Pesta Segera Dimulai
Dermawan Wibisono
Gong baru saja berbunyi……Pesta akan segera dimulai kembali. Denyut nadi kampanye sudah mulai menimbulkan demam. Janji-janji akan segera ditebarkan. Padahal agenda empat tahun yang lalu dan lima tahun yang lebih lalu lagi masih banyak yang belum terealisir. Masyarakat masih menunggu, dan mungkin akan terus menunggu, akankah yang kelak memegang kendali atas tahta ini mampu mewujudkan harapan yang telah lama dipendam. Harapan yang belum berhasil diwujudkan oleh para presiden terdahulu: Good Governance !
Terminologi good governance dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi issue yang semakin populer karena diproduksi secara masal dan kontinu oleh para politisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari sisi kepentingan para politisi dan LSM tersebut, issue good governance setiap kali pemerintahan berganti, memang merupakan komoditi yang layak jual. Hal ini disamping untuk mendapatkan simpati dari masyarakat juga sebagai sarana untuk menarik bantuan asing. Seperti diketahui, negara-negara pemberi bantuan maupun lembaga non pemerintah yang menjadi partner di luar negeri, khususnya dalam lingkungan negara-negara Eropa, menempatkan aspek good governance of all resources sebagai kriteria utama dalam memberikan bantuan. Walaupun menjadi issue yang krusial dan menjadi inti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat luas, sayangnya para politisi seringkali mendasarkan penilaian good or bad governance terhadap pemerintah yang sedang berkuasa tersebut berdasarkan anekdot-anekdot yang kadang dapat menyesatkan opini masyarakat karena kurang gamblang mengupasnya, tidak jelas tolok ukurnya, kurang lengkap bukti pendukungnya dan cenderung bersifat memihak golongannya. Sedangkan lembaga swadaya masyarakat lebih sering meneriakkan jargon-jargon good governance tersebut secara terpisah-pisah, sendiri-sendiri, spontan dan sporadis sehingga kurang membawa perubahan secara signifikan.
Governance didefinisikan sebagai praktek dari individu dan institusi yang berkuasa dalam melaksanakan kewajibannya di sebuah negara (Kaufmann dkk, 2000). Syarat pertama dan utama terciptanya good governance adalah transparansi. Transparansi merupakan wujud dari dijunjung tingginya amanah rakyat oleh penyelenggara negara, berdasarkan titik tolak pemikiran bahwa rakyat berhak untuk mengetahui bagaimana keputusan yang menyangkut diri mereka diambil, oleh siapa keputusan tersebut dibuat, di bawah kondisi yang bagaimana; juga menyangkut bagaimana sumber-sumber umum dikelola, oleh siapa dan mengapa.
Lalu apa ciri-ciri dan kriteria yang dapat membantu kita menilai bahwa sebuah pemerintah di suatu negara telah menyelenggarakan good governance dan bagaimana langkah untuk dapat mewujudkan good governance itu sendiri?
Butir-butir berikut ini yang ide dasarnya disarikan dari African Business (2000), mudah-mudahan dapat memperluas cakrawala kita.
Ciri-Ciri dan Kriteria Good Governance
Terdapat 7 ciri-ciri dan kriteria yang dapat kita gunakan untuk memotret proses penyelenggaraan negara oleh sebuah pemerintah yang sedang berkuasa.
1. Pengelolaan sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.
Kualitas pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara merupakan faktor esensial yang dapat menerangkan apakah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa tergolong baik atau buruk. Dengan melihat korelasi antara sumber daya alam yang dimiliki dengan kesejahteraan warga negaranya, baik level maupun pemerataannya, dapat diketahui apakah sebuah negara telah mempraktekan good governance atau belum. Jika kita mengelilingi wilayah Indonesia dan membuat sebuah fungsi matematis yang memetakan korelasi antara sumber alam yang dimiliki dengan pemerataan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, niscaya kita dapat menyimpulkan sendiri bagaimana kualitas pemerintah kita terdahulu dalam mempraktekkan good governance. Hanya ada satu kata yang tepat untuk mengungkapkannya : menyedihkan !
