anthony Robbins dalam salah satu biografinya.

Untuk memotivasi dirinya, ia sengaja membeli suatu bangunan mewah, sementara uangnya tidak memadai. Tapi, justru tekanan keuangan inilah yang membuat dirinya semakin kreatif dan tertantang mencapai tingkat finansial yang diharapkannya. Hal ini pernah terjadi dengan seorang kepala regional sales yang performance- nya bagus sekali.

Bangun network

Tetapi, hasilnya ini membuat atasannya tidak suka. Akibatnya, justru dengan sengaja atasannya yang kurang suka kepadanya memindahkannya ke daerah yang lebih parah kondisinya. Tetapi, bukannya mengeluh seperti rekan sebelumnya di daerah tersebut. Malahan, ia berusaha membangun netwok, mengubah cara kerja, dan membereskan organisasi. D i tahun
kedua di daerah tersebut, justru tempatnya berhasil masuk dalam daerah tiga top sales.

Contoh lain adalah novelis dunia Fyodor Mikhailovich Dostoevsky. Pada musim dingin, ia meringkuk di dalam penjara dengan deraan angin dingin, lantai penuh kotoran seinci tebalnya, dan kerja paksa tiap hari. Ia mirip ikan herring dalam kaleng. Namun, Siberia yang beku tidak berhasil membungkam kreativitasnya.

Dari sanalah ia melahirkan karya-karya tulis besar, seperti The Double dan Notes of The Dead. Ia menjadi sastrawan dunia. Hal ini juga dialami Ho Chi Minh. Orang Vietnam yang biasa dipanggil Paman Ho ini harus meringkuk dalam penjara. Tapi, penjara tidaklah membuat dirinya patah arang. Ia berjuang dengan puisi-puisi yang ia tulis. A Comrade Paper Blanket menjadi buah karya kondangnya.

Nah, pembaca, itu hanya contoh kecil. Yang penting sekarang adalah Anda. Ketika Anda menghadapi kesulitan, seperti apakah diri Anda? Bagaimana reaksi Anda? Ti dak menjadi persoalan di mana Anda saat ini.Tetapi, yang penting bergeraklah dari level tipe kayu rapuh ke tipe selanjutnya. Hingga akhirnya, bangun mental Anda hingga ke level bola pingpong. Saat itulah, kesulitan dan tantangan tidak lagi menjadi suatu yang mencemaskan untuk Anda. Sekuat itukah mental Anda?

Sumber: 4 Tipe Manusia Hadapi Tekanan Hidup oleh Anthony Dio Martin

Read Full Post »

Seorang kolega, sahabat, guru, ibu, equilibrium organisasi telah wafat mendahului kami pada tanggal 18 September 2008. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un. Ibu Ir. Nurhayati Makmun Tunggal Mardiono MT, dosen dan salah seorang pendiri SBM ITB, istri Pak Tunggal, pensiunan dosen Elektro ITB dan Mantan Wakil Rektor ITB telah mengukir grafiti bagi ratusan lulusan ITB dan berbagai perguruan tinggi yang pernah diasuh dan dibimbingnya. Telah menorehkan pemikiran bagi banyak organisasi dan perusahaan untuk peningkatan kinerja dan kompetensinya. Beliu kini terbaring dalam damai, di pemakaman umum di Garut, tempat beliau dilahirkan pada tanggal 26 April 1952, dibesarkan sampai dengan masa SMA  di sana dan beliau tinggalkan kota itu saat beliau merantau ke Bandung dan menjadi mahasiswa Teknik Industri ITB pada tahun 1972. Mengabdi menjadi dosen di ITB sejak 1978, bukanlah waktu yang singkat, 30 tahun, di mana tiga puluh angkatan dari berbagai program study kini meniti karir dalam kehidupan, yang insya Allah, lebih baik, berkat kontribusi beliau.

Untaian kalimat ini, adalah tribute bagi beliau.

………………………..

You’ve dropped of ink

That moves thousands people to think

All our words cannot express

The joy you brought us through the years

Even though we try

The truth brings us to tears

Now you belong to heaven

Left your bright impression

More than you’ll ever know

You are candle light in the darkness

 

 

Read Full Post »

Kontradiksi

Hari ini, di koran Kompas, 16 September 2008 diberitakan ada dua puluh satu orang meninggal dunia karena terhimpit saat antri pembagian zakat, sebesar Rp. 20.000, untuk sekedar buka puasa. Sementara itu, di Bandung, Jakarta, Padang, dan banyak kota-kota besar lagi lainnya di Indonesia, banyak keluarga dan anak-anak muda berderet antre memarkir mobilnya untuk berbuka puasa di restoran yang mereka suka. Saat bedug ditabuh dan adzan maghrib berkumandang, anak-anak muda itu berbuka dengan ceria, merokok dengan semena-mena, dan dengan ringan membayar menu makan yang ratusan ribu itu sambil tangan kirinya mengelus-elus rambutnya yang terjurai ke sana kemari tak beraturan laksana orang belum mandi atau yang perempuan membetulkan kaos pendeknya yang memperlihatkan pinggangnya yang tak putih dan bahkan kadang sebagian pantatnya yang terlihat, karena celana dalamnya, yang tidak baru lagi itu,  dan celana jeans belelnya tak cukup mengcovernya. Betul-betul mengurangi selera makan.