2. Integritas dari para politisi, penegak hukum dan elit intelektual
Integritas dan kredibilitas dari para politisi, penegak hukum dan elit intelektual merupakan sampel yang representatif untuk mengungkapkan apakah proses pemerintahan dijalankan secara good, bad or ugly. Ketiga kalangan profesi tersebut harus merupakan merupakan tolok banding (benchmarking) model integritas. Proses money politics yang menyangkut eskekutif maupun legislatif, etika berpolitik yang bar-bar, proses peradilan yang penuh manipulasi dan kaum intelektual yang tidak independen merupakan sebagian kecil dari contoh bad governance.
3. Pluralisme dalam sistem politik dengan adanya pihak oposisi yang efektif
Pluralisme dalam sistem politik menggambarkan bahwa individu tidak terkooptasi dalam sistem monoloyalitas yang selain tidak sehat juga menyalahi kodrat. Pluralisme adalah manusiawi mengingat secara fitrah, manusia dilahirkan dengan berbagai variasi ide, keinginan, kebutuhan, kemampuan, dan level kebahagiaan. Adanya pihak oposisi yang efektif merupakan cerminan bahwa terdapat keinginan bersama untuk saling bersparing partner, mengawasi, mengontrol dan bersaing untuk mengajukan program-program yang lebih baik bagi kemanfaatan seluruh bangsa. Oleh karena itu sungguh lucu jika terdapat partai yang berniat menjadi oposisi, baru setelah kandidatnya tidak masuk dalam susunan pemerintahan. Selain itu pembentukan semacam kabinet pelangi dan pengkapling-kaplingan jabatan tertentu untuk teritorial tertentu merupakan hal lain lagi yang tak kalah lucunya.
4. Media masa yang independen
Terdapatnya banyak media masa yang independen merupakan cerminan dari kemerdekaan dasar manusia. Independensi harus diartikan dari ketiga belah pihak: independen dari kepentingan pemerintah yang berkuasa, independen dari kepentingan pihak yang beroposisi, dan independen dari kepentingan diri pribadi. Kepentingan yang diemban adalah untuk kemaslahatan bersama. Jadi dalam era informasi dan masyarakat yang sudah dewasa ini, fungsi utama media masa adalah menyajikan fakta, informasi dan investigasi. Selanjutnya yang menyangkut tentang kesimpulan, opini dan judgement diserahkan kepada masing-masing individu pembacanya.
5. Independensi lembaga-lembaga peradilan
Independensi lembaga peradilan merupakan hal yang vital dalam membentuk good governance. Independensi pengadilan – penegakan aturan hukum, lebih penting dari keringanan pajak untuk menarik investasi asing. Independensi di sini terutama menyangkut kewenangan yang dimiliki. Lembaga peradilan harus memiliki kewenangan penuh yang dapat menjangkau seluruh warga negara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Salah satu tolok ukur sederhana yang mudah dilihat dalam peran peradilan menegakkan good governance adalah jumlah kasus pelanggaran hukum yang dibawa ke pengadilan, kualifikasi level kasus dan tindak lanjutnya. Jadi kalau penanganan kasus sejak, misalnya, Hambalang, Century: nyaris tak segera terdengar hasilnya, dalam arti tidak segera mendapatkan hasil yang tuntas ..tas…tas..tas.. ya wallahu alam.
6. Proses pelayanan publik yang efisien dengan standard profesionalisme yang tinggi dan menjunjung tinggi integritas.
Sektor publik merupakan jendela mentalitas sebuah negara. Dengan melihat pelayanan publik dapat diketahui sebaik atau seamburadul apa administrasi sebuah negara dijalankan. Indikator yang kasat mata untuk melihatnya mudah ditemukan dalam berbagai aktivitas lembaga yang melibatkan pelayanan, misalnya permohonan paspor di kantor imigrasi, pengurusan impor-ekspor barang di bea cukai, ijin fabrikasi produk spesifikasi baru di departement perindustrian dan perdagangan, pengurusan IMB atau proses HGB dan HM di agraria, dan sebagainya.