Sebuah kontradiksi!

Kontradiksi dalam hati juga saya alami setiap datangnya bulan ramadhan seperti ini.

Perasaan mendua saya alami setiap kali menerima undangan berbuka puasa bersama.  Pertama, sejujurnya saya merasa tidak pada tempatnya berbuka puasa dengan penuh seremonial dengan berbagai hidangan, yang seringkali berlebihan menurut ukuran saya dari sisi menu, maupun harga. Kedua, ada makna yang hilang menyelinap di dada, seolah puasa satu hari itu saya jalani tanpa rasa ikhlas dengan cara melakukan ‘balas dendam’, melahap buka bersama dengan makan yang harus enak, harus banyak. Ketiga, saya takut tidak peka dan jika terus menerus saya lakukan hati ini akan membatu tak lagi memperdulikan perasaan orang-orang yang dengan terpaksa harus antri seperti dalam pembuka tulisan ini.

Perasaan kedua adalah kebutuhan untuk silaturahmi. Sulit sekali menolak undangan buka puasa bersama semacam itu dengan mengungkapkan alasan seperti yang saya rasakan di atas, kecuali kita sanggup dicap sebagai orang yang sok, belagu, nganeh-anehi dan asosial. Padahal yang mengundang adalah teman-teman dekat, kolega kantor, dan apalagi acara dibumbuhi dengan siraman rohani, pembacaan ayat suci, dan pembagian bingkisan untuk anak yatim-piatu.

Rasanya hidup sudah menjadi bagian dari mode. Tanpa kita boleh tahu mengapa harus begitu dan tidak bolehkah jika kita tidak mau mengikutinya.

Lima belas hari telah terlewati, begitu takutnya saya menghitung hari: jangan-jangan saya tidak mendapatkan apa-apa di bulan puasa ini, kecuali lapar dan dahaga sepanjang setengah hari.

 

 

 

Read Full Post »

                                          Rekayasa Ulang Proses Bisnis BULOG

 

Dr. Dermawan Wibisono

 

Terdapat tiga hal utama yang paling diketahui masyarakat tentang Bulog, yaitu pertama bahwa Bulog merupakan tempat yang ‘basah’, oleh karenanya dianggap merupakan lembaga yang banyak terlibat dalam proses melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kedua, pada suatu masa  yang cukup lama Bulog bertindak sebagai ‘calo’ dalam pengolahan tepung terigu yang dilakukan oleh PT. Bogasari, sehingga turut membesarkan kerajaan bisnis konglomerat tertentu pada waktu itu. Ketiga, Bulog tampak sibuk hanya pada saat menjelang panen padi rakyat dengan aktivitas utama mengotak-atik harga gabah. Selebihnya, tentang bagaimana strategi bisnis Bulog, apa sebenarnya yang menjadi wewenang, tanggung jawab dan kewajibannya, bagaimana efisiensi pengelolaannya, bagaimana penggunaan uang negara, bagaimana bangunan jaringan logistik seluruh nusantara terbina, bisakah menjadi profit center negara atau daerah dan sebagainya tidak banyak diketahui masyarakat. Mayoritas studi yang dilakukan lembaga-lembaga pengkajian yang bertebaran di tanah air terutama hanya menyoroti sisi konsep makro ekonominya dan masalah penggunaan finansialnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana dari sudut pandang yang berbeda, dengan fokus utama mengkaji kemungkinan penataan kembali proses bisnis Bulog yang berorientasi pada efektivitas dan efisiensi sehingga suatu saat dapat berperan sebagai profit center pemerintah maupun menopang ketahanan pangan masyarakat.

 

 

Keberadaan Badan atau Lembaga pemerintah selama ini selalu dioreientasikan sebagai non profit organisation. Orientasi ini mengandung ‘amanah’ bahwa pengelolaan lembaga nir laba tersebut ‘tidak menjadi masalah’ jika harus merugi. Secara harfiah penterjemahan nir laba menjadi boleh rugi itu telah terpateri lama dan sulit dihilangkan dari praktek-praktek manajemen yang selama ini dilakukan. Konsekuensinya, karena selalu boleh rugi, maka efektivitas dan efisiensi pengelolaan pun tidak pernah mendapatkan perhatian yang seksama. Lembaga atau badan semacam ini boleh berbangga mencapai misinya at all cost. Bulog pun sebagai lembaga yang fungsi utamanya adalah menopang ketahanan kebutuhan pokok masyarakat tidak pernah diaudit performansinya, dan selalu dianggap sukses, dalam ukuran tunggal yaitu selama persediaan yang dimiliki mencukupi kebutuhan masyarakat. Walaupun untuk mencapai hal tersebut harus memberatkan keuangan negara melalui proses importasi, menekan kehidupan para produsen dalam negeri karena inefisiensi mereka, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan paradigma baru pengelolaan Bulog. Sebaiknya, budaya pengelolaan birokratis semacam itu sudah bukan jamannya lagi untuk diterapkan. Sudah saatnya Bulog dikelola dengan semangat enterpreneur. Tentu saja dibutuhkan tolok ukur yang berbeda dengan enterpreneur biasa yang selalu berkonotasi dengan finansial term of profit.

 

Kebutuhan pengelolaan sistem baru logistik dan kebutuhan desentralisasi ekonomi yang diharapkan segera diterapkan di Indonesia merupakan momentum yang tepat untuk menata ulang sistem bisnis Bulog secara keseluruhan. Pengelolaan Bulog bisa dianalogikan sebagai holding company dari sebuah perusahaan pusat perkulakan, dengan depot-depot logistiknya sebagai factory outlet. Dengan kerangka seperti itu maka terdapat beberapa konsekuensi sebagai berikut :

 

·         Depot-depot logistik bukan lagi merupakan perpanjangan birokrasi bulog semata tetapi merupakan plant-plant yang spesifik sesui dengan potensi daerah masing-masing. Depot logistik ini dimiliki oleh daerah, dikelola oleh daerah yang berperan sebagai penarik hasil produksi dari daerah yang bersangkutan. Orientasi utamanya bukan hanya sebatas mencukupi kebutuhan daerah itu sendiri, tetapi untuk surplus sehingga mampu mengadakan tukar dagang dengan daerah lain, dengan orientasi jangka panjang untuk ekspor nasional. Jika sudah sampai pada tahap ekspor, maka Bulog berperan di dalamnya untuk mencari pasar di luar negeri

·         Yang dimonitor bulog adalah lalu lintas informasi kebutuhan, supply, keuangan dari satu depo ke depo daerah lain. Dari lalu lintas rantai supply-pasok tersebut Bulog memiliki data base surplus-minusnya suatu daerah  dan berkewajiban untuk menutupnya, jika minus, dari proses impor yang sudah direncanakan dalam jangka panjang.

 

·         Dari lalu lintas perdagangan antar depo tersebut dimungkinkan untuk menerapkan pagu harga yang bersaing, sehingga dimungkinkan persaingan Depot antar daerah seperti dalam mekanisme pasar. Proses ini mirip dengan penjualan Bahan Bakar Minyak manca negara, di mana tiap SPBU dapat menerapkan harga yang berbeda, bahkan di SPBU itu sendiri terjadi perubahan tarif setiap hari, walaupun dalam bilangan cent/ liter. Tentu saja untuk Depot logistik tidak perlu seekstrim itu.

 

·         Kunci dari proses tersebut adalah efisiensi. Termasuk di dalamnya adalah efisinesi pergudangan. Dalam pertimbangan tertentu, tidak perlu depot memiliki gudang-gudang sendiri jika memang dipandang tidak ekonomis. Pengadaan gudang dapat dilakuan oleh pihak lain, atau bahkan diusahakan seminimal mungkin dan tersebar merata di banyak pihak untuk menghindarkan praktek penimbunan. Kuota pengadaan gudang tersebut dibatasi sampai angka tertentu, sebagai fungsi optimasi dari ketersediaan bahan, skala ekonomis, dan resiko penimbunan/ ketergantungan.

Langkah 1: Proses Perencanaan Logistik

 

Langkah pertama dari perencanaan stratejik logistik adalah penentuan visi logistik. Dalam visi tersebut termasuk pengembangan secara sistematis konsensus organisasi yang berkaitan dengan masukan-masukan kunci bagi proses perencanaan logistik termasuk di dalamnya identifikasi potensi dan alternatif pendekatan logistik. Konsensus pencapaian organisasi sebagai landasan umum pola pikir organisasi. Berikutnya, visioning alternatif potensi logistik dan lingkup pengembangan perencanaan yang menyangkut semua pihak dan membuka potensi horisontal perusahaan. Konsensus dan visioning ini merupakan hal yang kritis karena menyangkut banyak pihak yang memiliki dasar dan perspektif berbeda, di mana perbedaan budaya dan praktek manajemen membutuhkan perbedaan kebutuhan dalam distribusi dan pelayanan pelanggan dan pendukung.

 

Langkah 2: Analisis Stratejik Logistik

 

Langkah kedua dalam proses perencanaan logistik adalah melakukan analisis yang dibutuhkan untuk membuat pilihan yang jitu dari sejumlah alternatif logistik potensial. Analisis stratejik seperti yang ditunjukkan dalam piramid di atas menggambarkan kerangka dari analisis stratejik.

 

Langkah 3: Perencanaan Logistik

 

Dalam perencanaan logistik, termasuk di dalamnya adalah mengarahkan analisis stratejik menjadi rencana tindakan dan program-program yang membuat perusahaan mencapai visinya. Sebagai contoh, pembuatan sistem informasi manajemen. Setelah anggaran dialokasikan untuk keperluan suatu program, maka jadwal penyelesaian dibuat dan tanggung jawab penyelesaiannya ditugaskan kepada manajer yang tepat.