7. Terdapatnya aturan yang jelas dan lugas yang menyangkut aspek anti korupsi.
Aturan anti korupsi di sini juga menyangkut tentang pengungkapan kekayaan pejabat yang memegang kekuasaan untuk mengambil keputusan, bukan hanya diterapkan pada eksekutif level tinggi saja, tetapi juga dapat menyangkut anggota legislatif dan badan-badan pelayanan. Jadi bukan hanya presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati saja yang perlu mengungkapkan kekayaannya. Para anggota DPR/ DPRD pun perlu mengungkapkan seberapa kaya atau seberapa miskinnya mereka sebelum dan setelah duduk di sana. Para pegawai bea cukai, kantor pajak, badan pertanahan, dan sebagainya, di mana seringkali pintu-pintu ‘negosiasi’ alangkah banyaknya terbuka pun perlu untuk mengadakan ‘open house’. Fokus utama pengungkapan kekayaan ini tentu bukan hanya sekedar laporan pandangan mata kekayaan yang dimiliki, namun yang lebih utama adalah klarifikasi dari mana dan dengan cara apa kekayaan itu didapatkan. Faktor kedua yang terpenting adalah perbandingan kekayaan antara sebelum dan sesudah memangku jabatan itu. Adalah sia-sia hanya menjajarkan deretan kekayaan dan mengumumkannya ke masyarakat umum. Salah-salah hanya akan menerbitkan rasa iri, dengki, cemburu dan marah jika tanpa disertai klarifikasi yang dapat menyatakan fairness dalam cara mendapatkannya. Adalah sunah untuk menjadi kaya namun terlarang hanya sekedar untuk memamerkannya di tengah-tengah penderitaan sesamanya.
Tindak Lanjut
Dengan mengetahui ciri-ciri dan kriteria dari good governance tersebut maka dapat ditetapkan langkah-langkah untuk membentuk good governance di Indonesia. Tentu saja cara termudah adalah dengan memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas maka pembentukan good governace, insya Allah, akan terwujud. Namun demikian, langkah pemenuhan kriteria tersebut merupakan hal yang strategis, bukan saja jika ditinjau dari term waktu untuk pemenuhannya tetapi juga menyangkut lingkup yang dicakup yang sangat luas dan berjenjang-jenjang.
Beberapa hal praktis yang dapat ditempuh, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama yang paling esensial adalah mempengaruhi pendapat publik dan pengambil keputusan untuk peduli terhadap efek yang menghancurkan dari penyalahgunaan wewenang dan proses mal-administration melalui debat publik terbuka, konferensi, dan sebagainya. Tentu tidak hanya berhenti dalam proses wacana seperti yang selama ini kita lakukan. Debat sekedar debat dan konferensi untuk popularitas. Perlu tindak lanjut yang riil dari proses tersebut, misalnya dengan dihasilkannya rumusan-rumusan aturan main yang transparan dan disepakati bersama dalam berbagai level pengambilan keputusan di pemerintahan.
2. Pemimpin-pemimpin politik harus secara murni menentukan agenda pemberantasan korupsi dalam program kerjanya dan harus menunjukkan penekanan ke arah itu. Good governance, seperti halnya demokrasi tidak boleh hanya menjadi sekedar slogan, sebagai tameng untuk menentramkan pemberi dana. Promosi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang diantaranya menyangkut kampanye melawan korupsi, di mana korupsi merupakan salah satu contoh kongkrit dari praktek administrasi yang keliru (mal-administration) merupakan hal utama untuk menarik bisnisman. Bagi kalangan bisnis, prinsip utama mereka adalah mengurangi distorsi dari aspek kompetisi yang diakibatkan oleh korupsi yang mengganggu fungsi pasar. Jadi motivasi mereka semata-mata adalah motivasi ekonomi. Ditinjau dari sisi ekonomi produksi, efek dari korupsi sangat banyak. Bukan hanya secara signifikan meningkatkan harga produk dan servis tetapi juga cenderung menurunkan kualitas. Seringkali juga menyebabkan pilihan terhadap teknologi yang diterapkan tidak sesuai dengan kebutuhan riil dan dapat menghambat prioritas pengembangan yang dibutuhkan. Akhirnya korupsi akan merusak moral masyarakat dan membuat investor menjauh serta mengurangi bantuan-bantuan negara asing.
3. Semua kekuatan yang memiliki itikad baik harus bekerja bersama. Hal ini harus merupakan satu koalisi segitiga antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa tidaklah realistis mengharapkan perubahan hanya dilakukan oleh masyarakat semata. Kritik-kritik dari masyarakat bukanlah gugatan atau pergerakan sistematis untuk mendongkel pemerintahan tetapi merupakan partner, pemantau menuju proses perubahan dan meningkatkan kualitas konstruktif dari kritik tersebut.
4. Pelatihan-pelatihan yang lebih terarah diperlukan bagi organisasi profesi yang secara khusus menghadapi godaan dan bahaya terhadap korupsi (misal bea cukai, pajak, sistem peradilan).