           

Kebutuhan peningkatan sistem logistik termasuk di dalamnya meliputi :

 

  1. Peningkatan sistem komunikasi dan teknologi informasi termasuk di dalamnya pengembangan komputer terintegrasi, sistem titik penjualan elektronik, dan perubahan antar data elektronik
  2. Perubahan regulasi
  3. Peningkatan kebutuhan konsumen khususnya standar pelayanan di mana sistem logistik dipandang sebagai sisi kompetitif sebuah produk
  4. Kebutuhan perbaikan  kemampuan finansial terutama untuk berjaga-jaga jika menghadapi tekanan ekonomi
  5. Pengembangan pelaku baru dengan aturan dan saluran distribusi yang baru
  6. Pengurangan persediaan dan ongkos yang berkaitan dengan hal tersebut melalui penentuan depo-depo yang optimal dan mengadopsi konsep Just in Time.

 

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem logistik, meliputi :

 

Faktor Eksternal :

 

·         Keandalan moda transportasi

·         Perubahan dan ketersediaan infrastruktur

·         Perubahan regulasi

·         Teknologi informasi

·         Teknologi pemuatan unit

·         Pengaruh lingkungan

·         Trend industri

 

Faktor internal :

 

·         Kelompok produk

·         Membuat atau membeli

·         Sistem penanganan material yang digunakan

·         Profil organisasi

·         Kelompok utama pelanggan

·         Pelayanan pelanggan

·         Sistem informasi

·         Aliran produk

·         Kebutuhan berdasarkan daerah

·         Segmentasi pasar

 

Aspek-aspek yang berpengaruh :

 

Aspek pembelian :

·         Pemasok mana yang sebaiknay digunakan

·         Apa dampak dari penggunaan pemasok alternatif

·         Haruskah pemasok dekat dengan produksi

 

Aspek distribusi :

 

·         Berapa banyak depo, seberapa besar dan di mana harus ditempatkan

·         Produk apa yang mesti distock dalam persediaan

·         Bagaimana sistem distribusi untuk produk yang berbeda

·         Bagaimana area geografis pelayanan dari tiap depot

·         Bagaimana ukuran transportasi yang digunakan

 

Aspek lain :

 

·         Strategi sistem persediaan

·         Membuat atau membeli

·         Pengembalian kontainer, pengepakan produk

 

 

Referensi :

 

  1. Cooper, J., O’Laughlin, K., and Kresge, J., The Challenge of Change, The International Journal of Logistics Management, Vol 3, 2, 1992
  2. Rushton, A and Saw, Richard, A Methodology for Logistics Strategy Planning, The International Journal of Logistics Management, Vol 3, 2, 1992
  3. Guedes, A.P., Saw, R.J., and Waller, A.G., Logistics Strategy Planning : Visual Interactive Modelling and Decision Support, in Cooper, James (ed) Strategy Planning in Logistics and Transportation, Kogan Page limited, 1993.
  4. Christopher, M (1992) Logistics and Supply Chain Management, Pitman, London

Read Full Post »

Kenaikan Gaji, Peningkatan Kinerja dan Pemberantasan Korupsi

 

Oleh: Dr. Dermawan Wibisono

 

 

          Pemerintah tiap periode tertentu selalu mengkaji dan mengambil kebijakan untuk menaikkan gaji Pejabat Tinggi Negara, Pejabat Pemerintahan, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemangku jabatan struktural di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan asumsi bahwa kenaikan gaji tersebut akan meningkatkan performansi kerja dan menghilangkan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kebijakan tersebut telah mengundang berbagai macam pendapat: pro, abstain maupun kontra. Dan sudah sering  pula mengundang para demonstran untuk berunjuk rasa. Sudah dapat diduga bahwa pihak yang pro dan paling sedikit abstain, adalah pertama, orang-orang yang berpegang pada pendapat bahwa KKN akan hilang dan performansi akan meningkat jika pendapatan orang bertambah. Kedua, tentu saja terutama pihak-pihak yang akan menerima ‘rejeki nomplok’ tersebut, termasuk di dalamnya adalah para anggota dewan terhormat yang apa boleh buat, ‘terpaksa’ bersikap :” Seneng juga sih, walaupun ke masyarakat harus tetap terlihat garang berjuang dan memihak kepentingan rakyat !”. Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis hypothesis: benarkah kenaikan pendapatan berkorelasi linier dengan penghapusan KKN ?

 

Kerangka kajian

 

Peningkatan performansi kerja dengan cara membangkitkan motivasi individu melalui berbagai macam metode telah lama diteliti oleh para ahli di Amerika Serikat pada akhir tahun 1950-an dan sesudahnya. Uang sebagai sarana pendorong motivasi untuk meningkatkan hasil kerja, pertama kali diperkenalkan oleh Frederick Taylor di lingkungan industri baja untuk level pekerja menengah ke bawah. Konsep tersebut diberlakukan di banyak industri selama beberapa tahun sebelum dikoreksi oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Elton Mayo. Dalam eksperimennya di sebuah perusahaan elektronika, Mayo  mendapatkan hasil bahwa uang bukanlah sarana utama sebagai representasi dari  penghargaan yang akan mengubah perilaku para pegawai dalam perusahaan tersebut. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Georgopoulos dan kawan-kawan. Mereka menyimpulkan bahwa hanya 38% dari responden yang berpendapat bahwa peningkatan performansi merupakan akibat dari peningkatan pendapatan (1957). Oleh karena itu, berdasarkan penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara pendapatan dan performansi memiliki korelasi yang sangat rendah.

Perspektif yang mendasari pemberian imbalan uang sebagai pemicu motivasi kerja seperti yang dijabarkan dalam paragraf di atas merupakan implementasi dari Teori X yang dikemukakan oleh McGregor (1957). Teori X menyatakan bahwa manusia pada dasarnya  memiliki kecenderungan untuk bekerja seminimal mungkin, tidak memiliki ambisi, tidak menyukai tanggung jawab, lebih suka diperintah, suka mementingkan diri sendiri, tidak ingin berubah, tidak cerdas, mudah dihasut, dan gampang disuap. Oleh karena itu untuk mengeliminir sifat-sifat tersebut diperlukan pemicu yang berbentuk insentif. Penerapan teori ini pada level tertentu mungkin akan memberikan efek perubahan yang sangat signifikan, terutama jika ditujukan pada level di mana basic needs (kebutuhan dasar) masih menjadi faktor utama penggerak orang bekerja.  Dan kebutuhan dasar tersebut sudah sepatutnya tidak berada pada diri para pejabat tinggi negara, pejabat tinggi pemerintahan, termasuk di dalamnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagaimana diketahui bahwa hierarchy kebutuhan manusia, menurut Abraham Maslow, terdiri dari lima tingkatan. Pertama, kebutuhan fisik, berupa kebutuhan pangan, sandang, dan tempat tinggal. Kedua, rasa aman yang berupa kebutuhan akan perlindungan dari bahaya, ancaman dan pembinasaan. Ketiga, kebutuhan sosial yang diwujudkan atas keinginan untuk memiliki, berasosiasi, diterima oleh masyarakat sekitar, memberi dan menerima persahabatan dan cinta. Keempat, kebutuhan penghargaan diri dan reputasi yang berupa kebutuhan untuk percaya diri, tidak tergantung pada orang lain,  berkompeten, berpengetahuan, serta kebutuhan akan status, pengakuan, apresiasi dan penghargaan dari masyarakat luas. Kelima, kebutuhan untuk memenuhi pengejawantahan diri (Self-fulfillment) yang berupa kebutuhan untuk merealisasikan potensinya, pengembangan diri yang berkelanjutan, dan menjadi kreatif dan diakui dalam arti yang lebih luas.

Tiga kebutuhan pertama: fisik, keamanan, dan sosial merupakan kebutuhan yang berjenjang pemenuhannya. Artinya, sebelum kebutuhan minimal level di bawahnya terpenuhi, maka orang tidak akan beranjak ke pemenuhan kebutuhan berikutnya. Dengan kata lain, seseorang yang masih kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, tidak memiliki sandang yang memadai belum akan memperhatikan pemenuhan kebutuhan akan rasa amannya. Dari sisi ini mudah dipahami jika pada saat ini banyak anggota masyarakat yang bersedia untuk mempertaruhkan nyawanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik tersebut.

Kebutuhan keempat dan kelima tidak berlaku linier dan tanpa batas. Kebutuhan akan penghargaan, reputasi dan pengejawantahan diri merupakan kebutuhan level menengah ke atas. Dan kelas menengah ke atas itu termasuk di dalamnya adalah para pejabat tinggi negara, pejabat pemerintahan, anggota parlemen dan para pejabat struktural di level tertentu. Oleh karena itu peningkatan pendapatan yang fantastis pada golongan ini merupakan  treatment yang tidak tepat sasaran. Kebutuhan kelompok ini sudah seharusnya bukan lagi di level fisik, keamanan dan sosial, tetapi lebih tinggi dari itu. Perlu digarisbawahi di sini pada kata seharusnya, artinya sungguh sangat memprihatinkan jika ternyata para pejabat tersebut masih mendasarkan diri pada tiga kebutuhan dasar. Jika kenyataannya memang itu yang ditemui pada pemangku jabatan saat ini, hal tersebut merupakan handicap bagi sikap mental total dalam diri pejabat dan tidak akan pernah terpuaskan. Seperti yang dinyatakan oleh McGregor bahwa man is a wanting animal – as soon as one of his needs is satisfied, another appears in its place. This process is unending. It continuous from birth to death. Jadi orang-orang yang memang tidak pernah beranjak kebutuhannya dari ketiga kebutuhan dasar tersebut tidak akan pernah kenyang selamanya sebanyak apapun yang dia terima.