5. Menyangkut proses restrukturisasi, tujuan harus diletakkan terhadap proses pelayanan publik yang efisien dengan standard profesionalisme yang tinggi dan integritas. Hal ini mensyaratkan para pegawai yang bertugas melayani publik diberikan pendapatan yang memadai. Sehingga pegawai tersebut tidak berfikir : “Uuhhh…ngapain juga ngitung-ngitung duit segudang tiap hari punya orang, kalau diri sendiri tak ada yang memikirkan besok makan apa !”
6. Pengkajian ulang atau revisi terhadap peraturan anti korupsi sangat penting khususnya untuk membawanya dalam kerangka hukum internasional yang berlaku universal.
7. Salah satu yang paling berisiko tinggi di mana korupsi menjadi godaan utama adalah dalam hal pembelian dan kontrak-kontrak. Oleh karena itu prosedur yang ada tentang kedua hal tersebut di semua level harus dikaji transparansi dan efektivitasnya. Terdapat sejumlah aturan dasar yang dapat diacu, misal, jumlah kontrak yang disetujui berdasarkan penunjukan langsung/ direct agreement harus benar-benar ditekan pada angka yang paling minimum.
8. Penting untuk mengkaji ulang efektivitas dari pemantauan mekanisme audit finansial. Dasar hukum dan indepensi dari lembaga ini merupakan pra kondisi untuk mencegah korupsi yang efektif. Jadi misalnya setelah BPK atau BPKP menemukan penyimpangan anggaran, harus terus dikejar mau diapakan laporan penyimpangan tersebut, sejauh mana dari jumlah penyimpangan tersebut yang dapat dikembalikan, apakah si pembuat penyimpangan sebaiknya dimasukkan dalam daftar hitam dan sebagainya di mana selama ini hal tersebut merupakan masalah yang gelap bagi masyarakat.
Penutup
Ukuran-ukuran yang diperlukan yang tertera dalam ciri-ciri dan kriteria good governance dan tindak lanjut yang dipaparkan di atas merupakan blok untuk membangun sistem integritas nasional. Ukuran-ukuran dan tindak lanjut tersebut tentu saja merupakan masalah utama penyelenggara dan warga negara yang bersangkutan. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh pihak luar. Sebagai partner, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah asing hanyalah sebatas memberikan dukungan.
Baik parner pemerintah maupun non pemerintah, khususnya di lingkungan Uni Eropa, menempatkan good governance of all resources sebagai kriteria utama untuk memberikan bantuan. Hal ini membawa pada prinsip yang sederhana: negara yang dapat mengelola sumber-sumbernya sendiri secara benar seharusnya dapat berharap dengan mudah akan mendapat bantuan asing. Sebaliknya negara industri memiliki keengganan yang terus meningkat untuk memberi bantuan jika ternyata bantuan tersebut digunakan sebagai sarana untuk membuat kerusakan. Sebagai salah satu cermin misalnya adalah penurunan standar kehidupan yang sangat drastis di Ukraina. Penurunan standard kehidupan yang dihadapi oleh negara Ukraina selama dekade 90-an disebabkan oleh lemahnya pemerintah dalam membentuk aturan hukum, tidak cukupnya perlindungan terhadap hak cipta, korupsi yang meluas dan merata serta saran-saran gila yang dibuat oleh para pembisik di lingkungan pembuat keputusan yang memiliki kepentingan tertentu. Padahal dalam penelitian yang dilakukan oleh Kaufmann dan kawan-kawan yang menyangkut 155 negara dalam hal kontrol tehadap korupsi, Ukraina dan Indonesia hampir memiliki posisi yang sama. Indonesia ternyata dalam hal kontrol terhadap korupsi tersebut masih jauh di bawah Uganda, Bangladesh, Filipina dan Thailand (Kaufmann dkk, 1999). Padahal korupsi adalah kangker ganas dalam pembentukan good governance. Akankah pemerintah yang baru ini menjadi tonggak sejarah pembentukan good governance yang telah kita rindukan selama 69 tahun sejak kemerdekaan kita capai? Jawabnya berpulang kepada para petinggi yang baru akan mulai melaksanakan pesta. Waktu sungguh sangat mendesak, bukan saatnya lagi banyak bicara dan mengumbar wacana, tetapi kerja, kerja, dan kerja. Biarlah rakyat yang bicara