Jika kita berfikir positif bahwa orang yang diangkat sebagai pejabat sudah beranjak ke level pemenuhan kebutuhan keempat dan kelima, maka perlakuan terhadap mereka lebih tepat jika menggunakan Teori Y. Dengan teori tersebut kita memandang para pejabat tersebut sebagai individu dewasa yang pada dasarnya rajin, cerdas, mengetahui kebutuhan negara, memiliki motivasi dan potensi pengembangan, memiliki kapasitas tanggung jawab yang memadai dan berperilaku bukan sebagai binatang ekonomi ( Rensis Likert, 1955). Artinya, pemberian pendapatan yang tinggi sebagai motivasi utama untuk mencegah KKN justru akan menyinggung nurani. Karena dengan begitu dapat diartikan bahwa jika gaji tidak dinaikkan maka pejabat tersebut sah-sah saja untuk melakukan praktek KKN.

 

Konsekuensi ikutan

 

Konsekuensi logis dari kebijakan peningkatan pendapatan justru di level tertinggi pemerintahan adalah ketersinggungan rasa keadilan mayoritas pegawai di level  bawahnya dan di masyarakat luas. 

 

Timbulnya rasa ketidakadilan bagi level di bawahnya disebabkan oleh lebarnya jurang pendapatan yang mereka terima dibandingkan dengan pendapatan para pejabat tersebut padahal perbedaan kontribusi mereka tidaklah begitu signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh J.S Adams (1963) mendukung argumentasi tersebut di atas. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa rasa ketidakadilan akan timbul dalam diri siapapun yang menyadari bahwa rasio antara keluaran yang dihasilkannya terhadap pendapatan yang diperolehnya dan rasio keluaran – pendapatan pihak lain dalam organisasi tersebut berada dalam ketidakseimbangan. Oleh karena itu, penting untuk mencari kesetaraan pendapatan terhadap apa yang mereka sumbangkan bagi  organisasi.

Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat luas lebih disebabkan oleh diambilnya sudut pandang bahwa para pengelola negara dan pemerintahan menetapkan kebijakan yang menguntungkan sisi mereka sendiri saja. Artinya, masyarakat akan sampai pada kesimpulan :”Kalau begitu, para aparat pemerintahan boleh mensejahterakan dirinya sendiri, mumpung lagi menjabat “. Akan halnya pihak-pihak lain yang ikut menikmati kebijakan tersebut, semacam anggota dewan, hanyalah ubo rampe, sebagai uang dengar dan agar tidak menggugat.

 

Penutup

Dari kajian tersebut di atas, sampailah kita pada kesimpulan bahwa kebijakan peningkatan pendapatan pejabat negara, pejabat pemerintahan, anggota dewan dan pejabat struktural sebaiknya dikaji ulang untuk mendapatkan formulasi yang lebih adil. Hal ini didukung oleh argumentasi, pertama, seperti yang disinyalir oleh banyak kalangan, bahwa kebutuhan riil pejabat negara dan pejabat pemerintahan sejak bangun tidur sampai tidur lagi sudah dipenuhi oleh negara. Kedua, dan ini yang lebih penting, sudah bukan pada tempatnya bagi pejabat untuk berkutat dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti yang dibahas dalam kerangka awal tulisan ini. Artinya, pilih pejabat yang sudah tidak lagi berada dalam pemenuhan kebutuhan tiga zona degradasi terbawah tersebut. Hal ini tidak berarti harus memilih pejabat yang berasal dari lingkungan yang berkecukupan secara materi, tetapi lebih ditujukan pada pemilihan orang-orang yang tidak risau dan tidak silau dengan hal-hal tersebut. Akhir kata, kebijakan peningkatan pendapatan yang fantastis tersebut yang didasari oleh niat baik untuk memberantas KKN dapat dikatakan sebagai perjudian besar. Kita dapat bernasib seperti si Lebai Malang : hutang negara meningkat, ketidakpuasan semakin menggelora dan KKN akan berjalan seperti sediakala. Mudah-mudahan slogan akhir dari lakon babak ini bukanlah : “Maju Tak Gentar Membela Yang Besar !”

Read Full Post »

KEBIJAKAN INDUSTRI INDONESIA ?

 Oleh : Dr. Dermawan Wibisono

 

Proses privatisasi dan penjualan perusahaan-perusahaan Indonesia kepada pihak asing yang saat ini sedang sangat gegap gempita digalakkan dalam rangka mendapatkan dana segar untuk membenahi perekonomian Indonesia hendaknya dilakukan dalam kerangka kajian yang integratif dan komprehensif terhadap masa depan industri Indonesia dalam jangka panjang. Perlu dipilih sektor-sektor apa atau industri mana yang harus tetap menjadi milik Indonesia dan nantinya akan digunakan sebagai pusat keunggulan. Untuk itu pemerintah sewajarnya membuat kebijakan industri di masa depan yang jelas dan transparan sehingga tidak menyebabkan warga negara Indonesia, 5 – 10 tahun ke depan hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Kebijakan industri merupakan salah satu kaki terpenting dari ketiga kaki pertumbuhan ekonomi nasional, selain dua kaki yang lain yaitu kebijakan fiskal dan moneter.

Laura D’Andrea Tyson dan John Zysman berpendapat bahwa peningkatan kekuatan kompetitif  industri-industri tertentu yang terutama mempengaruhi perekonomian nasional ditentukan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang kemudian diterapkan pada level perusahaan.  Oleh karena itu menjadi sangat vital bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengembangkan kebijakan  yang menyangkut pembentukan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan kompetitif (Tyson dan Zysman, 1983). Untuk tujuan itulah, di era Presiden Clinton, ditetapkan kebijakan industri negara yang bertujuan untuk mengamankan keuntungan kompetitif yang dinamis dalam ekonomi global bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (C. Johnson, 1984).  Hal ini dipicu oleh adanya  kesadaran baru bahwa kemampuan berkompetisi perusahaan di era globalisasi lebih merupakan masalah strategis yang terorganisir di mana pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan bahkan pemimpin bagi industri-industri negaranya masing-masing dan hanya sedikit yang merupakan sumbangan dari produk itu sendiri yang saat ini sudah tidak mengenal batas negara dalam proses produksinya. Oleh karena itu, kebijakan industri dapat berlaku sebagai mekanisme vital yang secara permanen mengubah terminology kompetisi internasional dan mengubah struktur pasar (Thompson, 1989).

Konsep keunggulan komparatif yang dicapai melalui ketersediaan sumber daya alam, rendahnya upah buruh dan berlimpahnya pangsa pasar karena kuantitas konsumen telah lama ditinggalkan. Konsep yang lebih baru yang menyangkut keunggulan komparatif melalui kriteria-kriteria klasik lain semacam kekuatan kreativitas manusia, pengetahuan, tenaga kerja terdidik, bakat organisasi, kemampuan untuk memilih dan kemampuan untuk beradaptasi pun sudah tidak lagi difahami sebagai  sumbangsih dari alam yang tersedia dengan sendirinya, tetapi dapat dicapai melalui kualitas kebijakan publik seperti pendidikan, penelitian yang terorganisasi dan investasi dalam masalah social (C. Johnson, 1984), di samping kebijakan industri negara yang bersangkutan.

Kebijakan industri itu sendiri seharusnya bukan hanya merupakan tanggung jawab Departemen Perdagangan dan Industri semata, tetapi menyangkut lintas departemen dan lintas sektoral. Departemen-departemen di negara-negara maju saat ini bukan lagi hanya sekedar bertindak sebagai regulator saja tetapi juga menjadi fasilitator, dinamisator bahkan kreator-kreator bagi perkembangan seluruh bangsa. Dalam kerangka kebijakan industri nasional, maka job description dari pemerintah, minimal menyangkut hal-hal di bawah ini.

 

  1. Penciptaan dan eksploitasi pasar: terutama yang berhubungan dengan perdagangan antar negara (melalui sikap untuk memproteksi industri dalam negeri dan promosi ekspor) dan melalui kebijakan internal yang menyangkut monopoli, merjer dan mendukung industri-industri yang baru tumbuh.
  2. Kepemilikan industri, manajemen dan demokrasi: kebijakan pada skala sektor publik, hak-hak pekerja dan manajer, penetapan regulasi yang menyangkut kepentingan publik.
  3. Investasi untuk pabrik dan perkakas: yang menyangkut skala modal dan sumber permodalan, pemasok peralatan, distribusi geografis industri dan posisi perusahaan tersebut dalam keseluruhan peta industri.
  4. Struktur industri: mendorong investasi lokal melalui kerjasama dengan perusahaan multinasional dan mencari cara untuk menstimulasi serta memperkuat perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.
  5. Industri baru: identifikasi area pertumbuhan yang akan datang dan menyediakan sarana pendukung yang diperlukan khususnya yang menyangkut industri masa depan semacam teknologi informasi, mikro-elektronika, bioteknologi, robot dan energi.
  6. Memfasilitasi proses restrukturisasi bagi industri-industri yang sedang surut maupun jenis-jenis usaha yang menjelang maghrib (sun set industry).
  7. Teknologi baru: mendorong penelitian dan pengembangan, diseminasi pengetahuan teknis dan ikut memperkenalkan produk-produk baru yang dihasilkan.
  8. Pemasok tenaga kerja: pendidikan dan pelatihan, yang menyangkut industri dan skil tertentu yang dapat pula dilakukan melalui pembentukan pola umum silabus untuk tujuan-tujuan khusus

 

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, lalu di bidang industri apa kebijakan harus dikembangkan? Idealnya memang seluruh tatanan industri harus tercakup dalam kebijakan tersebut. Namun jika kita telaah, ternyata begitu beragamnya area industri saat ini yang dapat dijadikan pijakan keunggulan ekonomi bangsa. Untuk bisa unggul dalam semua aspek, adalah merupakan hal yang mustahil. Menyadari hal tersebut, saat ini, banyak negara menetapkan fokus tertentu terutama yang menyangkut pengembangan teknologinya untuk mencapai keunggulan. Sebagai contoh Jepang, diantaranya, menitikberatkan pada elektronik untuk kebutuhan sehari-hari, Amerika Serikat fokus pada teknologi digital, ruang angkasa dan eksplorasi alam, Perancis menaruh perhatian besar terhadap biotechnology dan kehutanan, Inggris memberikan perhatian yang besar pada robot, medis dan bioengineering, Selandia Baru fokus pada pertanian dan peternakan, Singapura fokus pada intelejensi buatan dan pemrosesan informasi, dan Hongkong konsentrasi pada perbankan.

Lalu di bidang industri apakah Indonesia akan mengembangkan diri ?

Pertanyaan sederhana yang membutuhkan kajian kompleks untuk menjawabnya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang industri Indonesia dengan melakukan pengelompokan berdasarkan kriteria tertentu. Contoh pengelompokan industri adalah seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat  yang tertera pada Standard Industrial Classification of Industrial Activities (Central Statistical Office, 1992). Industri tersebut dikelompokan menjadi sektor-sektor: pertanian dan kehutanan; perikanan; pertambangan;  manufaktur; kelistrikan, gas, air; konstruksi, eceran, hotel dan restoran, transport, penyimpanan dan komunikasi; keuangan; real estate; administrasi publik; pendidikan; kesehatan; pelayanan sosial dan individu, dan seterusnya.

Dari list tersebut, kemudian dikaji masing-masing sumbangannya terhadap berbagai faktor seperti devisa negara, penyerapan tenaga kerja, keterkaitan dengan rantai sektor yang lain, distribusi kewilayahan dan sebagainya. Sebagai contoh, jika fokus diarahkan dalam konteks kebijakan untuk meningkatkan kemampuan kompetisi internasional, kita membutuhkan fokus pada sektor-sektor yang memproduksi secara langsung barang yang dibutuhkan dalam perdagangan internasional dan sektor yang lain menjadi aktor pendukung saja.  Sebagai contoh, Inggris telah lama memfokuskan diri pada industri inti yang berorientasi ekspor. Secara historis inti bisnis terletak pada industri manufaktur. Industri manufaktur secara luas mencakup bidang-bidang: tekstil, perkakas, moda transportasi, permesinan, baja dan logam, industri kimia, dan mineral. Fokus pada pengembangan sektor manufaktur didasari pada alasan bahwa manufaktur merupakan penyumbang ekspor terbesar Inggris yaitu 83.9 % dari keseluruhan ekspor pada tahun 1973 dan menurun menjadi 65.9 % sepuluh tahun kemudian (Foremen-Peck, 1991). Alasan kedua adalah karena industri jasa sulit diekspor dan industri manufaktur merupakan pemicu bagi pengembangan industri jasa melalui aktivitas perdagangannya.

Setelah fokus industri yang akan dikembangkan ditetapkan, maka disusunlah paket-paket kebijakan yang mendukung sektor terpilih tersebut. Paket-paket tersebut dapat terdiri dari banyak hal yang dapat mencakup kebijakan yang berkait langsung dengan industri itu sendiri maupun kebijakan yang tidak secara langsung menyangkut, namun memberikan pengaruh yang signifikan pada jangka waktu tertentu. Dalam lingkup konseptual, pemerintah dituntut untuk menyediakan lingkungan makro ekonomi yang stabil sehingga perusahaan mampu membuat perencanaan jangka panjang dengan penuh keyakinan; menciptakan pasar yang bekerja secara efisien; meningkatkan pendapatan atas pajak yang dapat mendorong perkembangan perusahaan dan memperbaiki nilai-nilai pelayanan dalam sektor publik;  menyediakan kerangka hukum/ aturan main untuk mengurangi ketidakpastian tetapi tidak menghambat inovasi. Sedangkan dalam lingkup teknis, kebijakan tersebut dapat meliputi antara lain :

 

1.    Mendukung peningkatkan pendidikan kejuruan, pelatihan dan program magang yang dimonitor oleh Departemen Perdagangan dan Industri bukan oleh Departemen Pendidikan.

2.    Mendorong inovasi melalui sistem hibah-hibah dana terbatas namun berhasil guna, menjalin hubungan yang lebih baik antara industri dan universitas

3.    Membantu industri kecil melalui perluasan jaringan bisnis

4.    Memperkuat pengembangan industri regional

5.    Peningkatan dana penelitian dan pengembangan

6.    Menetapkan target produktivitas nasional, ekspor dan pangsa pasar pada perdagangan dunia

7.     Mengelola semacam Bank Pengembangan Bisnis yang berfungsi sebagai media  pengembangan industri berprospek

8.      Menyediakan informasi dan mempromosikan praktek-praktek bisnis terbaik di dunia

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »